Moetaryanto, "Penabuh Gong Pembuka"
Oleh : Agus Mulyadi
"Saya hanya memukul ’gong pembuka’. Gong penutupnya biar orang lain yang melakukan," ujar Moetaryanto saat menerima rombongan agen perjalanan Indonesia yang baru tiba dari Tunisia, April 2007.
Moetaryanto Poerwoaminoto menyempatkan waktu mencegat langsung rombongan sejumlah 18 orang itu sekadar untuk memberi semangat. Laki-laki yang menjadi Konsul Kehormatan (Honorary Consul) Tunisia di Yogyakarta itu rupanya ingin meyakinkan para pengelola agen perjalanan di Indonesia tersebut.
Dalam kapasitasnya sebagai Konsul Kehormatan Tunisia, ayah dua anak dan kakek empat cucu itu berusaha "menjual" apa pun yang berkaitan dengan Tunisia kepada bangsa Indonesia dan sebaliknya.
Ketika sektor pariwisata negara Afrika utara itu yang hendak "dijual", maka bersama Duta Besar Tunisia di Indonesia, Faysal Gouia, dia menemui para pengelola agen perjalanan yang berperan mewujudkan harapan itu.
"Tugas seorang konsul kehormatan adalah bagaimana menjalin hubungan antarmanusia dari kedua negara di luar bidang politik," ungkap Moetaryanto.
Konsul kehormatan adalah kepanjangan tangan dari kedutaan besar negara tersebut. Jalinan hubungan nonpolitik itu mencakup kebudayaan, kesenian, pariwisata, dan perdagangan.
"Hubungan ini juga penting untuk meningkatkan hubungan bilateral. Misi hubungan antarmanusia itu kan dapat dijalankan dari berbagai sisi," ucapnya.
Pengangkatan Moetaryanto sebagai Konsul Kehormatan Tunisia muncul secara kebetulan. Tahun 2004, Muchrim Hakim yang saat itu Ketua Kadin Timur Tengah/Organisasi Konferensi Islam menemui Moetaryanto dan menawarkan posisi konsul kehormatan untuk Tunisia. Muchrim Hakim saat itu adalah Konsul Kehormatan Senegal di Indonesia.
"Pak Muchrim tahu Tunisia mau mengangkat konsul kehormatan di Indonesia. Dia yang mengusulkan nama saya kepada Duta Besar Tunisia di Jakarta. Sekitar 1,5 tahun kemudian saya ditunjuk Pemerintah Tunisia sebagai konsul kehormatan atas persetujuan Presiden Yudhoyono," tutur Moetaryanto yang sebelumnya menjalani semacam uji kepatutan di Tunisia dan bertemu dengan beberapa pejabat negara itu.
Hubungan Indonesia dan Tunisia sudah terjalin sejak masa Presiden Soekarno, yang menjadi salah satu pendukung gigih kemerdekaan Tunisia dari penjajahan Perancis.
Tak heran, ketika terjadi bencana tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam tahun 2004 dan gempa bumi di Yogyakarta tahun 2006, masing-masing tiga pesawat dan satu pesawat berisi bantuan obat-obatan diterbangkan dari Tunisia.
Pariwisata dipilih Moetaryanto sebagai langkah awal sebab sektor ini menjadi andalan devisa Tunisia. Setiap tahun tak kurang dari tujuh juta wisatawan yang datang. Namun, hampir semua wisatawan itu berasal dari Perancis, Jerman, Italia, Inggris, dan beberapa negara Eropa lain.
"Turis dari Asia ke Tunisia sedikit sekali, dari Indonesia bahkan hampir tak ada. Padahal, di Tunisia banyak obyek wisata yang menarik. Bisa tur di Gurun Sahara, pantai Laut Tengah, juga banyak peninggalan perkembangan Islam dan bangunan bersejarah peninggalan Romawi," papar Moetaryanto.
Hubungan antarmanusia
Banyaknya peninggalan sejarah penyebaran dan perkembangan Islam tersebut dilihat Moetaryanto sebagai potensi untuk mengembangkan hubungan warga Tunisia-Indonesia. Bos Petrolog Group—perusahaan yang bergerak di bidang jasa pendukung peralatan berat untuk industri minyak, gas, dan pertambangan—itu melihatnya sebagai pintu masuk untuk meningkatkan hubungan kedua negara.
Peninggalan penyebaran dan perkembangan Islam menjadi modal, kata Moetaryanto, karena bisa menarik warga Indonesia yang mayoritas Muslim. Paket ibadah umrah ke Tanah Suci, misalnya, dapat menjadi sarana untuk mendukung terwujudnya harapan Moetaryanto.
"Targetnya enggak banyak, satu persen saja dari rata-rata 60.000 peserta umrah dari Indonesia per tahun sudah bagus," ujarnya seraya mengingatkan bahwa Tunisia selama ini belum menjadi bagian tujuan wisata dalam paket ibadah umrah.
"Selama ini Tunisia hanya dilewati karena tak dikenal. Untuk membuka jalan ke arah itu, agen perjalanan harus lebih dulu mengetahui hal ini," ujarnya menambahkan.
Karena itu, sejak setahun lalu Moetaryanto mencoba merencanakan perjalanan sejumlah pengelola agen perjalanan di Indonesia ke Tunisia. Dia ingin mengenalkan negara itu dan meyakinkan banyak obyek wisata yang bisa dijual kepada wisatawan asal Indonesia.
Apalagi banyak pengelola perjalanan wisata itu ternyata kurang mengenal Tunisia. Padahal, menurut Moetaryanto, selain dapat dimasukkan dalam paket umrah, perjalanan wisata ke Tunisia juga bisa melalui paket wisata ke Eropa.
"Dari Sisilia, Italia, Tunisia itu cuma berjarak 135 kilometer," ujarnya.
Kepentingan Indonesia
Moetaryanto diangkat sebagai konsul kehormatan sejak 15 Juni 2005. Dia lalu membuka kantor untuk tugas barunya tersebut di Yogyakarta. Laki-laki kelahiran Lamongan, Jawa Timur, 14 April 2007, itu memang memiliki kemampuan dalam melobi. Dia antara lain juga menjadi penasihat pada Perhimpunan Persahabatan Indonesia Amerika dan Indonesia Australia Business Council.
Posisi-posisi itu dicapai Moetaryanto karena kemampuannya melakukan lobi, selain jiwa bisnis yang digelutinya selama ini. Semangat wirausaha itu sudah dia lakukan sejak masih muda. Dia sempat berjualan roti. Saat menempuh pendidikan di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Moetaryanto juga sempat menjadi pemandu wisata.
Sebagai Konsul Kehormatan Tunisia, dia melihat kepentingan yang lebih besar bagi Indonesia. Dengan promosi dan dibukanya jalur wisata Indonesia-Tunisia, dia berharap akan lebih besar pula jumlah wisatawan dari Tunisia yang berkunjung ke Indonesia.
Persentuhan wisata itu nantinya dapat menjadi peluang terbukanya hubungan dagang yang lebih luas di antara kedua negara.
Sumber : Kompas, Jumat, 18 Mei 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment