Jun 4, 2009

Nicolas Paul Stephane Sarkozy de Nagy-Bocsa : Anak Imigran yang Ingin Ubah Perancis

Anak Imigran yang Ingin Ubah Perancis
Oleh : Diah Marsidi

Kisah hidupnya bagai dongeng pop, lengkap dengan bumbu ambisi, kerja keras, serta percintaan berliku. Nicolas Paul Stephane Sarkozy de Nagy-Bocsa mencapai impian masa kanak-kanaknya ketika hari Minggu (7/5) terpilih menjadi Presiden Perancis. Ia menjanjikan dimulainya lembaran baru bagi negara itu.

Sarkozy lahir di Paris 52 tahun lalu, dari seorang ibu Perancis dan seorang ayah yang memilih berimigrasi ke Perancis ketika negaranya, Hongaria, diinvasi Uni Soviet yang komunis, sebagai anak kedua dari tiga bersaudara laki-laki.

Sang ayah yang keturunan bangsawan itu meninggalkan keluarganya kala Sarkozy dan dua saudaranya masih kecil. Itu membuatnya selama beberapa tahun kala remaja untuk tidak mau berhubungan sama sekali dengan ayahnya.

Namun, mungkin itu juga yang membuatnya punya semangat berkobar untuk membuktikan diri melalui kerja keras. Dia pernah mengungkapkan bahwa perginya sang ayah, meninggalkan keluarganya kala dia berusia empat tahun, membuatnya merasa tidak berdaya, dan membangkitkan kebutuhan untuk terus membuktikan diri pada dunia.

Sarkozy tumbuh besar di Paris, kemudian di Neuilly-sur-Seine, sebuah pinggiran kota Paris, di mana dia masih tinggal sampai kini. Ibunya, Andree, membesarkan ketiga anak lelaki itu dengan kakek mereka, seorang dokter Yahudi-Yunani yang memuja Jenderal Charles de Gaulle. Keluarganya itulah yang mengajarinya nilai-nilai Gaullisme: cinta pada Perancis dan menolak kekalahan.

Sebagai anak muda, dia bereaksi menolak pandangan sayap kiri yang waktu itu menjadi mode dan dihubungkan dengan pemberontakan mahasiswa Mei 1968, dan memilih pandangan kanan dari partai Gaullis.

Setelah menyelesaikan pendidikan di Institut Ilmu Politik dan Hukum di Paris yang bergengsi, dia menjadi pengacara pada usia 26 tahun. Namun, beberapa tahun sebelumnya dia sudah memulai karier politiknya, melalui Partai Gaullis, partai yang membawanya ke cita-cita yang telah dimilikinya sejak berusia tujuh tahun: menjadi Presiden Perancis.

Dia tidak merahasiakan ambisinya yang sangat kuat untuk memperoleh kekuasaan. "Saya tidak ingin menjadi presiden, saya harus menjadi presiden," katanya pada penulis biografinya, Catherine Nay.

Ambisinya nyaris tanpa batas. Pada tahun 1983, pada usia 28 tahun, dia menyingkirkan mentor politiknya -- yang adalah juga pendampingnya saat dia menikah -- untuk menjadi wali kota Neuilly-sur-Seine, kota Perancis terkaya per kapita.

Sarko, begitu julukannya, dikenal dengan gayanya yang keras dan bahasa yang juga tanpa tedeng aling-aling, juga sikapnya yang tegas pada kejahatan dan imigrasi ilegal ketika menjadi Menteri Dalam Negeri.

Tahun 2005, kala dia masih memegang jabatan Mendagri, bahasanya yang keras menjadi salah satu faktor penyulut kerusuhan yang berkobar di seluruh Perancis, terutama di kawasan proyek perumahan yang dihuni oleh mayoritas imigran miskin.

Pada waktu itu, dia meyakinkan seorang wanita di sebuah proyek perumahan bahwa dia akan menggelontor "sampah" dari jalan-jalan, merujuk pada anak-anak muda para pelaku kejahatan.

Kawasan-kawasan pinggir kota yang dihuni banyak imigran kulit hitam dan Arab itu pun terlanda oleh gelombang kerusuhan selama tiga minggu pada akhir 2005.

Namun, para pemilih Perancis telah memutuskan bahwa gaya kepemimpinannya yang keras adalah yang diperlukan Perancis untuk memperbarui negara yang turun pamor setelah 12 tahun di bawah Jacques Chirac itu.

Realitas ekonomi

Selama masa kampanye, kaum Sosialis mencoba membuat takut orang Perancis yang merencanakan memilih Sarkozy, dengan memperingatkan bahwa dia sebuah bahaya pada demokrasi dan seorang politisi agresif yang tidak dapat dipercaya untuk tetap tenang sebagai presiden.

Namun, taktik itu bagai bumerang. Pemilih merasa gaya kepemimpinan macam itu yang kini dibutuhkan.

Minggu malam, Sarkozy-lah yang melakukan pawai kemenangan kepresidenen Perancis, mengitari Arc de Triomphe dan melewati Champs Elysees, membuka botol sampanye dan disambut meriah para pendukungnya.

Malam itu, ada sebuah perasaan di Paris bahwa Perancis, seperti kata Sarkozy dalam pidato kemenangannya, telah membalik "sebuah halaman baru dari sejarah kita."

"Dalam republik yang ingin saya abdi," katanya, "tidak boleh ada hak tanpa kewajiban. Semua harus mempunyai kesempatan, tetapi mereka harus mendapatkannya dengan kerja, dengan komitmen pribadi, dengan keyakinan."

Kemenangannya membuktikan apa yang diyakininya selama ini bahwa Perancis siap untuk perubahan-perubahan radikal yang ditawarkannya -- perubahan-perubahan yang berdasarkan pada tema kampanyenya kerja keras, tanggung jawab perseorangan dan hormat pada "nilai-nilai nasional" Perancis.

Menurut para analis, kemenangan Sarkozy menandai sebuah titik balik bagi Perancis, dengan pemilih bergeser ke kanan memilih pembaharuan-pembaharuan yang merupakan norma di sebagian besar negara maju lain.

Hasil pemilu itu dianggap menandai diterimanya realitas ekonomi oleh Perancis. Rakyat bisa melihat ekonomi tidak berjalan, pajak selalu tinggi, dan Sarkozy menjelaskan bahwa prioritasnya adalah meringankan beban itu.

Salah satu perubahan yang diusulkannya adalah mengenai 35 jam kerja maksimal per minggu yang akan dijadikannya minimal.

Dongeng pop dari kisah hidupnya tak lengkap tanpa unsur cinta yang berbelit. Pada tahun 1984, dia jatuh cinta pada Cecilia Albeniz. Saat sebagai wali kota Neuilly, dia meresmikan perkawinannya dengan gadis berambut hitam, seorang bintang TV.

Akhir 1980-an, Sarkozy bercerai dari istri pertamanya yang memberinya dua putra, dan dia dan Cecilia menikah tahun 1996. Setahun kemudian putra mereka lahir.

Ketika Sarkozy masuk ke pemerintah tahun 2002, Cecilia mempunyai sebuah kantor di kementerian dalam negeri, namun pada awal 2005 mantan model dan eksekutif humas itu menghilang dan ternyata dia meninggalkan suaminya demi seorang eksekutif iklan di New York.

Beberapa bulan kemudian mereka rujuk, walau gosip mengenai hubungan mereka masih ramai.

Franck Tapiro, mantan manajer kampanye Sarkozy yang telah mengenalnya selama 22 tahun mengatakan, "Anda akan mencintai dia atau Anda membenci dia. Tidak ada di tengah-tengah." (AP/Reuters/AFP/BBC)

***
BIODATA

Nama: Nicolas Sarkozy

Lahir: Januari 1955 di Paris, Perancis, dari ayah seorang imigran Hongaria dan ibu Perancis keturunan Yahudi-Yunani.

Karier Politik: 1977 terpilih menjadi anggota Dewan Kota Neuilly, dan enam tahun kemudian terpilih sebagai Wali Kota Neuilly, pada usia 28 tahun, dan terus terpilih kembali untuk jabatan itu selama 19 tahun.

Sarkozy memasuki pemerintahan untuk pertama kali tahun 1993, sebagai Menteri Anggaran Belanja dan Jubir Perdana Menteri Edouard Balladur.

Tahun 2002 ketika Jacques Chirac menang dalam pemilu presiden, dia menjadi Menteri Dalam Negeri, lalu Menteri Keuangan tahun 2004. Ketika Partai UMP memilihnya menjadi ketua partai pada November 2004, dia meninggalkan pemerintah, dan kembali Mei 2005 atas permintaan Chirac sebagai Menteri Dalam Negeri.

Dia menikah dua kali, dan mempunyai tiga putra: Pierre dan Jean yang memberikan suara untuk pertama kalinya tahun ini, serta Louis.

Sumber : Kompas, Selasa, 8 Mei 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks