Jun 4, 2009

Yani Mariani Sastra Negara : Rasa Angin Yani Mariani

Rasa Angin Yani Mariani
Oleh : Bre Redana

Kain yang biasa membelit kepala itu ia lepas. Terlihatlah rambutnya yang pendek, agak kemerahan, di sana-sini ada bercak tanah liat. Ia berada di atas stager, menggarap patung berukuran besar, sementara di bawah beberapa asisten membantu dengan kesibukan dari ikut mengolah tanah liat sampai menyiapkan kerangka-kerangka besi.

Yani Mariani Sastranegara (52) tengah bergulat dengan pekerjaannya sebagai pematung. Dalam dunia seni rupa, seni patung termasuk berada di wilayah keras, menyangkut pekerjaan teknis yang butuh keterampilan khusus, atau pada patung berukuran besar bahkan membutuhkan perencanaan teknik sipil.

Karya yang sedang dikerjakan Yani ini pasti masuk kategori terakhir itu. Bayangkan, patung ini kalau jadi nanti dimensi panjangnya akan mencapai 30 meter dan tinggi delapan meter. Bobot keseluruhan diperkirakan antara enam sampai delapan ton.

Ia mengerjakannya di studionya, di kawasan Jombang di pinggiran Jakarta. Kalau sudah jadi, karya itu akan dikirim ke Surabaya. Karya itu akan dipasang sebagai patung publik di Pakuwon City, Surabaya Timur. Rencananya, proyek ini akan beres Oktober mendatang.

Air-api-angin

Yani bukanlah orang yang banyak bicara. Ia pendiam—meski seperti suaminya, Kusmei Santo, berikut suasana bengkel kerjanya—terasa kehangatan pribadinya. Ia dilahirkan di Desa Penanggungan, Banten. Untuk mencapai desa kelahirannya itu, sampai beberapa waktu lalu orang harus berjalan kaki enam kilometer dari pemberhentian kendaraan. Perjalanan melewati Sungai Ciberang yang besar dan berbatu-batu hanya bisa dilintasi dengan rakit atau berjalan menyibak air sungai.

"Baru beberapa tahun belakangan ini ada jembatan gantung," cerita Yani.

Dari latar belakang daerah tempat ia suka bermain dengan batu-batu kali, dengan capung-capung pada pagi hari, bisalah ditangkap kepekaan Yani terhadap berbagai gejala alam. Kalau kita mengikuti kiprah Yani sebagai seniman dengan karya-karyanya terdahulu, akan paham apa yang dia maksud dengan nuansa air.

Pada perhelatan seni rupa internasional, CP Open Bienalle di Galeri Nasional Jakarta tahun 2003 misalnya, dia menggantungkan ratusan batu di atas kolam hitam—sungguh karya instalasi yang mencengangkan.

"Jumlahnya sekitar 800 batu," kenang Yani mengenai karya berjudul Endless itu.

Batu, air, adalah idiom yang menyeruak begitu saja, otentik tidak muncul dari kekenesan. Belum habis menggulati batu dan air, dia beralih ke idiom sekaligus medium lain, yakni api yang dia tampilkan dalam karya dengan medium gerabah.

Suatu bentuk seperti tabung besar dari gerabah yang dibikin retak-retak dan berlubang-lubang, retakan dan kepingannya dia luaskan sampai "mengangkasa" (sebagian retakan ia gantung di atas). Lalu dalam tabung yang retak-retak itu ia letakkan lampu minyak. Lahirlah efek api dari gerabah yang berkeping-keping, menyebar dan melayang.

Dia menceritakan akan keasyikannya menggulati bahan. Setiap bahan selalu memiliki kemungkinan untuk melahirkan pengungkapan artistik. Bahan-bahan yang digulati Yani adalah bahan-bahan yang dekat dengannya sebagai anak alam.

Patung besar setinggi sekitar empat meter dari bahan logam yang diberinya judul Tiga Jiwanara (katanya diinspirasi oleh tiga dewa dalam kepercayaan Hindu, yakni Brahma, Siwa, dan Wisnu—ditampilkan dalam pameran patung bertajuk "Soliloquy" di Galeri Nasional Jakarta, Desember 2006) memberi rasa angin karena sayap-sayap yang membawa kesan bergerak. Eksplorasi bentuk dengan rasa angin inilah yang kini tengah digarapnya untuk proyek di Pakuwon City, Surabaya. Karya ini dia beri judul Randai, menyerupai bentuk yang bergerak, melayang nantinya di atas air.

Jadi tentara

Yani sebenarnya tidak pernah bercita-cita menjadi seniman. Cita-citanya semasa SMA justru menjadi tentara. Hanya saja, ayahnya yang pernah menjadi tentara pelajar lalu bekerja di perkebunan dan membuat keluarganya berpindah-pindah dari Medan, Bandung, kemudian Sukabumi melarangnya. Anak pertama dari tiga bersaudara yang sejak kecil gemar segala permainan anak laki-laki ini pun ngambek.

"Ketika saya menentukan masuk IKJ (Institut Kesenian Jakarta, waktu itu bernama Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta atau LPKJ), saya berpikir jurusan apa yang paling membutuhkan disiplin tinggi dan keras. Akhirnya saya masuk jurusan patung," papar Yani.

Itulah jalan yang dipilih Yani, jalan yang disiplin dan keras—satu jalan untuk menempa diri dan akal budi, bukan "disiplin" dan "keras" ala IPDN yang seperti robot dan membinasakan kemanusiaan.

Maka, inilah Yani. Ia biasa bekerja sepanjang hari sepanjang malam, tidur hanya dua-tiga jam selama berhari-hari. Awal tahun 2000 dia mengalami kecelakaan sepeda motor dan menderita patah kaki serta gegar otak. Olah tangannya tak bisa ditunda ketika sedikit saja ia mulai boleh beraktivitas. Sementara menunggu pulihnya kakinya yang patah, ia menciptakan patung-patung kecil, berukuran sekepalan tangan.

Ia pernah membuat berbagai aksesori dan benda-benda kerajinan ketika tinggal di Batubulan, Bali, di awal masa perkawinannya pada awal tahun 1980-an. Yani tak pernah berhenti bekerja. Anak-anaknya di rumah kadang menelepon ibunya, memintanya pulang kalau Yani terlalu berlama-lama di bengkel kerja.

Dengan atau tanpa target penyelesaian karya karena adanya proyek tertentu, Yani terus berkarya, terus menggulati tanah liat, batu, serta berbagai jenis logam. "Sebenarnya saya tidak pernah punya target," kata Yani.

"Seperti dikatakan Mbah Djito (almarhum Roedjito, yang menjadi guru banyak seniman), apa-apa akan datang sendiri ketika waktunya tiba," ujarnya menambahkan.

Sumber : Kompas, Sabtu, 19 Mei 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks