Jun 4, 2009

Justinus Sudarminto : Pergulatan "Setia pada Kebenaran" Sudarminta

Pergulatan "Setia pada Kebenaran" Sudarminta
Oleh : ST Sularto

Kebenaran jadi barang mewah. Kebohongan kepada publik meluas. Sulitnya pemberantasan korupsi di negeri ini tidak terlepas dari berakarnya kebohongan kepada publik.

Mengingat begitu banyak kebohongan dalam berbagai aspek kehidupan kita, apalagi kebohongan dilakukan atas nama kebenaran, masihkah ada arti bicara tentang kesetiaan pada kebenaran? Dusta ada di mana-mana.

Banyak janji politisi tetap tinggal janji. Masa kampanye menjelang pemilihan kepala daerah atau pilkada serta pemilu adalah masa menebar pesona dan menggalang perolehan suara.

Dr Justinus Sudarminta SJ (56) mengungkapkan pernyataan dan pertanyaan di atas sambil bergetar. Ranah kehidupan publik, apalagi kehidupan pribadi, menurut doktor filsafat lulusan Fordham University, Amerika Serikat (AS), tahun 1988 itu, didominasi kebohongan.

Sudarminta—sesama kolega dan mahasiswanya memanggil Romo Sudar—tidak sedang main drama. Dia tidak pura-pura. Ia mengungkapkan keprihatinan mendalam. Sebab, katanya, kalau kebohongan kepada publik diterus-teruskan, akan membuat bangsa ini hidup dalam kepura-puraan.

Bangsa ini berkembang menjadi bangsa yang tidak pernah dewasa karena terbiasa bohong. Bahkan, untuk persoalan-persoalan yang seharusnya dikatakan apa adanya.

Krisis kepribadian

Keprihatinan itulah yang mendorongnya melakukan riset perpustakaan untuk pidato pengukuhan jabatan guru besar (profesor) ilmu filsafat dari Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Sabtu 12 Mei 2007 ini.

Lebih dari 50 buku jadi acuan, terutama menyangkut pendapat para filosof. Obsesi pergulatannya memperoleh kapstok dari pernyataan Prof Syafii Ma’arif, 25 Februari yang lalu. Dalam seminar Dies Natalis Ke-38 STF Driyarkara, Syafii Ma’arif menggelitiknya dengan pernyataan tentang krisis kepribadian yang diakibatkan tidak bertemunya laku dan kata.

Menurut Sudarminta, itulah cermin masyarakat kita. Praksis pendidikan yang seharusnya jadi tempat berlatih "setia pada kebenaran" ikut kena imbas. Ruang kelas tidak imun dari pengaruh masyarakat. Kecurangan ujian nasional adalah contoh aktual. Mereka yang melapor harus dilindungi.

Kebohongan meluas karena pengaruh pasar yang didominasi nafsu memperoleh keuntungan dengan cepat. Segala cara dihalalkan, termasuk lewat kebohongan.

Perilaku bohong masyarakat ibarat kisah yang disampaikan Sartre tentang seorang pengidap penyakit TBC. Si sakit tahu berpenyakit TBC, tetapi dia tidak mau memeriksakan diri ke dokter. Dia berusaha meyakinkan diri bahwa tidak sakit. Dia tidak mau dikatakan sakit. Sementara, yang sesungguhnya terjadi, TBC berkembang dan menggerogoti tubuhnya.

Masalah setia pada kebenaran itu wilayah disiplin psikologi atau filsafat?

"Kedua-duanya. Ini wilayah persoalan multidisiplin," jawab Sudarminta di kantornya, Kampus STF Driyarkara, Rawasari, Jakarta, Rabu (9/5) petang.

Perlu cerdas

Sejak tahun 1998 Sudarminta duduk sebagai ketua sekaligus merintis program S-3, yang memulai tahun kuliah 2007/2008. Pada Juni nanti jabatan ketua digantikan Dr Eddy Kristianto OFM.

Menurut Sudarminta, agar terbebas dari kepura-puraan hidup, kebenaran harus diungkap. Tidak perlu frontal serentak, tetapi bisa pelan-pelan, membenarkan kebijakan Jawa nyekel iwake ora buthek banyune (menangkap ikannya tanpa membuat airnya menjadi keruh). Sebagai contoh, cara membuka aib Jepang menyangkut perilaku kejamnya terhadap para jugun ianfu.

Selain pelan-pelan, tidak semua kebenaran harus dikuak seperti apa adanya. Cara menguaknya pun harus cerdas. Fortiter in re suaviter in modo (tegas dalam masalah, halus dalam cara), pepatah Latin yang menegaskan soal cara melakukan kritik dan membuka aib.

Agar kebohongan tidak menjadi beban psikologis, sebaiknya fakta dikisahkan seperti apa adanya. Dalam berbagai kasus seperti peristiwa berdarah 1965, Tanjung Priok, Timor Timur atau Mei 1998, sebaiknya masyarakat memperoleh kisah sebenarnya. Mengapa? Kalau kebenaran itu dibiarkan dibohongkan, maka penderitaan bangsa ini, khususnya bagi korban, akan semakin berat.

Sudarminta mengakui, mendidik anak dan generasi muda untuk setia pada kebenaran bukan perkara mudah. Pendidikan nilai kebenaran dan kejujuran di tengah meluasnya kebohongan kepada publik dan dominasi pasar adalah bagian dari tugas kita bersama agar memiliki "hati nurani yang terdidik".

Dalam praksis pendidikan, untuk melatih "hati nurani yang terdidik", anak-anak perlu tokoh idola, sesuatu yang saat ini seolah-olah barang langka seperti halnya kesulitan memperoleh tokoh pemimpin masyarakat. Melatih setia pada kebenaran butuh contoh nyata, perlu idola, butuh kerja sama semua, termasuk secara imperatif sebagai salah satu nilai pedagogis dalam praksis pendidikan.

Pergulatan dosen filsafat di beberapa perguruan tinggi itu merupakan representasi keprihatinannya yang mendalam.

"Filsafat bagaikan anjing yang menggonggong, mengganggu dan menggigit," ucapnya mengutip Prof Frans Magnis-Suseno.

Dalam kedudukannya sebagai dosen filsafat, Sudarminta tidak pasrah. Dia "menggonggong, mengganggu, dan menggigit" mengenai situasi kepura-puraan masyarakatnya, Indonesia.

Sumber : Kompas, Sabtu, 12 Mei 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks