Jun 4, 2009

Ani Sekarningsih : Menyelam di Samudra Rasa

Menyelam di Samudra Rasa
Oleh : Maria Hartiningsih dan Arbain Rambey

Ia menulis, membaca, dan merekam dunia dengan lensa kamera. Ia mengarungi semesta dengan kata, simbol, dan gambar; menjadi penutur yang mengembara di dunia batin rasa, seraya membantu orang menemukan peta perjalanannya.

Kemarin saya enggak bisa ikut hunting foto," ujar Ani Sekarningsih (67), yang melepaskan rutinitas dengan kamera, berburu gambar di alam raya. Ia punya kegairahan dalam diam, dan memotret, katanya, membutuhkan suasana hening di dalam.

"Kita tidak dapat menemukan subyek dalam suasana hati yang riuh," ucapnya.

Ketekunan dan kesabaran tidak dibatasi usia. Ia bisa menunggu sampai berjam-jam untuk mendapatkan gambar yang sempurna. Ia bisa pergi ke mana saja, mengikuti kehendak hati untuk merekam bentang alam. Itulah yang membuatnya merasakan keterhubungan yang penuh dengan seluruh isi semesta raya. Sensasinya ia rasakan sampai ke sel-sel tubuh, seperti permainan di medan magnet.

"Ketika merekam bentang alam, saya menghentikan waktu," ujarnya.

Lalu, dia menambahkan, "Gambar itu bisa dinikmati di mana saja, kapan saja. Pikiran kita masih menyimpan suasana itu karena ingatan akan yang indah, sebagaimana yang buruk, menjadi beku di dalam. Seperti komputer, saya bisa membuka file-nya kembali."

Ia suka suasana menjelang matahari terbit dan tenggelam, karena di dalam keremangan ia tiba pada puncak rasa, melihat yang sejelasnya. Ia selalu takjub menyaksikan langit yang berubah dalam permainan cahaya dan warna di antara mega-mega. Ia suka memandang perubahan menuju terang dan menuju kelam. Ruang yang temaram itu, katanya, menyampaikan pesan yang hanya bisa ditangkap batin rasa.

"Data-data itu direkam di dalam pikiran dan harus dipahami akal. Semua itu hanya bisa dijabarkan oleh mereka yang mengalami dan merasakan. Bagaimana kita tahu garam itu asin kalau tidak merasakan?"

Ia memasuki dunia metafor. Lawan bicaranya harus memusatkan perhatian supaya mampu menangkap apa yang ia maksudkan.

"Kenali pula alam semesta yang memiliki getar bunyi oktaf kosmis yang selaras dengan angka-angka bilangan khusus, yang hanya bisa ditangkap dalam hening karena pendengaran indrawi tak mampu menangkapnya."

Diri kita masing-masing, kata Ani, adalah penyampai sekaligus penerima pesan dari semesta, kalau kita mampu menangkap makna dari setiap perjumpaan. "Bukankah itu ’sekolah’ kita di dalam kehidupan sekarang?" ujarnya.

Untuk dieksplorasi

Api, tanah, air, udara adalah unsur-unsur alam yang menjadi simbol untuk menyampaikan suatu pesan, dengan sekian tingkatan kebijaksanaan. Dari situ, Ani memasuki wilayah tarot, di mana peran keempat unsur itu sangat penting.

"Kenalilah penciptaan manusia dari wujud api, air, tanah, udara, dan roh jiwa," ujar pencipta tarot wayang dan penulis buku Bunga Rampai Wacana Tarot, yang membuat pengetahuan tarot diminati banyak orang saat ini.

Maka, ketika banyak orang menganggap tarot sebagai kartu nasib, ia hanya tersenyum. "Tarot adalah jalan," ujar Ani, yang mendapatkan pengakuan internasional dari Asosiasi Tarot Amerika tahun 2001.

Ani memaparkan, di dalam proses empat elemen tadi terdapat empat jalan, yang berjalan seiring atau saling bertolak belakang. Namun, keempatnya adalah kesatuan tak terpisah. Para tokoh psikologi yang memelopori lahirnya psikologi transpersonal, seperti Carl Jung, melihat kartu tarot merupakan cara tradisional untuk mengenali kondisi kejiwaan seseorang.

Bagi Ani, yang belakangan menggunakan nama Anice Bhadmurtiraka dan mengasuh rubrik konsultasi di satu media nasional, membaca melalui kartu, bilangan, maupun simbol- simbol lain merupakan kerja pengetahuan yang rasional, sebagaimana pekerjaan ilmuwan fisika yang menemukan pengetahuan alam semesta atau materi atom.

Di balik perlambang kartu ada energi yang tak tampak, yang sampai hari ini terus mengundang minat orang untuk menambang misteri di balik semua lambang gambar yang catatannya ditemukan di Museum Fez, dekat Maroko. Ke-22 lambang kartu tarot merupakan lambang perjalanan bintang yang erat kaitannya dengan kehidupan manusia.

Karena itu, ia menolak disebut peramal. "Saya ini seorang pejalan," begitu ia mendefinisikan dirinya. Pejalan yang menempuh perjalanan ke luar dan ke dalam. Seperti dia katakan, "Setiap pribadi yang menginginkan pengetahuan dan kebijaksanaan pastilah menukik ke dalam batin dan mencarinya sendiri."

Ia hanya membantu orang menemukan peta perjalanan itu.

Otodidak

Ani seorang otodidak. Membaca kartu pun dilakukan secara otodidak. Seorang tetangga yang memiliki kartu Lenormand meminta Ani, yang saat itu berusia 13 tahun, membacakan untuknya yang bingung memilih menantu.

Kedekatannya dengan sang ayah membuat Ani mengenal bahasa simbol dan filsafat angka. Dia kemudian mengeksplorasinya. Ia berpandangan bahwa hukum sebab-akibat bersifat sangat matematis.

Ia mulai menulis sejak di sekolah rakyat (SR). Beberapa syairnya dimuat di majalah Kunang-kunang. Kegemarannya menulis membuat orangtuanya yang masih tergolong menak sempat khawatir anak pertama dari empat bersaudara itu menjadi seniman.

Namun, menulis adalah panggilan jiwa. Kata menjadi bernyawa di tangannya, ketika seluruh kepekaannya menajam. Maka, ketika ia menjelajahi Papua dan jatuh cinta kepada warga serta kebudayaan Asmat, pengalamannya itu menghasilkan lebih dari perasaan yang kemudian tertuang secara antropologis dalam novel.

"Saya pernah mengalami getaran perasaan yang luar biasa saat shalat tahajud di tengah belantara Asmat," ujarnya. Perasaan itu belum pernah terulang lagi, termasuk di tempat-tempat yang dianggap suci sekalipun.

Panduannya memahami hidup adalah pengalaman spiritual yang bersifat sangat personal. Perjalanan yang mendaki dan terjal itu menjadi inspirasinya ketika menulis novel Memburu Kalacakra.

Di situ ia menemukan dirinya sebagai murid sekaligus guru; sebagai pengikut sekaligus pemimpin, sebagai manusia yang berserah saat berjalan melanjutkan "laku" untuk menemukan makna di balik semua pengalamannya.

Seperti dia tuturkan, "Waktu adalah napasku…."

Sumber : Kompas, Sabtu, 5 Mei 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks