Jun 7, 2009

Widya Wijayanti : Widya dan Revitalisasi Pecinan

Widya dan Revitalisasi Pecinan
Oleh : AB1

Berbicara tentang revitalisasi Pecinan Kota Semarang, tidak lengkap tanpa menyebut nama Widya Wijayanti (54). Arsitek lulusan Universitas Diponegoro ini memang salah seorang yang getol mendorong revitalisasi kawasan pecinan. Hal ini pula yang membuat dia mendapat penghargaan dari masyarakat Tionghoa Semarang saat peringatan Cap Go Meh awal Maret lalu.

Widya mendapatkan penghargaan itu atas usahanya dalam revitalisasi pecinan di Semarang melalui Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata (Kopi Semawis).

Penghargaan juga dia terima atas perhatian dan kiprahnya melestarikan batik semarangan, usaha kerajinan payung kertas, serta mengangkat kesenian Toa Kok Tui dari Kelenteng See Hoo Kiong yang berkolaborasi dengan musikus jazz Bubi Chen. Tahun lalu, penghargaan serupa diberikan kepada politisi Tionghoa, Alvin Lie (anggota DPR) dan Kristanto (anggota DPRD Kota Semarang).

Kopi Semawis terbentuk dalam proses revitalisasi yang didengungkan Widya yang sekaligus salah satu aktor dalam pemulihan kawasan pecinan. Hal ini dilakukan lewat acara yang diselenggarakan, seperti Pasar Imlek Semawis dan Warung Semawis yang menjadi pusat wisata kuliner di pecinan, Semarang.

Ketua Kopi Semawis Harjanto Halim mengakui besarnya peranan Widya dalam pembentukan komunitas ini. Bagi Halim, Widya merupakan penggagas awal Kopi Semawis. Widya juga dianggap sebagai orang yang sangat peduli terhadap kebudayaan lokal, termasuk budaya peranakan Tionghoa. "Saya rasa hal ini juga yang membuat Widya mendapat penghargaan dari masyarakat Tionghoa," katanya.

Awal ketertarikan Widya untuk merevitalisasi pecinan Semarang muncul pada tahun 1993-1994 ketika ia masih mengajar di Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang. Saat itu, ia mendapat tugas dari Pemerintah Kota Semarang untuk menyusun daftar bangunan bersejarah di Kota Semarang.

Signifikansi budaya pecinan

Berbekal data pada tahun 1980-an, Widya menyusuri pecinan untuk mendata ulang bangunan bersejarah yang ada di sana, termasuk kelenteng-kelenteng. Widya terpaku menyaksikan pecinan yang sebenarnya memiliki arti penting, tetapi tidak terlalu menunjukkan denyut kehidupan.

"Pecinan saat siang hari memang ramai karena menjadi salah satu pusat perdagangan, tetapi coba pada waktu malam. Sepi," ungkapnya, melukiskan suasana kala itu.

Oleh karena itu, ketika perhatian banyak orang tertuju pada pemulihan kawasan kota lama, ia justru berpikir kenapa tidak merevitalisasi pecinan. Apalagi kawasan ini lebih mudah direvitalisasi karena komunitasnya masih eksis.

Sayangnya, Widya belum mampu berbuat banyak karena kondisi politik ketika itu belum memungkinkan. Padahal, revitalisasi ini bukan untuk men-China-kan pecinan, tetapi mengembalikan fungsi kawasan. Widya akhirnya hanya mencatat berbagai keunggulan dan signifikansi budaya yang ada di pecinan ke dalam laporannya.

Sinyal positif untuk revitalisasi pecinan mulai ditemukannya ketika mendapat penugasan dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Tengah pada tahun 2002 untuk mengidentifikasi wisata budaya pecinan di Jawa Tengah. Widya mulai berkeliling ke berbagai wilayah di Pantai Utara Jawa, mulai dari Cirebon hingga Tuban. Ia melihat ada rangkaian yang tidak terpisahkan di antara masyarakat Tionghoa di wilayah ini.

"Kepala Dinas Pariwisata waktu itu menawarkan, kenapa tidak mulai program ini dari Kota Semarang," katanya.

Setelah kontrak selesai, ia justru semakin sibuk mengunjungi pecinan dan menemui tokoh-tokoh Tionghoa guna mendapat dukungan merevitalisasi kawasan. Gayung bersambut. Komunitas Tionghoa juga mulai berani bergerak akibat dari angin segar yang ditiupkan Gus Dur ketika dia menjadi Presiden RI.

Hambatan bukan tidak dialami oleh Widya. Interaksi dengan masyarakat pada awal-awal rencana revitalisasi sempat menjadi terhambat karena ada masyarakat yang berharap terlalu besar pada program revitalisasi yang diajukannya. Padahal, revitalisasi ini memerlukan waktu yang tidak sedikit.

Meskipun demikian, konsultan kelahiran Magelang ini tidak lantas putus asa dan malah semakin merangkul masyarakat. Ia juga meminta bantuan tokoh-tokoh masyarakat Tionghoa karena memahami kultur budaya vertikal antara kaum tua dan muda masih cukup kental di pecinan.

Strateginya menangani revitalisasi pecinan juga tidak terlepas dari pengalamannya menyaksikan kegiatan pecinan di Hawaii, Amerika Serikat, ketika ia menimba ilmu selama tiga tahun di School of Public Health, University of Hawaii. Ia kerap diajak menyaksikan kegiatan komunitas pecinan yang dinilainya cukup aktif.

Mengenai penghargaan yang diterimanya saat perayaan Cap Go Meh, ibu dua anak ini mengaku senang dan berbahagia karena kerja kerasnya dihargai masyarakat. Namun, ia mengaku, tidak pernah terlintas dalam pikirannya akan mendapat penghargaan.

Boleh jadi, penghargaan yang paling berharga bagi Widya justru ketika melihat Kawasan Pecinan Semarang semakin semarak pada malam hari, berbeda dengan sebelum adanya revitalisasi. (AB1)

Sumber : Kompas, Jumat, 16 Maret 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks