Jun 7, 2009

I Wayan Candra : Seribu Wajah Ogoh-ogoh Candra

Seribu Wajah Ogoh-ogoh Candra
Oleh : Benny Dwi Koestanto

Sosok I Wayan Candra (55) tidak bisa dipisahkan dari perjalanan seni ogoh-ogoh di Pulau Bali. Sejak akhir 1980-an, ia menghasilkan karya ogoh-ogoh mumpuni di Sanggar Seni Gases miliknya di Denpasar, Bali.

Ogoh-ogoh atau patung berukuran raksasa yang diarak keliling memang selalu mewarnai kegiatan ritual perayaan Nyepi di Bali.

Diperkirakan, lebih dari 3.000 ogoh-ogoh mewarnai hari pangerupukan atau tawur agung kasanga yang digelar sehari sebelum Nyepi di Kota Denpasar dan sekitarnya yang jatuh pada Senin (19/3/2007).

"Kemeriahan itu penting karena menandakan keterlibatan dan atensi masyarakat, tetapi tidak boleh mengurangi makna ritual itu sendiri. Biaya pembuatan ogoh-ogoh juga seharusnya disesuaikan dengan keadaan, tidak perlu memaksa diri membuat yang mahal," kata Candra awal Maret.

Hampir seluruh banjar di Bali membuat ogoh-ogoh. Biayanya antara ratusan ribu dan jutaan rupiah yang dikumpulkan lewat cara patungan antarwarga di tiap banjar.

"Istilah ogoh-ogoh diambil dari kata ogah-ogah atau sesuatu yang digoyang-goyangkan. Ogoh- ogoh merupakan karya seni rupa pertunjukan yang menggabungkan seni patung dengan seni pertunjukan lain, seperti seni tari, karawitan, bahkan pedalangan," papar Candra.

Saat ekonomi belum terlalu baik seperti saat ini, Candra menyarankan masyarakat berhemat dengan membuat ogoh-ogoh dari bahan yang lebih murah, bahkan mendaur ulang ogoh-ogoh yang pernah ditampilkan sebelumnya. Ia sendiri juga melakukan hal itu.

Selain melayani pesanan ogoh-ogoh dari hotel dan biro perjalanan wisata sebagai kegiatan utamanya, Candra juga melayani puluhan permintaan masyarakat menjelang Nyepi, baik ogoh-ogoh utuh maupun aksesorinya.

Ia mematok harga Rp 350.000-Rp 1 juta untuk ogoh- ogoh ukuran anak-anak dan Rp 1,5 juta-Rp 3,5 juta untuk ukuran dewasa. Adapun untuk harga sewa, ia mematok harga mulai Rp 1,5 juta.

Tradisi

Menurut Candra, pesanan ogoh-ogoh paling banyak saat ini tetap tokoh jahat dari dunia pewayangan, seperti Kumbakarna, maupun aneka buta bertampang buruk yang dapat merefleksikan sifat negatif yang harus dinetralkan atau disucikan kembali.

Ia menyatakan tidak masalah bila saat ini tokoh yang digambarkan melalui ogoh-ogoh semakin bervariasi, antara lain berupa tokoh modern. Meski begitu, Candra mensyaratkan secara ritual harus ditampakkan ciri khas Bali sehingga tidak hilang pemaknaannya.

"Boleh membuat aneka tokoh modern, asal tetap mengenakan kamben (kain penutup khas Bali) pada bagian bawah ogoh- ogoh sehingga masih Bali," ucapnya.

Candra berpendapat Bali sudah bagian dari dunia global, sehingga dari sisi dunia niskala yang tidak terlihat, semua roh berkumpul di Bali. Itu mewujud pada gambaran ogoh-ogoh yang digambarkan orang Bali. Dari situ pula, ia tidak suka apabila ada pembedaan menyangkut asal usul orang.

"Janganlah kita terpaku pada penamaan dengan asal daerah dan agama. Semacam bakso bali, bakso jawa, orang Bali, orang Lombok. Kita semua umat manusia yang sama kedudukannya di hadapan Tuhan dan alam semesta," kata Candra yang sejumlah karyawannya berasal dari luar Bali.

Sejak beberapa tahun terakhir, banyak pendatang dan orang non-Hindu ikut memesan ogoh-ogoh. Itu baginya merupakan bentuk keterlibatan, bahkan penghormatan, terhadap budaya dan cara hidup masyarakat Bali.

"Selama mereka patuh dengan tata cara dan adat Bali, tidak membuat kerusuhan, maka orang Bali pun harus menghormati mereka," ujarnya.

Dia mengaku telah "mendidik" puluhan orang menjadi seniman ogoh-ogoh. Mereka dulu karyawannya yang kemudian mengembangkan dirinya masing-masing.

Ia juga menyatakan tidak perlu ada hak paten dalam seni ogoh-ogoh dan tak keberatan apabila ogoh-ogohnya dimuat di berbagai brosur wisata karena artinya telah ikut memperkenalkan Bali kepada dunia.

Empat hal

Wayan Candra mengaku menjadi seniman ogoh-ogoh karena empat hal: pewaris keturunan, penganugerahan dari Yang Mahakuasa, hobi, sekaligus didukung pendidikannya di Fakultas Seni Rupa Universitas Udayana.

"Waktu saya remaja, ada seseorang kerauhan (kesurupan), yang intinya memberi tahu apa yang harus saya lakukan dengan hidup. Salah satunya, supaya saya menekuni seni patung, seni ogoh-ogoh. Saya berdoa ke sejumlah pura, meminta petunjuk Tuhan, dan mantap dengan cara hidup seperti ini," ungkapnya.

Karya ogoh-ogoh pertama yang diperkenalkannya kepada publik adalah ogoh-ogoh Dwara Pala. Ogoh-ogoh itu memenangi lomba ogoh-ogoh pada Pesta Kesenian Bali 1990. Tahun itu pula ia memenangi festival kesenian patung dan ogoh-ogoh di Taman Mini Indonesia Indah.

Dua kesempatan itu memberinya kepercayaan diri bahwa pilihannya menjadi seniman pelestari ogoh-ogoh tidak salah.

Di mata Candra, sebagai seni tradisi, ogoh-ogoh tidak akan musnah apabila diejawantahkan mengikuti zaman. Meski begitu, pemaknaan tetap penting karena itulah yang memberi roh inti pada ritual yang dilakukan masyarakat Bali.

Sumber : Kompas, Sabtu, 17 Maret 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks