Heru "Arwana" Melenggang di Pasar Modal
Oleh : Stefanus Osa Triyatna
Jualan ikan di pasar modal! Mustahil, tetapi ini nyata. Ikan arwana "dibawa" Heru Hidayat selaku perintis penangkaran arwana jenis super red ke Bursa Efek Jakarta. Obsesinya, bangsa ini aktif melestarikan kekayaan fauna Indonesia yang lambat laun punah. Bukan sekadar lihai mengambil untung dalam perdagangan saja.
Lima tahun ke depan Heru (34) meyakini, keberadaan ikan arwana super red (Scleropages formosus) Indonesia akan mengalami kelangkaan. Jika tidak ditangkar dari sekarang, ikan berdaya jual tinggi tersebut pasti punah!
Heru mengisahkan, tahun 1976 ada ikan arwana yang diberikan oleh penduduk setempat kepada kontraktor Jepang di Kalimantan. Ikan itu dibawa ke Jepang sebagai oleh-oleh. Ternyata, begitu dipelihara dan tumbuh menjadi besar, ikan itu menampakkan keanggunan warnanya. Lalu, booming-lah arwana di Jepang.
Padahal, sebelumnya arwana bisa dikatakan hanya setara dengan ikan asin, tak ada nilai jualnya. Harganya murah sekali. Tahun 1980-an Heru mencermati nilai jual jenis ikan ini terus meningkat karena permintaan untuk ekspor. Orang Asia tidak lagi memandang sebelah mata terhadap arwana.
"Ini peluang besar," ungkap Heru.
Dia mencermati, tahun 1976 sampai 1995 sumber ekspor ikan arwana Indonesia berasal dari Danau Sentarum, yang terletak di perbatasan Kabupaten Kapuas Hulu dan Sintang, Kalimantan Barat. Perdagangan cuma berasal dari pengambilan, bukan penangkaran. Ini menyedihkan, karena berarti eksploitasi terhadap sumber daya alam itu dilakukan besar-besaran tanpa mempertimbangkan kesinambungannya.
Tahun 1990-1998, kata Heru, penangkaran dimulai oleh penduduk di Danau Sentarum. Perdagangan berkembang dari hasil penangkapan ataupun penangkaran. Akibat penangkapan tanpa pengawasan, arwana super red semakin sulit ditemukan. Jenis ikan ini jangan-jangan sudah punah di habitatnya.
Tertipu
Tahun 2003 Heru memberanikan diri untuk menyelamatkan arwana super red dari kepunahan. Kecintaannya terhadap ikan tak luput dari pengalamannya tertipu sampai tiga kali. Ikan yang dibelinya berturut-turut adalah arwana jenis banjarmasin, yang berwarna merah pada bagian buntutnya saja.
Generasi arwana yang kini diselamatkan pun sudah termasuk keturunan kedua atau cucu. "Karena tepat waktu dan tepat investasi, kami masih bisa memperoleh induk arwana sebanyak 3.000-an ekor. Itu amazing sekali," ujar Heru.
Walaupun sekarang ini relatif sudah banyak petambak ikan di Pontianak, Kalimantan Barat, menurut perkiraan Heru, arwana super red bakal langka dalam lima tahun ke depan. Mengapa? Ini mengingat, dalam praktiknya, para petambak itu masih bersifat konvensional.
Petambak konvensional memiliki sekitar empat sampai 10 kolam. Karena nilai ekonomis bisnis petambak dikelola kurang tepat, panennya mirip orang menunggu lotre. Begitu beranak, petambak langsung panen dan menjual semuanya tanpa mempertahankan induknya. Mereka tidak peduli, apakah 10 tahun lagi masih bisa mendapatkan induk berkualitas sama.
"Dari sisi pelestarian, saya mengkhawatirkan proses genetika yang sangat menentukan kualitas itu malah tidak diperhatikan lagi. Yang penting bagi mereka adalah untung, keuntungan materi!" kata Heru.
Dari sisi ekonomis, dia mengasumsikan satu kolam memiliki 50 ekor induk. Jika punya 10 kolam, berarti ada 500 ekor induk. Jika dijual seharga Rp 50 juta per induk, itu berarti dapat memperoleh Rp 25 miliar.
Untuk petambak konvensional, hasilnya paling banter 500 ekor. Jika dijual Rp 4 juta per ekor, mereka hanya memperoleh Rp 2 miliar. Tentu, nilai sebesar itu menggiurkan. Mereka pun dengan ringan menjual habis hasil produksinya, tanpa menyisihkan 10 persen induk ikan untuk regenerasi.
Karena sistem penjualan tidak memerhatikan genetikanya, kualitas pun akan tambah menurun. "Menyedihkan sekali," ungkap Heru.
Aksi korporasi
Dia lalu melakukan aksi korporasi. Ketika menjabat sebagai Direktur Utama PT Inti Indah Karya Plasindo Tbk tahun 2002, Heru mengubah bisnis utamanya.
"Dengan perhitungan matang, saya mengubah core business. Saya sudah kapok ditipu pedagang ikan. Jadi, saya ingin bersungguh-sungguh melestarikan, tanpa merugikan orang lain," katanya.
Keputusan strategis lalu dibuat ketika industri plastiknya lesu dalam beberapa tahun terakhir. Pesaingnya adalah pengusaha dari China yang mampu memproduksi kantong plastik lebih murah. Faktor utama ini menyebabkan perseroan merugi. Heru lalu bangkit mengubah industri kantong plastik menjadi penangkaran arwana.
Dia kini menjabat sebagai Komisaris Utama PT Inti Kapuas Arowana Tbk. Investasi yang mencapai Rp 385 miliar itu digunakan untuk membangun tambak, membeli induk arwana, dan prasarana lain.
Bagi dia, investasi itu dilakukan sekali untuk selamanya, sebab ikan bisa beranak-cucu. Mesin produksinya adalah para induk ikan. Peluang mengatur genetika juga didukung tenaga riset.
"Jika kelangkaan benar-benar terjadi, perseroan ini akan menjadi pemain tunggal di Indonesia," ucap Heru.
Ia mengakui, usahanya tak luput dari berbagai kesulitan. Menurut dia, peran pemerintah dan badan perlindungan satwa sebaiknya mengubah konsep penangkaran, bukan hanya sibuk melarang transaksi perdagangan.
Problem lain adalah izin penangkaran dari Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). Selama ini Indonesia kurang memerhatikan aspek asal-usul arwana, sedangkan di Singapura dan Malaysia, izin ini digunakan dengan baik. Artinya, pemerintah kedua negara itu mempermudah pemberian izin, dengan syarat riwayat asal-usul jenis ikan tersebut jelas.
"Oleh karena itulah, kalau kita tidak mulai mengindentifikasi keturunan dan mengatur perkawinan satwa air ini sedini mungkin, jangan harap kita bisa mendapatkan keturunannya lagi di habitat aslinya, Danau Sentarum," kata Heru.
Kunci melestarikan arwana terletak pada basis produksi induk yang berkualitas. Kesuksesan produksi tersebut diperkuat dengan pemasaran yang memadai. Ikan ini bisa dijual ke China seharga 500 dollar AS per ekor. Namun, di negeri itu, pedagang bisa menjualnya kembali dengan harga sekitar 1.000-2.000 dollar AS per ekor. Ini juga terjadi di Jepang.
Untuk menjaga kualitas genetiknya, setiap ikan diberi microchip dan konsumen diberi sertifikat security printing. Sekali lagi, tutur Heru, kunci usaha ini: jangan pernah menipu konsumen.
Heru tidak sendirian melestarikan arwana. Investor secara tak langsung mendukung usaha melestarikan ikan ini. Sejak dibawa ke pasar modal, laba pun terus meningkat. Laba usahanya tahun 2005 hanya Rp 1,29 miliar, setahun kemudian melonjak menjadi Rp 14,53 miliar. Laba bersih tahun 2005 sebesar Rp 1,54 miliar, kemudian tahun 2006 menjadi Rp 11,32 miliar.
Heru kini tengah memperkuat basis produksi. Apabila basis produksi sudah kuat, ketersediaan ikan pun akan semakin banyak. Maka Indonesia bisa menjadi pengendali harga.
"Sekarang ini kami mesti mengajak banyak orang agar memberi perhatian terhadap upaya melestarikan ikan ini. Ingat, lima tahun ke depan, ikan ini bisa semakin langka!" ujar Heru menegaskan.
Sumber : Kompas, Senin, 21 Mei 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment