Toleransi dan Pluralisme Dawam Rahardjo
Oleh : ST Sularto
Jumat (4/5/2007) pekan lalu Dawam Rahardjo (65) banyak tersenyum. Aula Universitas Paramadina di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, penuh. Seiring dengan 65 tahun usianya, diluncurkan buku Demi Toleransi Demi Pluralisme, kumpulan 31 esai yang dieditori Ihsan Ali-Fauzi, Syafiq Hasyim, dan JH Lamardy.
Saya gembira, teman saya masih banyak," katanya saat menerima ucapan selamat. Hadir di antaranya Menteri Meutia Hatta, Nono Anwar Makarim, Syafi’i Anwar, Bambang Ismawan, Siti Musdah Mulia, juga rekan-rekan baru Dawam dari Komunitas Eden dan Ahmadiyah. Dengan bersemangat, ia membubuhkan tanda tangan di halaman awal buku setebal 464 itu.
Dawam mengatakan, "Teman saya masih banyak walau saya merasa akhir-akhir ini ditinggalkan oleh teman-teman lama." Abdul Rachman, pimpinan Komunitas Eden, menggolongkan Dawam sebagai orang yang mau dialog dan bertanya tentang kepercayaan mereka.
Menurut Abdul Rachman, dalam interaksi Dawam dan Komunitas Eden ada kepentingan lebih besar, yakni kebangsaan dan pluralitas Indonesia. Dawam mengatakan, "Saya tak peduli kata orang. Dibilang Komunitas Eden, enggak apa-apa. Ahmadiyah tidak apa-apa, asal jangan bilang saya Muhammadiyah."
Di mata Dawam, toleransi bukan tanda kelemahan. Dengan memahami kepercayaan, agama, dan komunitas lain, dia merasa memahami akidah Islam dengan lebih baik.
Esai-esai dalam Demi Toleransi Demi Pluralisme menegaskan sosoknya yang toleran sekaligus pluralis. Sikap hidup itu berkembang lewat pergulatan. Berlatar belakang disiplin ilmu ekonomi, ranah pemikirannya meluas pada persoalan-persoalan kemasyarakatan.
Dawam tak hanya memberi sumbangan besar bagi pengembangan ilmu-ilmu sosial di Indonesia, tetapi juga pengembangan semangat pluralitas dan toleransi membangun Indonesia yang majemuk-plural. Ke-31 tulisan sebagai "hadiah buku" untuk Dawam menjadi simbol pengakuan atas kepeloporannya sebagai ekonom, penggerak aktivis LSM, pluralis dan toleran.
Prof Ahmad Syafi’i Maarif menggolongkannya sebagai "sang intelektual" yang beranah dalam dunia penuh tantangan, siap diejek, dicemooh, dan dipojokkan. Dalam belantara pemikiran keagamaan, Dawam adalah salah seorang tokoh neo-modernisme Islam.
Greg Barton, ahli NU dari Australia, menempatkan Cak Nur, Mas Djohan, Bung Wahib, Gus Dur sebagai empat pelopor neo-modernisme Islam Indonesia. Dawam dikecualikan. Padahal, pada era 1960-an, sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, dia intensif berdiskusi dengan tokoh Ahmad Wahib.
Hadimulyo, rekan dan "murid"-nya di Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES), mengelompokkan Dawam sebagai intelektual aktivis. Majalah >f 9002f 9001<>f 9002f 9001< menyangkut pemikiran ekonomi-sosial-politik bahkan agama.
Dawam juga melakukan penelitian, menganalisis, dan menelurkan pemikiran-pemikiran yang menerobos yang menguatkan posisi masyarakat warga. "Mas Dawam adalah generasi pertama kaum strukturalis dan neomarxis yang melahirkan aktivis muda Islam yang progresif, terutama lewat LP3ES dan Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M)," ungkap Bonnie Setyawan, aktivis dan bekas "murid"-nya.
Daniel Dhakidae yang bekerja sama dengan Dawam di LP3ES, menulis, "Dia pribadi yang kompleks. Seorang ekonom tangguh tetapi berteologi Islam yang sama fasihnya dengan profesional di bidang itu. Dia bisa bekerja dengan statistik rumit, namun pada saat sama bisa berkarya sastra yang subtil, menulis cerpen yang mengasyikkan."
Mengenai sikap toleransi, di mata Frans Magnis-Suseno, agama tak pernah diartikan Dawam sebagai teori atau ideologi saja. Agama adalah kewajiban untuk membuat kehidupan bagi mereka yang lemah, tersingkir, tereksploitasi, tertindas, untuk hidup menjadi lebih ringan. Sebagai ahli ekonomi, dia memberi perhatian kepada ekonomi kerakyatan.
Keberadaan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tahun 1980-an menjamur, tak lepas dari sosok Dawam. Bonnie Setiawan menggolongkannya sebagai tokoh pembaru LSM.
Pengakuan publik
"Hadiah buku" itu hanya potret sepintas tentang sumbangan Dawam. Lewat buku itu dia memperoleh pengakuan publik. Karier intelektualnya membentang luas. Dawam merambah beragam tema pemikiran dan kegiatan, termasuk aktivitas dan kedudukan yang amat berwarna.
Beberapa tahun terakhir, Dawam tampil sebagai pelopor gerakan pembela kebebasan. Ia aktif melakukan advokasi pembelaan jemaah Ahmadiyah, Komunitas Eden, Jaringan Islam Liberal, Kelompok Syi’ah, dan kaum minoritas lain. Ketika isu RUU Antipornografi dan Pornoaksi marak, dia turun ke jalan memimpin massa pembela kebebasan.
Ketika kesehatannya menurun dan terbaring di rumah sakit, dia berkomunikasi dengan dunia luar lewat tulisan. Tetapi, justru di rumah sakit itu ia mengalami masa paling produktif, sejumlah buku dihasilkan.
Jiwa seninya sesekali hadir lewat cerpen-cerpen. Kisahnya subtil dan berangkat dari realitas yang sedang hangat. Salah satu cerpennya, Wirid, terpilih sebagai salah satu cerpen terbaik Kompas tahun 1995. Cerpen yang melankolis itu dia tulis 10 hari setelah istrinya, Zainun Hawariah, meninggal dalam usia 49 tahun.
"Waktu muda saya ingin jadi musikus, tetapi bapak tidak suka dan gitar saya dibanting," katanya mengenang.
Sumber : Kompas, Jumat, 11 Mei 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment