Pertarungan" Baru Dimulai
Oleh : Maria Hartiningsih dan Ninuk M Pambudy
Begitu buku yang ditulisnya mengenai mantan Presiden ke-2 RI, Soeharto, berada di tangan pembaca, posisi Retnowati Abdulgani-Knapp (62) sebagai penulis seperti "terjepit" di antara kelompok yang anti dan pro Soeharto.
Kelompok yang satu mengatakan, "Apa motivasinya memuji-muji Soeharto?" Sedangkan kelompok lainnya mempertanyakan, "Ngapain dia membuka luka lama?"
Seorang temannya malah menegaskan, "Aku enggak mau baca bukumu. Aku enggak suka bapakmu karena bapakmu oportunis, kamu juga pasti begitu."
Buku berjudul Soeharto, The Life and Legacy of Indonesian Second President, yang pertama kali diluncurkan di Singapura, Kamis (12/4), dan di Jakarta, Rabu (25/4), seperti sudah diperkirakan Wati ketika memulai risetnya empat tahun lalu, segera menuai kontroversi.
Sembilan tahun setelah Soeharto lengser, ingatan akan zaman itu masih terasa kental. Kesulitan hidup membuat banyak orang lari kepada ingatan masa lalu. Mereka tak punya energi lagi untuk menggali akar persoalan yang dihadapi, sehingga masa kini seolah-olah berdiri sendiri, terpisah dari masa lalu.
Dalam konteks itu, buku terbitan Marshall Cavendish, Singapura, itu dinilai sebagian orang mendukung kembali berkuasanya rezim Soeharto. Liputan di banyak media memperkuat kesan itu.
Akan tetapi, seperti ditegaskan Wati, ia sama sekali tidak bermaksud membersihkan nama Soeharto.
"Saya hanya ingin menaruhnya dalam perspektif," ujar Wati, Rabu (25/4) petang, di rumah almarhum ayahnya, di Menteng, Jakarta.
Perspektif itu adalah perspektif sejarah "apa adanya", tidak hitam-putih. "Tidak ada pemimpin yang jahat 100 persen atau baik 100 persen. Bapak selalu bilang, orang besar, jasanya besar, salahnya juga besar," ujar Wati, mengutip pesan ayahnya, almarhum Dr Roeslan Abdulgani.
Cak Roes, panggilan sang ayah, dikenal sebagai Soekarnois, menjadi menteri luar negeri pada zaman Soekarno dan Duta Besar RI di PBB pada awal era Soeharto.
Pada masa-masa paling represif Orde Baru, Cak Roes seperti tidak tersentuh. Sikapnya yang arif dan tidak pernah berbicara buruk tentang orang lain membuat Cak Roes sering dituduh oportunis.
Hubungan Cak Roes dan Soeharto sangat dekat justru setelah Soeharto lengser. Keduanya saling mengunjungi. Wati yang pulang ke Jakarta tiga-empat kali setahun, selalu diajak sang ayah ke Jalan Cendana, kediaman Soeharto.
Merebut interpretasi
Ide menulis buku Soeharto muncul atas dorongan sang ayah, setelah buku pertama Wati, A Fading Dream: A Story of Roeslan Abdulgani and Indonesia diterbitkan Times Book International, Singapura, tahun 2003.
Cak Roes, kata Wati, ingin agar ia menulis Soekarno dan Soeharto dalam konteks dan perspektif lebih seimbang. Pada saat sama, Wati membaca artikel di koran The Nation, Bangkok, yang mendorong agar cendekiawan (scholar) Asia merebut interpretasi sejarah politik, sosial, dan ekonomi negaranya dari cendekiawan asing.
Wawancara dengan Soeharto tidak mudah karena kondisi kesehatan Soeharto. Meski menyetujui buku itu sebagai biografinya, Soeharto dan anak-anaknya tidak sedikit pun mencampuri penulisan buku. "Pak Harto seperti mempertaruhkan kepercayaannya kepada saya," ujarnya.
Dalam buku setebal 376 halaman itu Wati menulis banyak hal, termasuk isu, seperti proyek mobil nasional, Timor. "Tak mungkin menulis Pak Harto tanpa menyinggung soal Timor," ujar Wati. Juga tak mungkin tanpa membicarakan peristiwa tahun 1965.
Wati juga memaparkan "lubang besar", berupa situasi di mana banyak orang memanfaatkan kedekatannya dengan anak-anak Soeharto untuk memenangi pertarungan bisnis atau apa saja. Ironisnya, banyak dari mereka justru paling awal menyangkali, bahkan mengkhianati.
Bagaimana reaksi Soeharto dan keluarganya?
"Pak Harto tak punya pilihan. Itulah warisannya," ujar Wati.
Sasaran tembak
Begitu bukunya sampai di tangan pembaca, Wati menyadari pertarungan dimulai, dan akan memuncak, tanpa akhir. Pertarungan itu berada di area interpretasi dan pemaknaan. Ia siap menjadi "sasaran tembak".
"Saya menunggu tanggapan, kritik, atau mungkin kesalahpahaman. Tetapi, tolong baca dulu bukunya baik-baik."
Ia berharap ada buku lain tentang topik sama dengan perspektif berbeda. Itu akan membuka perdebatan ilmiah dengan berbagai bukti dan data baru yang membuat sejarah menjadi ruang pemaknaan berwarna.
Wati mulai menulis pada usia di atas 50 tahun, meletakkan pekerjaannya sebagai bankir dan konsultan. Yang mendorong sang suami, Hubert Knapp, seorang bankir. "Begitu pena digoreskan, tak ada yang bisa menghentikan," kata Wati.
Sekarang ia sedang mempertimbangkan satu dari dua topik buku berikut. "Yang satu tentang Xi Zhongxun, tokoh revolusi di China. Keluarganya meminta saya menuliskan. Topik lain tentang masyarakat Indonesia," ujarnya.
Honor hak cipta buku sebenarnya tidak besar. "Sama dengan di sini, 10 persen dari harga jual penerbit," ujarnya. Pendapatannya dari 3.000 buku cetakan pertama hanya cukup untuk biaya transportasi dua kali pergi-pulang London-Jakarta.
"Kaya dulu baru menulis," canda Wati yang hidupnya terbagi di tiga kota: Jakarta, Bangkok, dan London. Sekarang ditambah Beijing, karena suaminya pindah tugas ke sana.
Ia menulis dalam suasana nyaman, ditemani secangkir kopi dan alunan musik Beethoven atau Mozart, di rumahnya di dekat lapangan golf di London bagian tenggara, kawasan Surrey.
"Makanya waktu kemarin ada wartawan tanya, ’Anda dibayar berapa sama Cendana?’ Saya jawab, Mbahmu…." Itu ungkapan Jawa Timuran yang artinya kira-kira jangan bicara sembarangan. "Kalau di luar negeri, bisa saya tuntut secara hukum."
Sumber : Kompas, Jumat, 27 April 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment