Achadiati, dan Regenerasi Filolog
Oleh : Ilham Khoiri
Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara ke-10 yang baru saja digelar di Palembang, Sumatera Selatan, akhir Juli lalu, tidak bisa dilepaskan dari sosok Achadiati. Dia berperan penting dalam proses regenerasi filolog atau peneliti naskah kuno di Tanah Air. Perempuan itu juga termasuk salah satu perintis, dan sempat memimpin Masyarakat Pernaskahan Nusantara, organisasi penyelenggara simposium tahunan tersebut.
Hampir semua peserta simposium itu mengenal Achadiati, ahli filologi dari Universitas Indonesia (UI), Jakarta. Sebagian dari peserta simposium pernah menjadi muridnya. Maklum, dia telah puluhan tahun mengajar ilmu pernaskahan itu, kemudian menjadi guru besar bidang filologi di Fakultas Sastra UI tahun 1984.
Meski resmi pensiun tahun 2002, hingga kini ia masih diminta mengajar mata kuliah Perkembangan Penelitian Filologi di Indonesia. Selama mengajar, lebih dari 20 doktor dan puluhan sarjana filologi yang pernah dibimbingnya. Saat usianya semakin lanjut sekarang ini, dia masih mau membimbing empat mahasiswa yang tengah menyusun disertasi dan lima yang menyiapkan tesis.
Dia tetap bersemangat menularkan ilmu filologi dalam berbagai pertemuan di dalam dan luar negeri, seperti memandu diskusi pada hari pertama simposium di Palembang itu.
"Regenerasi filolog sangat diperlukan untuk mengader ahli, yang bisa mengkaji kebudayaan melalui naskah kuno. Jumlah filolog berpendidikan ilmu pernaskahan hanya 40-an orang, sedangkan peminat naskah sekitar 100 orang. Banyak filolog yang telah lanjut atau meninggal," ungkap Achadiati, di sela-sela simposium.
Jumlah filolog yang aktif, lanjutnya, terlalu sedikit untuk meneliti puluhan ribu naskah kuno atau manuskrip yang tersebar di Nusantara. Manuskrip yang tersimpan di Perpustakaan Nasional, Jakarta, saja mencapai hampir 10.000 naskah. Itu belum mencakup ribuan naskah lain yang dikoleksi perpustakaan atau museum di daerah atau yang disimpan warga masyarakat di pelosok kampung.
Nahkah-naskah, yang sebagian besar ditulis tangan ratusan tahun lalu itu, diungkapkan dalam beragam bahasa dan aksara, seperti Melayu, Jawa, Bugis, Aceh, atau Kaganga. Semua naskah itu menggambarkan kehidupan spiritual, pemikiran, dan budaya bangsa Indonesia di masa silam. Pengetahuan tersebut dapat memberikan inspirasi dan pencerahan bagi kehidupan bangsa di masa kini yang kerap galau oleh perubahan zaman.
Dengan ilmu filologi, khazanah intelektual itu bisa dikaji kembali. Sayangnya, dari puluhan ribu naskah yang ada, baru sekitar 1.000 naskah yang telah diteliti. Sebagian naskah yang belum dijamah itu malah sudah rusak, hilang, atau jatuh ke tangan orang asing. Itu terjadi, antara lain, akibat kemiskinan dan minimnya kesadaran pelestarian naskah.
"Untuk menyusun penelitian disertasi, saya harus mengunjungi University of Cambridge di Inggris yang mengoleksi naskah Hikayat Sri Rama. Naskah beraksara Arab Jawi dari Nusantara itu dibeli Uskup Laud dan masuk ke Inggris tahun 1623," tutur Achadiati, mengenang.
Manassa
Achadiati termasuk salah satu pendiri Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) tahun 1996, dan memimpin lembaga ini selama setahun. Sejak tahun 1998 sampai sekarang, dia menjadi Ketua Yayasan Naskah Nusantara (Yanassa). Melalui dua lembaga itu, dia ikut mengembangkan kajian pernaskahan, memperkuat jaringan filolog Nusantara, dan memberikan beasiswa kepada peneliti naskah.
Yanassa telah membantu menyalurkan beasiswa dari lembaga donatur kepada lebih dari 60 penelitian pernaskahan, termasuk tesis dan disertasi. Simposium tahunan yang menghadirkan para ahli filologi dari dalam dan luar negeri telah berulang tahun ke-10, akhir Juli lalu. Yanassa bekerja sama dengan Toyota Foundation menerbitkan Katalog Naskah Buton, Sulawesi Tenggara (2005), dan bersama Tokyo University of Foreign Studies menerbitkan Katalog Naskah Palembang (2006).
Agenda lain yang tak henti didorong Achadiati adalah pelestarian naskah kuno dari ancaman rusak, hilang, atau diperjualbelikan. Naskah merupakan warisan budaya masa silam yang harus dijaga. Pemerintah pusat dan daerah hendaknya membantu menyediakan tempat penyimpanan naskah yang layak. "Jangan sampai naskah yang telah didokumentasikan itu hilang begitu saja sehingga yang tersisa kemudian hanya buku katalog sebagai kenangan," ujar Achadiati, saat menyambut peluncuran buku Naskah Palembang.
Bersahaja
Achadiati adalah sosok yang bersahaja, keibuan, dan gampang berbagi ilmu pernaskahan kepada siapa pun yang datang. Perempuan ini mengaku lahir di Tuban, Jawa Timur, tetapi enggan menyebut angka tahun kelahirannya. Pendidikan SD, SMP, dan SMA dijalani secara berpindah-pindah dari Tuban, Bojonegoro, dan Solo.
Dia sempat belajar di sekolah persiapan pendidikan tinggi Voorbereidend Hoger Onderwijs (VHO) di Surabaya, kemudian menyelesaikan S-1 di Jurusan Sastra UI Jakarta dengan skripsi tentang naskah Arjuna Mangunjaya tahun 1956. Dia pernah mengikuti pula penelitian di Universitas Leiden, Belanda, dan menyelesaikan S-3 di UI dengan disertasi tentang naskah Hikayat Sri Rama tahun 1997.
Selain mengajar, Achadiati sempat menjadi Dekan Fakultas Sastra UI selama dua periode, tahun 1992-1998. Di sela kesibukanya, dia menulis enam buku tentang pernaskahan. Terakhir, Istiadat Tanah Negeri Buton, terbit tahun 2001.
Dia mengaku mulai jatuh cinta kepada filologi lantaran beberapa profesor mengajarkan ilmu itu dengan memikat, seperti ahli Jawa Kuno Profesor Purbacaraka dan ahli sastra Indonesia asal Belanda Profesor Teeuw. Teknik itu pula yang Achadiati terapkan saat mengajar mahasiswa, termasuk dengan mengajak mereka melihat langsung naskah-naskah kuno.
"Setiap berhadapan dengan naskah kuno, saya selalu bergairah untuk menyentuh, dan kalau bisa membaca serta mengkajinya. Minat itu tambah besar bila menyadari bahwa naskah itu sudah mulai rusak dan berdebu," katanya, seraya tersenyum.
Sumber : Kompas, Sabtu, 5 Agustus 2006
Jun 16, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment