Isnandar, Bergelut dengan Jamu
Oleh : JA Noertjahyo*
Kemalangan acap membuat orang putus asa, tetapi tidak bagi H Wahid Isnandar (69), penduduk Perum Deltasari Indah Waru, Sidoarjo, Jawa Timur. Ayah lima anak ini pernah terserang diabetes cukup parah. Akibat lanjutnya, ia menderita penyakit jantung koroner, mata rabun, darah tinggi, serta kolesterol dan asam urat di atas normal.
Yang lebih buruk, kakinya menghitam dan oleh dokter disarankan untuk diamputasi. Mata dan jantung juga harus dioperasi. "Tetapi saya menolak karena yakin semuanya masih bisa diobati," ujarnya dalam perbincangan dengan penulis belum lama ini.
Keyakinan bisa diobati itu muncul berdasarkan pengalaman bisa menyembuhkan ketiga putra dan istrinya yang pernah menderita sakit cukup parah.
Anak pertamanya mengidap asma berat dan tak bisa disembuhkan dengan obat-obat yang dibeli berdasarkan resep dokter. Anak keduanya tiba-tiba lumpuh karena menderita tekanan darah rendah. Lalu anak ketiga, saat sekolah di SMP, perutnya membuncit, ternyata terserang tumor dan sudah sampai pada stadium empat. Istrinya pun kemudian terserang komplikasi sakit tipus, jantung koroner, dan ginjal sehingga harus melakukan cuci darah dua kali per minggu.
"Mereka bisa sembuh dengan ramuan jamu yang saya racik. Dan saya pun terbebas dari semua penyakit berat dengan minum jamu," ujar Isnandar yang mengaku lulus dari Sekolah Tinggi Teknik (STT) Bandung tahun 1957.
Isnandar mengungkapkan, penderitaan dan pengalamannya itu akhirnya mendorong dirinya untuk mengusahakan kebun toga (tanaman obat keluarga). Pergulatan lebih lanjut, ia mendirikan pabrik jamu yang ia beri nama dagang Dayang Sumbi.
Merek dagangnya itu saat ini sudah berkibar cukup luas. Rumah produksinya di Desa Sambilawang, Kecamatan Dlanggu, Mojokerto. Di desa inilah lelaki mantan prajurit Kavaleri itu dilahirkan.
Zaman susah
Isnandar memperoleh pengetahuan meracik jamu saat masih kecil, dari eyangnya, Murtolo. Ia juga belajar mengenali berbagai jenis tanaman yang bisa digunakan untuk jamu.
Masa kanak-kanak dan remaja lelaki kelahiran 10 Mei 1937 itu memang lebih banyak mengalami "zaman susah". Sarana kesehatan dan pengobatan bagi masyarakat desa lebih banyak ditangani dukun dan ramuan jamu. Karena itu, ia tidak asing lagi dengan cabe lempuyang, temu ireng, temu giring, temu lawak, sambiloto, beras kencur, dan sebagainya.
Ahli peracik jamu seperti Eyang Murtolo sangat dihormati masyarakat sehingga ia terdorong untuk mewariskan ilmunya kepada anak dan cucu.
Saat meracik jamu untuk anak dan istrinya, Isnandar sulit menemukan tanaman obat yang dibutuhkan. Karena itu, setiap kali mendapatkan tanaman yang dicari, ia juga langsung menanam jenis itu di pekarangannya. Inilah awal dari kebun toganya.
Jumlah tanamannya terus bertambah dari waktu ke waktu sehingga memerlukan lahan yang cukup luas. Untuk itu, ia membeli lahan satu hektar tanah tandus di desa kelahirannya, Sambilawang, untuk dijadikan kebun toga. Setelah koleksi toganya cukup memadai untuk meracik berbagai jenis jamu, tahun 2000 Isnandar mendirikan perusahaan jamu dengan modal awal Rp 2,5 juta.
Maraknya pengobatan alternatif dan gerakan back to nature merupakan dorongan kuat berkembangnya pabrik jamu Isnandar. Pesatnya perkembangan toga dan jamu itu terlihat dari luas tanaman toga milik Isnandar.
Awalnya hanya di pekarangan, lalu menjadi satu hektar kebun. Tahun ini luas seluruh kebun toganya 11,5 hektar yang tersebar di tiga lokasi: Sidoarjo, Mojokerto, dan Pandaan (Pasuruan). Koleksi tanaman pada tahun-tahun awal baru puluhan jenis, sekarang 650 jenis. "Itu saya himpun dari seluruh Nusantara, dari Aceh sampai Papua. Ada yang berasal dari Nias dan Nusakambangan, atau pedalaman Sulawesi dan Kalimantan," tutur kakek 22 cucu itu.
Tak ada rahasia
Kiprah Wahid Isnandar dalam menggeluti jamu mendapat perhatian cukup luas. "Hampir semua bupati dan wali kota di Jawa Timur pernah kemari," tuturnya.
"Di sini tidak ada rahasia. Semuanya terbuka. Pengunjung bisa melihat kebun sampai proses produksi. Di pabrik jamu lain hal itu tidak mungkin," ujar lelaki pengagum legenda Dayang Sumbi itu.
Isnandar berhasil meracik 134 jenis jamu, dan 47 jenis di antaranya sudah mendapat izin Departemen Kesehatan.
Sebagai contoh, jamu untuk penderita penyakit diabetes melitus (DM) alias kencing manis, antara lain terdiri dari kunyit, bangle, temu giring, temu lawak, dan kunyit putih.
"Soal jamu diabetes, sudah sekian banyak orang disembuhkan. Termasuk saya sendiri yang penyakitnya sudah sangat parah," ungkap penerima Kehati Award 2001 yang diserahkan oleh Prof Emil Salim itu.
Masih banyak lagi penghargaan yang pernah dia terima, antara lain dari Menteri Pertanian untuk "pelestarian lingkungan dan petani berprestasi", ASEAN Executive Golden Award 2002, ASEAN Best Economic Award 2003, dan ASEAN Best Executive 2005.
Racikan jamunya antara lain untuk penyakit kanker sebanyak 26 jenis. kencing manis (diabetes) 28 macam, hepatitis 30 jenis, kolesterol 27 jenis, dan jantung 12 ramuan. Ini jenis-jenis jamu yang diminati banyak konsumen.
Untuk melestarikan warisan nenek moyang tentang jamu itu, Isnandar juga menulis buku berjudul Kumpulan 1001 Ramuan Obat Tradisional Indonesia setebal 345 halaman, yang diterbitkan tahun 2005. Harganya Rp 75.000.
Selain memuat 134 jenis ramuan tradisional, dalam buku itu juga dijelaskan tentang pembuatan dan penggalian obat tradisional, cara meracik obat, serta hal-hal yang diperlukan dan diperhatikan dalam meracik jamu. Masih ditambah dengan deskripsi sekian banyak tanaman obat dan manfaatnya, lengkap dengan nama dalam bahasa daerah/Indonesia dan Latin. Agar setiap orang mengenalinya, juga dimuat foto berwarna untuk setiap tanaman tersebut.
Kebun toga dan rumah produksi Dayang Sumbi membuat Desa Sambilawang menjadi hijau asri. Semua kegiatannya bisa menampung 360 tenaga kerja, terutama warga pedesaan. "Ini sekaligus sebagai sumbangan untuk mengurangi urbanisasi," papar Isnandar pula.
*JA Noertjahyo, Wartawan Tinggal di Malang
Sumber : Kompas, Selasa, 2 Mei 2006
Jun 18, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment