Jun 16, 2009

Willem Frans Ormatan : Oematan dan Mimpi Bertani di Kupang

Oematan dan Mimpi Bertani di Kupang
Oleh : Kornelis Kewa Ama

Seperti mimpi di siang hari ketika di depan mata terhampar tanaman padi yang sedang menguning dan di sampingnya terdapat tanaman jagung muda siap dipanen. Menariknya, lokasi hamparan sawah itu berada di tengah Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Di sebelah timur areal itu, 20 ekor sapi sedang melahap jerami yang baru saja diambil bulirnya. Dari mana datangnya air untuk mengairi sawah di tengah kota yang gersang ini?

Ketika ditemui di lahan sawahnya di Kota Kupang, akhir Juli lalu, Willem Frans Oematan (52) yang berasal dari klan Oematan terlihat bermandi keringat. Dengan penuh semangat, ia ceritakan, sudah 20 tahun ia menjabat sebagai ketua kelompok tani dari sekitar 30 petani di Kelurahan Naikoten I, Kecamatan Oebobo, Kota Kupang.

"Saya ketua kelompok tani Beringin Jaya sejak masa pemerintahan Pak Ben Mboi," ungkapnya bangga. Meski sebagian orang mengatakan Ben Mboi gagal memimpin NTT, namun di mata Oematan, tokoh ini berhasil menghijaukan dan memberdayakan petani NTT pada tahun 1980-an. Sayang, upaya Ben Mboi ini tidak diteruskan oleh gubernur-gubernur NTT selanjutnya.

Oematan mengaku belajar cara bertani modern ketika ia bersama sejumlah petani NTT diajak Mboi keliling Indonesia, terutama Jawa, Sulawesi, dan Sumatera. Tidak hanya itu, Mboi pun secara bergilir mengunjungi sawah-sawah para petani dan terus berupaya mendorong usaha mereka.

Maka, di tengah pembangunan yang terus menggerogoti sejumlah areal Kota Kupang, Oematan sampai kini terus berdiri tegak mempertahankan areal sawah sekitar 9,5 hektar di tengah Kota Kupang. Di bagian barat lahannya ia manfaatkan untuk menanam padi, sedangkan di bagian tengah untuk menanam jagung. "Air untuk sawah kami dapat dari hasil tadah hujan. Tetapi, akhir-akhir ini tidak ada hujan lebat, hanya gerimis saja," tuturnya.

Mengantisipasi kekeringan selama Agustus-November 2006, Oematan telah mengajukan proposal kepada Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah NTT, Juni 2006, untuk pengairan di areal itu. Tim khusus dari dinas pun telah turun ke lokasi.

Oematan berharap proposal itu benar-benar diwujudkan. Pengadaan air di bendungan itu tidak hanya untuk kepentingan sawahnya saja, tetapi juga areal persawahan warga lainnya.

Bendungan sepanjang 5 kilometer itu dibuat secara gotong-royong oleh para kelompok tani binaan Oematan. Mereka membangun bendungan sepanjang jalur air dari susunan karung bekas yang diisi pakaian bekas dan tanah.

Tetapi, saat musim hujan Januari 2006 lalu, sebagian dari karung itu hancur sehingga air merembes ke berbagai tempat. Padahal, upaya mendapatkan air itu dengan susah payah. Air untuk konsumsi masyarakat Kupang sehari-hari saja amat sulit.

Petani seangkatan Oematan binaan Mboi saat ini tersebar di Manggarai, Belu, Ende, dan Ngada. Namun, tidak ada lagi petani generasi berikutnya karena tidak ada pengaderan oleh pemerintah daerah (pemda) setempat. Jika angkatan ini berlalu, nasib pertanian di NTT makin parah.

Sebenarnya tanah milik klan Oematan itu lebih dari 50 hektar, tetapi sebagian besar sudah diambil pemerintah untuk pembangunan pusat perkantoran dan fasilitas umum. Pengalihan fungsi lahan milik suku Oematan itu disertai ganti rugi dengan nilai Rp 200 per hektar pada tahun 1970-an.

Oematan, ayah dari enam putra, bertekad tidak ingin menjual areal 9,5 hektar yang tersisa. Meski pemda dan kontraktor sudah berulang kali mendekati Oematan, tetapi ia tidak berani menjual areal tersebut.

"Saya sampaikan kepada mereka, hijaukan dulu lahan-lahan kritis di daratan Timor ini, kemudian Bapak datang mengambil alih areal ini. Areal ini saya jadikan sebagai simbol bahwa Tuhan masih memberi kehidupan bagi masyarakat di kota ini," ujarnya, menegaskan.

Hak ulayat

Keluarga besar asli (klan) yang mendiami Kota Kupang adalah Oematan, Funay, Amtasar, Sauboki, Tumboi, dan Sonbai. Masing-masing klan memiliki hak ulayat sendiri, tetapi areal mereka sudah dipenuhi bangunan.

Hasil dari 3 hektar sawahnya —dari total areal 9,5 hektar— bertanam padi dan sayur setiap panen mencapai Rp 2,7 juta. Oematan pun mampu memberikan pendidikan bagi enam anaknya secara layak. Putra pertamanya lulus dari Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana, Kupang, sedangkan anak–anak lainnya sedang di bangku perguruan tinggi, SMA, dan SLTP.

Semua anaknya dia ajari bertani dan beternak meski mereka sudah duduk di perguruan tinggi. Sebaliknya, Oematan sangat menyesalkan sikap generasi muda NTT yang tidak lagi menghargai hutan dan pertanian. Bekerja sebagai petani dianggap tak bergengsi, tidak terhormat.

"Di NTT ini, pejabat ramai mencuri uang rakyat, generasi muda ramai mencuri dan membohongi orang lain. Sapi saya tiga ekor ini pun dicuri, padahal nilainya Rp 9 juta," ungkapnya.

Menurut Oematan, saat ini banyak orang muda lari ke kota dengan alasan mencari pekerjaan. Tetapi, mereka hanya mau menghindar dari pekerjaan sebagai petani di kampung. Dan sesampai di kota, karena hanya lulusan sekolah dasar, mereka sulit mendapatkan pekerjaan.

Dalam pandangan Oematan, sikap kebanyakan generasi muda seperti ini akan menghancurkan masa depan NTT. Jika mereka direkrut menjadi pegawai, mental pencuri akan berkembang selama bekerja. Mengapa tidak didorong untuk bertani saja?

Sumber : Kompas, Jumat, 4 Agustus 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks