Setyo Harnowo: Tugas Kemanusiaan Tanpa Akhir
Oleh : Maria Hartiningsih
Bagaimana mengenali identitas seseorang yang jasadnya rusak berat karena menjadi korban bom, kebakaran, atau bencana lain? Penuturan Laksamana Pertama Prof Dr Setyo Harnowo, drg SpBM FICD (53) tentang kedokteran gigi forensik memperlihatkan peran kedokteran gigi militer dan polisi pada tugas kemanusiaan yang baru sedikit diketahui orang.
"Identifikasi korban pada peristiwa bom Bali pertama dan kedua, bom di Marriott dan bom di Kuningan, Jakarta, juga pada kecelakaan pesawat Garuda di Yogya merupakan salah satu bantuan yang diberikan dokter gigi militer dan kepolisian," papar Setyo Harnowo, yang Kepala Lembaga Kedokteran Gigi (Ladokgi) TNI Angkatan Laut RE Martadinata, di sela tugasnya sebagai Ketua Panitia Pengarah Komisi Kedokteran Gigi Militer dan Polisi (Defense Forces Dentistry Commission/DFDC) yang bersidang di Jakarta pada 23-25 April 2007.
Tema pertemuan itu "Peran Korps Kedokteran Gigi Militer dan Polisi dalam Bencana Alam". Pertemuan diikuti 400 dokter gigi militer dan polisi dari seluruh Indonesia dan 10 negara Asia Pasifik.
Ceramah ilmiah oleh 20 pembicara memaparkan perkembangan kedokteran gigi militer dan polisi, baik di darat, laut, udara, maupun forensik. Juga dibicarakan bagaimana membangun jaringan dan memadukan keterampilan ilmiah dasar dari kedokteran gigi dengan kesiapan medis serta persiapan menghadapi bencana.
DFDC merupakan satu dari empat komisi Federasi Dokter Gigi Asia Pasifik (APDF) yang berkongres di Jakarta, 26-28 April 2007. Tiga komisi lainnya dalam APDF adalah Komisi Pendidikan Kedokteran Gigi, Komisi Ilmu Penyakit Mulut, dan Komisi Kedokteran Gigi Masyarakat.
Lebih luas
Menurut Setyo Harnowo, dalam upaya identifikasi korban tewas akibat serangan teroris (maupun pelaku yang tewas), Tim Dokter Gigi Indonesia untuk Identifikasi Korban Bencana melakukan kerja sama dengan rekan-rekannya di tingkat nasional maupun internasional.
Odontologi forensik tak hanya terkait dengan keperluan pemeriksaan di pengadilan, tetapi terutama adalah untuk memberi keadilan bagi semua pihak.
"Dengan diketahuinya identitas korban, jasadnya dapat dikembalikan kepada keluarganya untuk dimakamkan sesuai adat dan agamanya. Dengan demikian, keluarga dapat melakukan berbagai hal terkait dengan status hukum, asuransi, dan sebagainya," ungkapnya.
Sebagai bagian dari kerja kemanusiaan, selain identifikasi korban, dokter gigi militer dan polisi juga harus membantu korban hidup yang mengalami trauma mulut dan maxillofacial (kerusakan pada wajah, gigi, dan rahang).
Dengan demikian, mereka dituntut memiliki pengetahuan lebih luas menyangkut psikologi, antropologi forensik, dan berbagai pelatihan lain. Ini terutama mengenai pengetahuan DNA karena pulpa gigi mengandung informasi yang kaya mengenai identitas seseorang yang jasadnya sudah hancur.
Mengapa gigi sangat penting dalam proses identifikasi?
"Karena daya tahannya terhadap pembusukan," jawabnya.
Gigi mempunyai daya tahan tinggi terhadap pengaruh temperatur karena mengandung sedikit sekali jaringan organik.
"Dalam kasus kebakaran atau kecelakaan yang menyebabkan kebakaran hebat, sering kali kami masih dapat menemukan gigi dalam keadaan relatif baik, sementara tubuh mengalami kerusakan parah," ujarnya.
Kedokteran gigi militer dan kepolisian, menurut Setyo, sering disalahartikan sebagai hanya untuk keperluan militer dalam perang. Memang, ada jenis kegiatan di lingkungan militer yang memerlukan kondisi gigi yang baik, seperti menyelam, karena setiap kedalaman 10 meter tekanan udara bertambah satu atmosfer. Sedangkan untuk penerbang, semakin tinggi, tekanan udaranya semakin berkurang.
Akan tetapi, kedokteran gigi militer juga banyak digunakan untuk kepentingan sipil, khususnya dalam situasi kritis. Perkembangannya lebih dinamis, terutama dalam menghadapi tantangan zaman, seperti ancaman bioterrorism, dan memberikan sumbangan yang besar terhadap kedokteran gigi secara umum.
Kedokteran gigi militer mempunyai sejarah panjang yang dapat dilacak sejak zaman Hammurabi (1792-1750 SM). Angkatan Perang Roma sudah mengenal pembuatan gigi palsu, mahkota gigi dari kulit kerang, emas, dan menyerupai gading. Tahun 1864 Kongres Amerika mengizinkan dokter gigi masuk ke angkatan perang, masuk rumah sakit militer, dan berhak atas pangkat setara dokter ahli bedah.
Pada Perang Dunia I seorang dokter gigi dan tenaga sukarela Palang Merah Inggris, Auguste Valadier, memelopori pekerjaan di bidang maxillofacial. Ia bersama stafnya berhasil merawat lebih dari 1.000 kasus rahang dan luka-luka pada wajah. Valadier mendapat gelar kebangsawanan karena hal itu.
Yang terbaik
Perjalanan Setyo Harnowo tak kalah menarik. Meski menjalani kuliah dengan serius, anak ketiga dari tujuh bersaudara itu mengaku masuk fakultas kedokteran gigi karena ikut-ikutan. Dua kakaknya sudah lebih dulu masuk fakultas kedokteran.
Meski begitu, ia sempat hampir berhenti dari fakultas kedokteran gigi karena, "Semua teman saya perempuan. Hanya sedikit teman laki-laki," ujarnya.
Ia sempat mendaftar sebagai penerbang, tetapi gagal. "Ya, saya balik kuliah lagi," tuturnya.
Setelah lulus, ia sempat mendaftar ke Departemen Kesehatan, tetapi kemudian melamar menjadi dosen di bagian bedah mulut karena ingin melanjutkan pendidikannya sebagai spesialis bedah mulut. Ternyata jalur tersebut pun tak mudah.
Akhirnya ia memutuskan masuk Angkatan Laut yang memiliki lembaga kedokteran gigi terbaik. Setelah melalui pendidikan kemiliteran di Solo, Setyo Harnowo ditugaskan ke Irian Jaya selama empat tahun.
Selama berkarier dia juga menyelesaikan bidang spesialisasinya, menjadi doktor, lalu profesor, dan kemudian… laksamana bintang satu.
Kalau semua itu yang ia maksud sebagai pencapaian "terbaik", ia sudah meraihnya. Namun, Setyo Harnowo tahu, dalam tugas kemanusiaan tak ada pencapaian akhir.
Sumber : Kompas, Kamis, 26 April 2007
Jun 5, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment