Jun 18, 2009

Yohanes Wantoro : Wantoro, Guru Suku Talang Mamak

Wantoro, Guru Suku Talang Mamak
Oleh : Neli Triana

"Tujuh tahun sudah saya berada di sini. Tujuan saya hanya untuk berbagi ilmu, pengalaman, dan membantu memberantas buta huruf warga suku Talang Mamak," kata Yohanes Wantoro (35).

Namun, buru-buru ia merendah bahwa apa yang dilakukannya hanya meneruskan perjuangan pendahulunya, Pastor Vite, pastor asal Perancis yang merintis sekolah khusus untuk menampung anak-anak suku Talang Mamak yang bertempat tinggal di pedalaman hutan kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT), Kabupaten Indragiri Hulu, Riau.

Sekolah bagi anak-anak suku pedalaman ini telah ada sejak tahun 1985. Hingga akhir tahun 1999, Pastor Vite bersama beberapa koleganya masih turun tangan sendiri dalam mengampanyekan pentingnya pendidikan formal, khususnya penguasaan baca, tulis, dan berhitung bagi warga suku Talang Mamak agar memiliki kemampuan standar, sama dengan masyarakat lain.

Namun, Pastor Vite tak mungkin selamanya berada di Indonesia mendampingi masyarakat Talang Mamak. Sudah banyak guru yang didatangkan untuk meneruskan kegiatan belajar mengajar yang terpusat di Dusun Siamang, Desa Rantau Langsat, Kecamatan Batang Gansal, Indragiri Hulu, tersebut. Namun, tak seorang pun berani betah bertahan lebih dari satu bulan.

Tawaran kemudian hinggap pada Wantoro yang waktu itu telah bekerja menjadi guru di sebuah sekolah dasar di Kota Palembang, Sumatera Selatan. Wantoro pun tidak tahu pasti latar belakang keyakinannya saat begitu saja menerima tawaran Pastor Vite.

Yang ia rasakan ketika pertama kali menginjakkan kaki di Siamang hanya tantangan dan munculnya tekad pengabdian terhadap sesama saat mengetahui belum pernah ada program pendidikan formal dari pemerintah yang menjangkau kawasan ini.

Dibantu istrinya, Vincentia Endang, Wantoro memantapkan diri menetap di Siamang dan menjadi guru bagi anak-anak suku Talang Mamak. Wantoro rela meninggalkan dua anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar di Palembang dan hanya membawa si bungsu yang kini baru berusia kurang dari satu tahun. Ia hanya punya kesempatan menengok dua anaknya sekali setahun.

Siamang adalah bagian kecil dari komunitas suku Talang Mamak di kawasan TNBT. Luas kawasan taman nasional ini mencapai 144.223 hektar mencakup empat kabupaten, dua di antaranya di Riau, yaitu di Indragiri Hulu dan Indragiri Hilir, serta dua lagi di Provinsi Jambi.

Suku Talang Mamak terbagi dalam lima kelompok besar dan satu di antaranya berada di Dusun Tuo Datai, Desa Rantau Langsat, Indragiri Hulu, tepat di aliran Batang (sungai) Gansal. Sebanyak 12 keluarga di Siamang termasuk bagian dari kelompok warga Talang Mamak Datai. Ada 60-70 keluarga yang tersebar di sepanjang Batang Gansal, antara lain di daerah Suit, Pangayoan, Air Tabu, dan Air Buluh, dan terjauh di Dusun Tuo Datai.

Dari daerah-daerah permukiman itulah murid-murid sekolah di Siamang berdatangan. Jumlah murid yang tertampung saat ini sekitar 30 anak saja, antara usia tujuh dan 17 tahun. Mereka ditampung dalam tiga tingkatan kelas, yaitu I, II, dan III.

Banyak kendala

Ketika pertama kali mengajar murid-muridnya dengan mata pelajaran utama membaca dan menulis, banyak sekali kendala yang dihadapi Wantoro. Murid-muridnya sama sekali tidak mengenal bahasa Indonesia meski sedikit menguasai bahasa Melayu. Untuk satu tingkatan kelas, rata-rata dibutuhkan dua-tiga tahun masa belajar.

Wantoro pun kerap kebingungan ketika banyak muridnya datang dan pergi tak teratur karena berbagai alasan. Perlahan ia menyelami kondisi muridnya. Layaknya masyarakat Talang Mamak lainnya, anak-anak pun punya kewajiban membantu orangtua mereka berladang, menanam padi, dan berburu mencari bahan makanan. Jika telah memasuki masa ketiga musim pekerjaan tersebut, praktis sekolah sepi dari murid.

Di sisi lain, tidak ada akses jalan memadai yang dapat memudahkan para murid dari daerah asalnya menuju ke Siamang. Rata-rata mereka membutuhkan waktu dua-tiga jam perjalanan menembus hutan perawan atau menyusuri Sungai Gansal dengan rakit atau sampan selama setengah hari. Murid dari Dusun Tuo Datai bahkan harus bersampan selama satu hari penuh jika ingin bersekolah di Siamang.

Tak heran, dengan segala kondisi dan situasi serba terbatas tersebut, jumlah muridnya pun selalu fluktuatif dan dalam komposisi yang berbeda setiap waktu. Otomatis proses belajar mengajar terus tersendat dan murid-murid pun seperti terjebak untuk terus menjadi buta huruf. Berbagai buku pelajaran dan kurikulum pelajaran standar nasional seperti tidak mempan diterapkan kepada murid-muridnya.

Tak kurang akal, Wantoro pun segera mempelajari bahasa suku Talang Mamak sekaligus budaya serta keterikatan mereka dengan alam sekitar, yaitu hutan dan isinya.

Pada tahun pertamanya, Wantoro sudah dapat dikategorikan fasih dan menguasai bahasa setempat. Ia mulai mencoba membuat catatan padanan kata dari benda-benda, barang, serta banyak hal dari aktivitas sehari-hari masyarakat Talang Mamak dalam bahasa Indonesia.

Wantoro pun kemudian memulai pelajarannya dengan memperkenalkan abjad huruf Latin. Murid-murid diajari mengeja kata-kata yang dikenal dalam bahasa ibu mereka dan dilanjutkan dengan membaca serta menulis. Metode ini ternyata cukup berhasil dan mudah diterima oleh murid-muridnya.

Dengan cara ini, para murid dapat belajar sendiri maupun dengan sesama teman-temannya di daerah asal ketika berhalangan datang ke sekolah. Mereka tinggal melihat dan mencermati benda-benda di sekitar ladang atau hutan tempat mereka berburu dan sambil lalu belajar mengeja dan membaca.

Pengenalan pelajaran membaca dan menulis dalam bahasa lokal kemudian dikembangkan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Dengan melihat benda di sekitarnya, mereka diajari untuk menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sehingga mudah diingat dan mengendap dalam memori otak.

Tak berhenti sampai di situ, Wantoro pun menjalin kerja sama dengan beberapa pengurus SD di Desa Rantau Langsat agar mau menampung siswa Talang Mamak untuk melanjutkan ke tingkatan kelas lebih tinggi, yaitu kelas IV, V, dan VI.

Dengan bangga, Wantoro menyebutkan selama tujuh tahun ini ada beberapa muridnya yang telah lulus sekolah dasar, sekolah menengah pertama, bahkan sekolah menengah atas. Meskipun persentasenya masih amat sedikit, ia yakin kehadiran orang-orang asli yang terpelajar mampu mendorong kesadaran akan pentingnya pendidikan di tengah masyarakat suku Talang Mamak.

Sumber : Kompas, Senin, 24 April 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks