Jun 18, 2009

Wartati, Guru Dusun Lempongpucung

Wartati, Guru Dusun Lempongpucung
Oleh : Aufrida Wismi Warastri

Jaring nelayan membentang di lorong sekolah dasar jarak jauh 01 dan 03 Dusun Lempongpucung, Desa Ujungalang, Kampung Laut, Cilacap, Jawa Tengah, pekan lalu. Untuk masuk ke dua kelas lokal yang ada, semua siswa harus meloncati jaring itu.

Kalau tidak diberi jaring, kambing-kambing ikut masuk kelas mengikuti pelajaran,” kata Wartati (42), guru Sekolah Dasar (SD) Negeri 01 Ujungalang, berseloroh. Perempuan separuh baya itulah yang merintis terbangunnya sebuah sekolah dasar jarak jauh di Lempongpucung, yang sebagian besar penduduknya telah beralih dari nelayan menjadi petani.

Siang itu belasan siswa yang sebagian masih tak mengenakan alas kaki dengan tekun mendengarkan penjelasan Wartati. Dalam suaranya yang lantang ia menjelaskan beda antara hak dan kewajiban. Setengah jam kemudian kelas disudahi.

Setelah anak-anak berbaris memberi salam, Wartati pun berkemas; buku dan kotak kapur ia bawa pulang. Ia mengunci pintu kelas dan kembali ke rumah yang berjarak sekitar 50 meter dari sekolah. Halaman rumahnya menjadi tempat parkir beberapa sepeda usang milik siswa. Profil guru pedesaan yang jumlahnya ribuan di Indonesia.

Karena situasi

Semua bermula pada tahun 1989 saat Wartati mendirikan taman kanak-kanak sekaligus menjadi guru di dusun setempat. Bersama suaminya, lulusan Sekolah Pertanian Menegah Atas (SPMA) Sidareja, Cilacap, tahun 1984 itu tinggal di Ujungalang, hendak membangun dunia pertanian di desa yang lautnya terus mengalami pendangkalan.

Karena situasi, dunia pendidikan pun ia tekuni. Taman kanak-kanak yang menempati rumah belakangnya berjalan hingga tahun 1995. Untuk menjalankannya, Wartati mendapat bantuan dari Yayasan Bimbingan Kesejahteraan Sosial Surakarta dan Yayasan Sosial Bina Sejahtera, Cilacap.

”Para ibu yang kemudian mengusulkan berdirinya SD,” kata Wartati. Anak-anak terlampau kecil untuk berjalan 2,5 kilometer hingga lima kilometer menuju SD induk di Ujungalang. Anak-anak juga harus bersampan melintas sungai-sungai yang bermuara di Segara Anakan dengan biaya Rp 500 sekali jalan.

Bagi warga Ujungalang, transportasi Rp 1.000 per hari untuk bersampan cukup berat. Biaya transportasi jatuhnya jauh lebih mahal daripada biaya sekolah setiap bulan.

Kelas I pun dibentuk menginduk di SD Negeri 01 Ujungalang pada tahun 1999. Menempati bagian belakang rumahnya, sebanyak 48 anak ia ajar saat kelas perdana. Para siswa belajar tanpa meja kursi. Modal belajar hanya papan tulis dan kapur. Semua duduk di lantai.

Berdasarkan kurikulum

Meskipun tak pernah mengenyam jenjang pendidikan guru, perempuan kelahiran 16 Mei 1964 itu mengajar berdasarkan kurikulum dan buku pelajaran. ”Waktu itu sangat sulit mencari lulusan SMA yang seumuran dengan saya,” katanya. Sekarang sudah banyak warga Ujungalang yang kuliah.

Setelah proses belajar mengajar berjalan, Dinas Pendidikan Kabupaten Cilacap membangun dua kelas lokal di Lempongpucung. Sekolah hanya menampung belajar siswa hingga kelas tiga. Saat siswa kelas empat, mereka pindah ke SD induk di Ujungalang.

Tahun 1999 hingga 2003 ia mengajar sendiri, kini sudah banyak yang membantu, semua guru wiyata bakti dan honorer, termasuk Nella putrinya.

Meskipun tidak berpendidikan guru, Wartati tak pernah merasa pusing dengan sertifikasi guru yang tengah digalakkan pemerintah. Jawabnya pendek dan terkesan tak acuh saat ditanya sertifikasi guru. ”Tidak tahu,” kata ibu dari Nella Vita Septi Wardani (20) dan Conellus Wisnu Wardana (9) itu.

Menurut Wartati, sertifikasi guru tak banyak berpengaruh dalam mengajar di daerah berjarak dua jam berperahu motor dari kota Cilacap itu.

Statusnya pun tetap guru honorer. Sebelum Bantuan Operasional Sekolah (BOS) turun, anak-anak membayar Rp 6.000 per bulan. Sebanyak Rp 5.000 untuk guru dan Rp 1.000 untuk sekolah induk.

Sekarang, di tahun 2005-2006, biaya pendidikan dibayar BOS. Selama tiga bulan sekali ia menerima honor Rp 600.000, insentif Rp 450.000, dan tunjangan kesra Rp 150.000.

Kebutuhan pendidikan masyarakat Kampung Laut yang secara geografis berawa-rawa dan dilingkupi sungai-sungai besar itu menjadikan Wartati juga mengajar di SD-SD jarak jauh yang muncul kemudian, seperti di SD Pesuruhan di desa yang sama. Sekolah dasar itu menempati Balai RT Pesuruhan. Murid kelas satu ada delapan orang, kelas dua ada tiga orang.

Berjalan kaki berkilometer mengenakan sepatu bot saat hujan adalah hal yang biasa ia lakukan. ”Anak-anak terlampau kecil untuk bersekolah di SD terdekat sehingga perlu dibuat SD jarak jauh,” kata perempuan yang kini berstatus orangtua tunggal itu.

Identiknya Tatik, begitu ia disapa, terhadap pendidikan dasar terlihat dari banyaknya orang yang tak tahu nama SD di Lempongpucung. Para orangtua dan anak-anak lebih suka menyebut SD 01 Ujungalang di Lempongpucung sebagai SD-nya Bu Tatik.

Sumber : Kompas, Sabtu, 4 Maret 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks