Djoni Bustan dan Inovasi Bahan Bakar
Oleh : BM Lukita Grahadyarini
Bangsa ini harus serius mengurangi ketergantungan pada bahan bakar minyak karena cadangan minyak mentah Indonesia semakin menipis. Berangkat dari pemikiran itu, Djoni Bustan menciptakan alat-alat produksi bahan bakar berbahan baku minyak sawit, ampas tebu, dan batu bara.
Penciptaan peralatan itu dilakukan di ruang laboratorium yang terbuka berukuran 3 meter x 4 meter di halaman belakang Kompleks Gedung Pascasarjana Universitas Sriwijaya (Unsri), Palembang. Dia memang pengajar teknik kimia di universitas itu yang mengembangkan pembuatan alat produksi bahan bakar minyak (BBM).
Sejak tahun 2005 bersama istrinya, Sri Haryati Widianingsih (49), yang juga pengajar teknik kimia di Unsri, Djoni Bustan (50) merancang alat pengolah minyak sawit mentah (CPO) menjadi bahan bakar pengganti solar, bensin, dan minyak tanah.
Alat pengolah itu terdiri atas dua jenis, yaitu pengolah CPO menjadi pengganti solar dan bensin serta pengolah CPO menjadi pengganti minyak tanah. Peralatannya tergolong sederhana, yakni tungku pemanas, pipa, dan reaktor yang berbahan dasar stainless steel.
Proses pengolahannya, CPO dimasukkan ke dalam pemanas listrik. Setelah dipanaskan dengan suhu 60 derajat Celsius, CPO dimasukkan ke reaktor biodiesel lalu diolah sehingga menghasilkan cairan senyawa alkana yang unsurnya mendekati solar. Proses pengolahan itu berlangsung sekitar 60 menit dan dapat dilanjutkan secara kontinu. Cairan senyawa alkana kemudian dimurnikan melalui proses destilasi dan adsorpsi sehingga menghasilkan minyak biodiesel.
Biodiesel yang dihasilkan itu memiliki perbedaan dibandingkan dengan kebanyakan biodiesel yang kini mulai diproduksi di Indonesia. Biodiesel buatannya itu mengandung senyawa alkana sehingga bisa sepenuhnya digunakan sebagai bahan bakar tanpa harus dicampur dengan solar.
Cairan senyawa alkana masih bisa diproses lagi menjadi bensin dengan memakai reaktor biogasolin yang diciptakannya. Melalui proses reaksi, 20 liter CPO bisa diolah menjadi bahan bakar setara 16 liter bensin.
Untuk membuktikan hasil penelitiannya, Djoni menuangkan biogasolin dan biodiesel ke atas potongan kayu bakar di pekarangan laboratorium. Saat potongan kayu yang sudah dilapisi bahan bakar itu disulut dengan api, timbul bara api berwarna merah kekuningan.
Ia juga menciptakan alat untuk mengolah CPO menjadi minyak tanah. Alat itu terdiri tasa tangki pengaduk, reaktor dekarbosilaksi, dan reaktor kerosin berbahan dasar stainless steel. CPO diproses menjadi minyak tanah dengan suhu di bawah 150 derajat Celsius.
Ketekunannya berinovasi menciptakan alat penghasil bahan bakar tidak berhenti sampai di sini. Tahun ini Djoni mengembangkan alat produksi bensin berbahan baku ampas tebu.
Teknik yang diterapkannya adalah dimerisasi atau penggabungan metanol. Bubuk ampas tebu yang berasal dari sisa pengolahan tebu diolah menjadi metanol (CH>sub<3>res<>res
Ia memiliki obsesi untuk terus menciptakan alat-alat produksi BBM dari bahan baku alam sehingga kelak bisa menjawab persoalan harga BBM yang mahal, khususnya di daerah pelosok yang jauh dari stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU).
"Bila bahan bakar dari ampas tebu dan CPO dikembangkan dalam skala industri kecil oleh masyarakat pedesaan, ekonomi daerah bisa terangkat karena akan menyerap tenaga kerja dan mendorong usaha perkebunan," katanya.
Batu bara
Selain membuat BBM dari bahan baku sawit dan tebu, Djoni juga memproduksi BBM dari batu bara. Di dalam negeri, bahan tambang itu selama ini hanya dimanfaatkan untuk bahan baku pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan bongkahannya diekspor sehingga nilai ekonomisnya cenderung rendah.
Melalui penelitian selama empat tahun, tahun 2002-2006, Djoni menciptakan reaktor osilasi dengan gelombang elektromagnetik (electromagnetic oscillated coal liquefied reactor). Alat itu berfungsi menyederhanakan struktur kimia batu bara yang berantai panjang sehingga menjadi pendek dan mendekati struktur kimia minyak bumi.
"Struktur kimia batu bara hampir sama dengan minyak bumi sehingga batu bara berpotensi untuk menjadi bahan bakar minyak. Yang membedakan hanya berat molekul batu bara lebih tinggi, sedangkan kandungan hidrogennya lebih rendah daripada minyak bumi. Itu yang perlu diakali," papar Djoni.
Proses osilasi dengan alat itu cukup sederhana. Berlangsung kurang dari 45 menit, menggunakan temperatur di bawah 200 derajat Celsius, tegangan listrik maksimum delapan volt, pelarut, dan tanpa katalis. Dalam proses itu, berat molekul batu bara dipotong sehingga larut dalam pelarut, sedangkan kadar hidrogennya ditingkatkan agar struktur kimia batu bara lebih pendek. Hasilnya, batu bara terbentuk menjadi minyak mentah.
"Melalui pengolahan lanjutan di kilang minyak, minyak mentah sintetis dari batu bara bisa diproduksi menjadi bahan bakar seperti bensin, kerosin, dan solar," ujar Djoni yang melibatkan mahasiswa dalam penelitian.
Pria yang juga menjabat Ketua Dewan Riset Daerah (DRD) Sumatera Selatan ini punya obsesi menciptakan bahan bakar dari beragam bahan baku dengan teknologi yang sederhana dan mudah dipelajari. Ia berangan-angan setiap daerah dapat memanfaatkan bahan baku di wilayah masing-masing untuk memproduksi bahan bakar dan mengembangkan industri energi.
"Hidup ini adalah bagaimana menyederhanakan yang kompleks," kata Djoni, yang merogoh kocek hingga jutaan rupiah untuk penelitian tersebut.
Sumber : Kompas, Selasa, 22 Mei 2007
Jun 4, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment