Jun 4, 2009

May Sumarnae : "Ibu" Orangutan dari Nyarumenteng

"Ibu" Orangutan dari Nyarumenteng
Oleh : C Anto Saptowalyono

"Tolong hati-hati, perahunya jangan terlalu dekat ke pohon. Mereka memang kelihatan baik. Akan tetapi, kalau lagi marah, mereka tiba-tiba saja bisa melompat dari atas pohon ke perahu."

Suara lembut May Sumarnae (29) kontan menyurutkan "niat petualangan" Andri dan Rustam untuk mengambil gambar dari jarak yang lebih dekat lagi. Perahu kelotok yang ditumpangi oleh masing-masing juru kamera stasiun televisi swasta dari Jakarta itu pun didorong agak menjauh.

Di atas pohon—bersamaan peringatan yang disampaikan May Sumarnae—seekor orangutan jantan tiba-tiba menunjukkan sikap tak bersahabat. Sorot matanya tajam memandang ke bawah seolah mengisyaratkan agar dua lelaki itu menjauhi betina-betinanya yang tengah menikmati "sarapan pagi" dari para teknisi Pusat Reintroduksi Orangutan Nyarumenteng, Palangkaraya.

May memang bukan tokoh penting di antara sekitar 300 karyawan di pusat rehabilitasi orangutan yang dikelola Yayasan Penyelamatan Orangutan Kalimantan (The Borneo Orangutan Survival Foundation/BOS) Nyarumenteng. Sebelum bertugas di bagian komunikasi BOS-Nyarumenteng, May menjadi pengasuh bayi orangutan yang membutuhkan perawatan khusus lantaran berbagai hal.

Bayi atau anak-anak orangutan yang ada di arboretum Nyarumenteng di Kecamatan Bukit Batu, Kalimantan Tengah, sangat membutuhkan perhatian. Umumnya, bayi dan anak-anak orangutan yang mendapat perawatan khusus ini lantaran kehilangan induk akibat ulah manusia. Entah itu orangutan hasil sitaan dari para pemelihara atau berasal dari kegiatan penyelamatan di hutan-hutan yang telah terkepung aktivitas pembukaan perkebunan besar.

Sejak tahun 2002 gadis Dayak Kapuas itu tinggal dan bermukim di Desa Sei Gohong. Dia "terdampar" sebagai pengasuh bayi orangutan dan sejak lima tahun terakhir benar-benar menceburkan diri di tengah-tengah kegiatan rehabilitasi orangutan di lingkungan BOS-Nyarumenteng.

"Ini pekerjaan yang sangat menyenangkan," kata May yang lulus dari Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Palangkaraya, tahun 2001.

Berbagi cerita

Terlahir dan bangga sebagai orang Dayak Kapuas, sejak kecil May terbiasa dengan hutan berikut alam dan kehidupan lingkungannya. Meski secara administratif Desa Sei Gohong adalah bagian dari wilayah Kota Palangkaraya, tetapi sesungguhnya relatif jauh dari pusat keramaian. Di sekitar desa tempat tinggal May bersama kedua orangtuanya, Herson (53) dan Beda (48), masih dipenuhi hutan rawa lebat.

"Jadi, sebetulnya saya tinggal di dekat hutan," tutur perempuan kelahiran 11 April 1978 dan sulung dari empat bersaudara ini.

Semasa kecil, suara-suara binatang hutan akrab di telinganya, tak terkecuali bunyi jeritan orangutan. Apalagi, sejak pusat rehabilitasi orangutan di Nyarumenteng hanya beberapa kilometer dari desanya. Karena itu, adanya kesempatan bergabung dengan BOS-Nyarumenteng membuat May senang.

Tugas sebagai pengasuh bayi dan anak orangutan menuntut ketelatenan dan kesabaran. Selama setahun bertugas, banyak suka duka yang dialami May. Pengalaman "luar biasa" yang ia rasakan adalah saat BOS-Nyarumenteng menerima bayi orangutan dari hasil penyitaan, yang belakangan mereka namakan Micky.

"Kondisi Micky menyedihkan. Ia dalam keadaan sakit berat," kata May mengenang peristiwa lima tahun silam itu.

Demi kesembuhan Micky, May sampai menginap di lokasi pusat rehabilitasi orangutan hingga 11 hari. Selama itu pula ia tak pulang ke rumah di Sei Gohong, mengingat Micky tak berhenti menceret. Bukan cuma itu, belakangan diketahui penyakit Micky sudah menyerang ke pusat saraf. Meski kondisi fisik Micky bisa dipulihkan, kemampuan motoriknya tak berkembang.

Melihat kenyataan yang menimpa "anak asuh"-nya itu, May mengaku sedih. Meski Micky sudah berusia dua tahun, keterampilannya kalah jauh dibandingkan dengan anak-anak orangutan seusianya. Itu berarti amat kecil kemungkinan bagi Micky untuk menikmati kehidupan normal di alam bebas, tempat asal habitat aslinya.

Kecintaan May pada orangutan, kedekatannya pada sejumlah "anak asuh"-nya di pusat rehabilitasi BOS-Nyarumenteng terlihat nyata ketika ia bermain-main dengan Suriyani (2), Julius (2,5), dan Kahim (3). Suriyani yang kolokan ingin selalu digendong May.

"Suriyani mulai kami rawat sejak usia enam bulan. Dia berasal dari hasil sitaan BKSDA IV di Kuala Pembuang, Kabupaten Seruyan. Pertama kami jemput, Suriyani sedikit takut. Kondisinya tidak begitu bagus karena selalu dikurung di kandang," kata May.

Kini, memasuki usia dua tahun, Suriyani mulai pandai memanjat pohon. May senang kalau orangutan yang diasuhnya mulai menunjukkan kemajuan sebagaimana seharusnya seekor orangutan di alam bebas. Memanjat pohon, mencari makan sendiri, dan membuat sarang dari ranting serta dedaunan mutlak mereka perlukan agar bisa bertahan hidup di habitat aslinya.

Karena itu, kata May, setelah memiliki keterampilan dasar tersebut, orangutan pun siap memasuki pendidikan tahap akhir. Di Pulau Pallas, Kaja, Bangamat dan Hampakpak Matey, mereka menerima pelajaran lanjutan, yakni belajar bersosialisasi bagaimana hidup di alam bebas.

"Di sini mereka berangsur-angsur dibiarkan sendiri tanpa pendamping. Tahapan ini sangat penting," kata May. Sebagaimana digambarkan dalam narasi film dokumenter The Story of Rimba yang turut "dibintangi" May, dikatakan, "hutan tak punya maaf untuk penghuni pohon tinggi yang tidak terampil".

Ketika orangutan yang menjadi "anak asuh"-nya benar-benar dilepasliarkan, May sedih dan bangga. "Sedih karena harus berpisah, tetapi juga bangga. Kalau orangutan bisa hidup liar berarti masih ada hutan. Otomatis hutan pun akan terjaga," ungkap May. (kenedi nurhan)

Sumber : Kompas, Kamis, 10 Mei 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks