Utomo Dananjaya, Guru yang Tak Mudah Ditaklukkan
Oleh : P Bambang Wisodo
UTOMO Dananjaya (69) merupakan kawan bicara yang menyenangkan. Ia diberi gelar suhu dalam pendidikan para aktivis, sebuah kegiatan yang digelutinya sejak 1960-an. Ia ramah dalam pergaulan, tua dan muda jadi sahabatnya. Salah satu kebanggaan Utomo adalah kebiasaan cucu-cucunya untuk menanyakan kepada orangtuanya, apakah uang atau barang yang dibawa ke rumah hasil korupsi atau bukan.
Ia mengajari muridnya membaca dan menulis, tidak dengan cara mengeja sesuai pakem. Ia memulainya dengan memperkenalkan kata-kata yang dekat dengan kehidupan sehari-hari muridnya. Tentu saja tidak sesuai paket.
Cara itu cukup jitu untuk membuat murid-muridnya cepat bisa membaca dan menulis. Namun, guru muda itu bukannya disanjung, tetapi justru mendapatkan teguran.
PENGALAMAN itu bukan satu-dua kali. Puncaknya terjadi saat pelajaran olahraga. Utomo tanpa sungkan-sungkan menelungkupkan badannya di lantai, meminta semua muridnya di kelas I meloncatinya satu per satu.
Anak-anak itu senang bukan kepalang. Namun, Utomo justru mendapat kecaman dari kepala sekolah dan kolega guru di sekolahnya. Ia dianggap merendahkan martabat guru.
Hanya enam bulan Utomo bertahan di SD. Ia kemudian melanjutkan pendidikan ke Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama (PGSLP) di Bandung. Setamat PGSLP ia balik ke Garut, mengajar di sebuah SMP negeri.
Utomo tidak kapok bereksperimen dengan cara mengajar yang kreatif dan menyenangkan. Dalam pelajaran sains, ia mengajak murid-muridnya mengadakan berbagai macam percobaan, tanpa harus menunggu ada laboratorium. Akibatnya, kelas Utomo dicap sebagai kelas yang selalu menimbulkan kegaduhan.
Puncak perselisihan dengan kepala sekolah terjadi pada saat ia bereksperimen tentang perubahan bentuk zat dengan murid-muridnya. Ia mengajak murid- muridnya bereksperimen membekukan air dengan membuat es puter, sejenis es krim yang dibuat melalui proses tradisional.
Eksperimen tersebut dilakukan pada hari Minggu. Karena kesulitan memutar tabung, Utomo menyuruh anak-anak itu menggelindingkan tabung di lantai. Keesokan harinya lantai yang sehari sebelumnya dipergunakan sebagai tempat eksperimen masih meninggalkan garis- garis kotoran yang sulit dibersihkan. Di depan murid-muridnya, Utomo dimarahi oleh kepala sekolahnya.
Utomo masih bertahan menjadi guru sampai delapan tahun kemudian di SMP Negeri 5 Bandung. Sekolah formal memang tidak memberikan ruang pada guru kreatif seperti Utomo. Akhirnya, Utomo memutuskan berhenti menjadi guru di sekolah formal gara-gara pertengkaran dengan kepala sekolah soal penerimaan murid baru.
"Sudah cara mengajarnya begitu-begitu saja, masih pilih kasih. Sekolah memang rusak, saya memutuskan berhenti. Saya seolah-olah bersumpah, tidak akan menggunakan ijazah untuk melamar pekerjaan," kata Utomo, yang akrab dipanggil Mas Tom itu.
BERPISAH dari sekolah formal, Utomo tidak berhenti menjadi guru. Bertahun-tahun Utomo menjalani hidupnya sebagai pelatih dalam latihan-latihan kepemimpinan Pelajar Islam Indonesia (PII), sebuah organisasi Islam yang berorientasi pada modernitas.
Pada tahun 1960-an organisasi itu telah mengadopsi metode-metode pelatihan partisipatoris, yang menekankan pada aspek penyadaran peserta, yang masih populer diterapkan dalam pelatihan-pelatihan organisasi nonpemerintah hingga saat ini. Baru belakangan kemudian pendidikan kritis model Paulo Freire dikenal di Indonesia.
Pengalaman yang andal dalam melatih kader-kader PII itu mengantarkan Utomo pada pekerjaan yang cukup bergengsi, sebagai Koordinator Pelatihan di Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES). Di situlah Utomo menyemaikan bibit-bibit aktivis organisasi nonpemerintah yang menyebar di seluruh Indonesia.
Salah satu murid Utomo adalah almarhum Mansour Fakih, aktivis organisasi nonpemerintah dan pendiri Institute for Social Transformation (Insist) di Yogyakarta. Sesekali Utomo diminta memberikan pelatihan kepada guru, tetapi ia tidak pernah lagi diundang setelah mengeluhkan honorarium yang sangat kecil.
Utomo kembali bersentuhan dengan dunia pendidikan formal saat merintis pendirian Sekolah Tinggi Wiraswasta bersama sejumlah tokoh nasional. Pada tahun 1979 ia diajak Tutty Alawiyah mendirikan Sekolah Tinggi Assyafiiyah dan memimpin perguruan tinggi tersebut selama beberapa tahun.
Utomo kemudian bergabung dengan Nurcholish Madjid dan sejumlah tokoh Muslim lainnya mendirikan Yayasan Paramadina, sebuah lembaga dakwah yang membidik sasaran kelas menengah atas. Utomo merupakan tokoh di belakang layar yang menggerakkan lembaga dakwah itu antara 1986 sampai 1994.
Kakek delapan orang cucu ini juga terlibat dalam pendirian Universitas Paramadina. Universitas itu lahir dari diskusi sejumlah aktivis yang tergabung dalam milis Islamic Network yang mencoba mewujudkan mimpi sebuah universitas yang baik.
Utomo sempat menjabat sebagai direktur pelaksana universitas tersebut. Tidak berhenti di situ, Utomo menyodorkan gagasan untuk mendirikan program pascasarjana pendidikan guru profesional dengan pendekatan nonkonvensional. Gagasan itu mental sehingga Utomo memilih mendirikan organisasi nonpemerintah yang bergerak dalam bidang pendidikan, Institute for Education Reform yang dipimpinnya sampai hari ini.
UTOMO seorang yang ahli dalam mengajar meski ia bukan seorang sarjana. Ia belajar tidak hanya dari buku, tetapi juga dari pergaulan dan dari pengalaman. Keahlian itu ditularkannya kepada para aktivis dan calon-calon guru. Di Fakultas Tarbiyah, Sekolah Tinggi Assyafiiyah, Utomo mengajar mata kuliah Kreativitas yang kemudian diubah dengan nama mata kuliah Media Pembelajaran.
Di usianya yang ke-69, Utomo tetap vokal. Ia sumber inspirasi bagi orang- orang muda yang mau belajar. Di Garut Utomo memberikan pelatihan kepada anak-anak muda calon guru dan aktivis pendidikan kritis mengenai cara mengajar yang menyenangkan. Ia mengajak anak-anak muda itu bermain, mengalami, berdialog, dan mengambil kesimpulan tentang cara mengajar yang menyenangkan.
"Jangan hanya diomongkan. Biarkan murid menunjukkan, mencoba, dan menceritakan. Tunjukkan dan ceritakan, show and tell," ujarnya. Mas Tom, Andalah guru yang dicari-cari. (P Bambang Wisudo)
Sumber : Kompas, Jumat, 3 Juni 2005
Jun 28, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment