Jun 4, 2009

Mung Murbandono : Memperkenalkan Indonesia di Hilversum

Memperkenalkan Indonesia di Hilversum
Oleh : AB1

Tak mudah menjumpai Mung Murbandono (59) karena 24 tahun terakhir dia menetap di Hilversum, Belanda. Suatu hari ia pulang ke Indonesia untuk melatih 20 pengamen asal Ambarawa, Jawa Tengah, yang hendak dia tampilkan pada peringatan ke-60 tahun Radio Nederland Wereldomroep, tempatnya bekerja.

Untuk itu, Murbandono menghabiskan waktu di Kabupaten Semarang selama enam bulan. Selanjutnya, ke-20 pengamen yang dia latih itu tampil memukau di depan penonton pada peringatan ke-60 tahun Radio Nederland Wereldomroep (RNW) pertengahan April lalu.

"Sekarang saya lagi beres-beres barang, mau kembali bertugas," ucapnya sambil menunjukkan beberapa koper yang terbuka, akhir April lalu, di rumahnya di Bandungan, Kabupaten Semarang.

Menurut rencana, Sabtu (12/5) besok ia akan terbang kembali ke Hilversum, Belanda, dan menjalani aktivitasnya sebagai produser serta jurnalis senior bidang seni budaya pada RNW. Melalui pekerjaannya itu, Mas Mung—demikian ia akrab dipanggil—memperkenalkan seni dan budaya Indonesia selama hampir seperempat abad terakhir.

Materi siaran bernuansa seni dan budaya yang menjadi bidang tugas Mas Mung bukan disiarkan untuk lingkup Belanda, melainkan disiarkan ke Indonesia melalui radio-radio mitra RNW. Hal ini sesuai dengan prinsip yang dimiliki RNW, yakni untuk menjadi jembatan penghubung masyarakat Belanda dengan negara-negara sasaran, tetapi tetap menyesuaikan dengan keadaan masing-masing negara.

Oleh karena itu, informasi yang diangkat dan diudarakan tidak melulu berasal dari Belanda lalu disiarkan ke Indonesia. Penyiaran dalam bidang seni dan budaya juga sering kali dilakukan dengan membuat dokumentasi budaya di daerah tertentu di Indonesia kemudian disiarkan.

"Jauh-jauh di rantau masak tidak bisa memanfaatkan sarana ini," ujar Mas Mung.

Ia mengaku tertarik mengangkat budaya di Indonesia yang nyaris punah, seperti tari topeng Malang atau wayang garing Banten. Tak jarang dalam satu tahun Murbandono bisa dua atau tiga kali berkeliling Indonesia untuk mengangkat kondisi suatu budaya setempat yang nyaris punah. Setiap membuat dokumentasi, ia bisa menghabiskan waktu sekitar satu sampai dua bulan.

"Ya, waktu selama itu kadang tidak hanya saya gunakan untuk menggali satu tema saja. Kalau pas ada waktu luang, saya bisa berkeliling lagi mencari sesuatu yang unik dan aneh, seperti soal pawang hujan," ungkapnya.

Salah satu yang menyenangkan dari pekerjaannya adalah berkeliling ke berbagai tempat. Dia juga bisa "mengangkat" tokoh-tokoh kesenian setempat yang berdedikasi tetapi belum mendapat penghargaan secara pantas.

Sekadar menerjemahkan

Rubrik siaran bidang seni dan budaya pada RNW Siaran Indonesia (Ranesi) tidak begitu saja terbentuk. Murbandono bercerita, pada masa awal dia bergabung dalam Ranesi, mereka masih sangat bergantung pada pihak lain dan belum mandiri.

Pekerjaan yang dilakukan masih sekadar menerjemahkan materi dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Informasi yang diberikan juga masih terbatas pada pemberitaan dari Belanda saja.

Bahkan, proses penerjemahan juga lebih rumit karena materi dari bahasa Belanda harus diterjemahkan dulu ke dalam bahasa Inggris, baru setelah itu diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Indonesia. Proses tersebut harus dilalui karena saat-saat awal Murbandono belum menguasai bahasa Belanda.

Hambatan sudah pasti tidak terlepas dalam perjalanan kariernya. Namun, rintangan ini diakui Murbandono masih sebatas masalah dana daripada idealisme. Ia menceritakan, bagaimana dia dan rekannya di Ranesi harus susah payah menyiapkan program dengan dana terbatas.

Cobaan cukup besar dia hadapi pada tahun 1994 ketika Pemerintah Belanda berencana mau membubarkan siaran Indonesia pada RNW. Murbandono menyatakan, persoalannya bukan karena akan kehilangan pekerjaan, tetapi saat itu masih banyak pekerjaan yang belum selesai. Namun, untung bagi Murbandono, rencana tersebut tidak jadi direalisasikan.

Penulis dan sutradara

Murbandono mulai bergabung dengan RNW tahun 1983. Saat akan bergabung dengan RNW itu, tidak ada tawaran khusus kepadanya. Ia hanya melihat ada lowongan pekerjaan, lalu mencoba melamar, dan akhirnya diterima bekerja setelah melewati tes.

Bekerja dalam bidang audiovisual sebenarnya bukan hal baru bagi Murbandono. Sejak tahun 1974, dia sudah menggeluti kerja penulisan dan audiovisual pada Penerbitan Cipta Loka Caraka. Ia juga menjadi penulis dan sutradara pada Sanggar Prathivi serta anggota tim skenario Gramedia Film, keduanya di Jakarta.

Saat diterima bekerja pada RNW, dia lebih dahulu mengikuti pendidikan di Belanda bagian selatan. Di sini pula ia mulai belajar bahasa Belanda.

"Saya tidak merasa ada gegar budaya saat mulai tinggal di Belanda. Bisa jadi karena saya sebenarnya sudah terbiasa dengan lingkungan seperti ini, yaitu saat belajar di seminari," ujar Murbandono.

Kenapa tidak mengangkat budaya Indonesia melalui media yang ada di Indonesia saja, Murbandono beralasan, pada masa itu kekuasaan Orde Baru yang represif masih terlalu kuat.

Ia memberi contoh, untuk membuat sebuah drama saja harus melalui sensor dan naskah pun harus mau direvisi. Ketika membuat figur polisi, misalnya, tidak boleh tokoh ini digambarkan tengah membentak-bentak.

Ayah dua anak ini mengaku, keberadaannya bersama RNW tak lepas dari peluang yang ada saat itu. Peluang itulah yang kemudian membawa Murbandono selama hampir seperempat abad memperkenalkan Indonesia kepada masyarakat dunia dari Hilversum, Belanda. (AB1)

Sumber : Kompas, Rabu, 9 Mei 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks