Jun 4, 2009

Samuel Kiikhau, Pelopor Gerakan Keluarga Kecil

Semuel Kiikhau, Pelopor Gerakan Keluarga Kecil
Oleh : Kornelis Kewa Ama

Semuel Kiikhau begitu populer di kalangan masyarakat Kecamatan Fatumnasi, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Ia begitu dekat dengan masyarakat. Setiap melintasi desa dan kampung, dia selalu dipanggil atau ditegur warga.

Ketika ditemui di Fatumnasi, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT), akhir Maret lalu, ia menuturkan, setiap Senin sampai Sabtu dia berjalan kaki keliling 13 desa di Kecamatan Fatumnasi. Tujuannya untuk menyosialisasikan gerakkan keluarga kecil sejahtera (KKS). Dalam perjalanan itu, setiap kali bertemu dengan anak-anak, Kiikhau menyempatkan diri memberi petuah agar mereka rajin belajar dan tidak bolos sekolah.

Kegiatan yang dimulai tahun 1995 itu akhirnya berbuah hasil. Tahun 2006 TTS dinobatkan sebagai kabupaten terdepan dalam gerakkan KKS di tingkat Provinsi NTT.

"Hanya Kecamatan Fatumnasi yang sukses menjalani keluarga kecil dengan dua putra, dan akhirnya nama TTS yang diangkat menjadi kabupaten teladan," kata Kiikhau.

Di kecamatan dengan kondisi geografis sangat menantang itu, Kiikhau berjalan kaki menempuh perjalanan sampai 12 kilometer per desa, melewati jurang dan bukit. Ia lebih suka berjalan sebelum matahari terbit, dengan pertimbangan pukul 08.00 Wita dia sudah bisa memulai kegiatan di desa yang dituju.

Tahun 2000 ia dapat bantuan sebuah sepeda motor bekas dari Pemda TTS. Tetapi, sepeda motor itu hanya bisa dia gunakan selama empat bulan karena rusak. Permohonannya untuk mendapatkan kendaraan pengganti ditolak.

Meski mobilitasnya terhambat, cita-citanya untuk bisa menekan laju pertumbuhan penduduk di kecamatan itu tetap membara. Kiikhau tak keberatan berjalan kaki dari rumah ke rumah menemui para pasangan usia subur (PUS). Dia mengingatkan mereka agar selalu memerhatikan jarak, jumlah kelahiran, dan kesehatan anak balita masing-masing.

"Dulu, pasangan yang belum mendapatkan anak perempuan atau laki-laki berusaha terus sampai bisa mendapatkan anak seperti yang diinginkan. Sampai-sampai ada pasangan yang memiliki lebih dari 10 anak karena mengejar anak perempuan atau laki-laki," tutur Kiikhau.

Membawa kesejahteraan

Jumlah penduduk Fatumnasi yang terdiri dari 13 desa sampai tahun 1995, atau sebelum Kiikhau bertugas di kecamatan itu, sebanyak 13.219 jiwa. Tahun 2006 jumlah penduduk di tempat tersebut hanya bertambah 4.521 orang sehingga total penduduk Fatumnasi tahun 2006 menjadi 17.740 orang.

Sementara di Kecamatan Malaka Barat, Kabupaten Belu, misalnya, tahun 1995 jumlah penduduk setempat 24.678 orang, dan tahun 2006 naik menjadi 49.671 jiwa atau meningkat 24.993 orang.

Persoalan kependudukan ini sangat kompleks. Usaha membangun keluarga kecil tidak selamanya membawa kesejahteraan. Oleh karena itulah, untuk mencapai KKS perlu dukungan dari semua pihak, misalnya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Pekerjaan Umum, Pengelolaan Air Bersih, Pertanian, dan Peternakan.

"Memang kemiskinan ekonomi keluarga relatif tidak terlalu parah menimpa mereka. Tetapi, tujuan dari keluarga kecil, sejahtera, dan sehat itu masih jauh juga dari harapan. Mereka belum bisa mendapatkan makanan secara sehat dan membiayai pendidikan anak-anak sampai ke perguruan tinggi," ujar Kiikhau.

Hampir semua warga Fatumnasi masih mendapat beras untuk rakyat miskin (raskin), sulit berobat ke puskesmas karena keterbatasan dana, dan tidak semua siswa lulusan SMA bisa meneruskan ke jenjang perguruan tinggi.

Pembangunan sarana, prasarana, dan infrastruktur di desa-desa pun masih terbatas. Kendaraan umum dari desa ke kecamatan juga tidak ada sehingga banyak warga sulit untuk memasarkan hasil pertanian.

Saat ini jumlah PUS di Kecamatan Fatumnasi sebanyak 4.650. Dari jumlah tersebut, pasangan yang menggunakan kondom sebanyak 958, medical operasi pria sebanyak 233, medical operasi wanita 37, dengan suntikan 1.431, dan yang menggunakan pil 291. Total yang menggunakan alat-alat kontrasepsi sebanyak 2.950 PUS.

Kesulitan

Putra kelahiran Oenoa, Kabupaten Timor Tengah Utara, 19 September 1958 ini menuturkan, PUS yang sudah memiliki dua anak biasanya bersedia segera menggunakan alat penghambat proses kehamilan.

"Mereka menyadari, banyak anak berarti kesulitan merawat dan mengasuhnya. Sebagian dari mereka juga tidak lagi berpikir soal anak perempuan atau laki-laki, yang penting sudah punya dua anak, langsung berhenti hamil," ucap Kiikhau.

Meski kesadaran sudah ada, proses sosialisasi KKS tetap harus berjalan. Ini diperlukan agar mereka tidak lalai terhadap suatu keputusan, apalagi jika menyangkut kebutuhan seksual. Biasanya kaum suami lalai dalam sebuah kesepakatan bersama dengan sang istri.

Untuk memperlancar tugasnya, sejak tahun 2003 Kiikhau membentuk Bina Keluarga PUS, Bina Keluarga Balita, Bina Keluarga Remaja, Bina Keluarga Sehat Sanitasi dan Lingkungan, dan Bina Keluarga Lansia di setiap desa. Jumlah kader desa untuk itu hampir 2.000 orang.

Kader-kader itu bersedia bekerja meskipun tidak mendapat bayaran. Mereka membantu Kiikhau menyosialisasikan manfaat penggunaan alat-alat kontrasepsi, menimbang anak balita, dan mengadakan alat permainan edukatif sekaligus melatih anak-anak balita setempat.

Khusus mengenai Bina Keluarga Sehat Sanitasi dan Lingkungan di setiap desa yang masing-masing beranggotakan lima orang itu, kata Kiikhau, tugasnya adalah mendorong para ibu dan bapak di setiap keluarga untuk membersihkan halaman rumah, membangun kamar mandi dan kakus, mengadakan air bersih dan tempat sampah keluarga, serta menciptakan pola hidup bersih pada umumnya.

Ia mengaku, menciptakan budaya hidup bersih pun sampai sekarang masih sangat sulit. Ini, antara lain, karena banyak keluarga setempat yang masih hidup di bawah standar kemiskinan.

Namun, pekerjaan yang dirasakan paling berat adalah melakukan pembinaan terhadap kaum remaja, terutama di bidang kesehatan reproduksi, HIV/AIDS, dan infeksi menular seksual lain. Salah satu penyebabnya adalah pengetahuan mengenai hal-hal tersebut tidak pernah diajarkan orangtua dan guru.

Mungkin karena itulah setiap tahun selalu saja ada kasus siswa SMP yang hamil di luar nikah. Hal tersebut kemudian mengakibatkan pengguguran kandungan, bunuh diri, atau ada pula yang terinfeksi penyakit menular seksual.

Menurut Kiikhau, meski mereka tinggal di kecamatan terpencil, tetapi televisi, VCD dan DVD porno pun sudah beredar luas di kalangan remaja atau generasi mudanya. Gaya hidup mereka pun tidak jauh berbeda dengan para remaja yang tinggal di kota-kota besar.

Sumber : Kompas, Selasa, 15 Mei 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks