Sri Palupi Memaknai Kewajiban Warga Negara
Oleh : Maria Hartiningsih
JUDUL berita di harian berbahasa Inggris yang mengidentikkan Singapura sebagai "killing field" bagi buruh migran Indonesia membuat Sri Palupi (40) terenyak. Pekerja kemanusiaan yang melakukan riset tentang pekerja rumah tangga migran Indonesia di Singapura ini merasa tak pernah mengucapkan istilah itu.
ISTILAH itu berlebihan," katanya. Dalam seminar penghapusan kerja paksa yang diselenggarakan Organisasi Buruh Internasional (ILO) di Jakarta beberapa waktu lalu, Palupi hanya memaparkan kondisi dan data, ringkasan hasil penelitian yang belum selesai ditulis.
Meski demikian, situasi PRT migran Indonesia di Singapura memang tergolong parah. Di negara dengan pendapatan per kapita lebih dari sekitar 25.000 dollar Amerika Serikat (AS) per tahun itu, 114 PRT migran asal Indonesia tewas antara Januari 1994 sampai dengan Januari 2005.
"Itu data dari Kedutaan Besar RI di Singapura," ujarnya. Sebabnya, antara lain, sakit, kecelakaan kerja (jatuh dari bangunan tinggi), bunuh diri, dan sebab lain yang tidak dirinci.
Justru karena itu Palupi menelitinya untuk mencari jawaban atas pertanyaan "mengapa" dan "bagaimana" yang membuatnya risau. Risetnya mencakup serangkaian studi kasus terhadap mantan buruh migran PRT di Singapura dari empat kabupaten di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Lampung.
Berita di koran itu menyebabkan Palupi dihubungi berbagai pihak, termasuk Kedutaan Besar RI (KBRI) dan Kedutaan Besar Singapura di Jakarta. Kata teman- temannya aktivis di Singapura, berita adalah terapi kejut bagi Pemerintah Singapura supaya menyadari seriusnya perkara itu.
"Sebenarnya Pemerintah Singapura sudah membuat kebijakan untuk memperbaiki situasi buruh migran. Tetapi, kebijakan itu tidak menyentuh akar persoalan sehingga tidak signifikan," lanjut Palupi.
Akar persoalannya, menurut Palupi, adalah tidak adanya standar kondisi dan kontrak kerja, yang semuanya diserahkan kepada mekanisme pasar.
RISET adalah bagian dari upaya Palupi dan kawan-kawannya di Institute for Ecosoc Rights untuk mempromosikan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (Ecosoc) beberapa tahun terakhir ini. Ia sadar perjuangan keadilan terkait dengan hak-hak sipil dan politik adalah mustahil tanpa keadilan yang terkait dengan hak- hak Ecosoc.
Ia melakukan investigasi kasus deportasi buruh migran Indonesia dari Malaysia. Dalam Jaringan Tim Relawan Kemanusiaan itu, ia juga ikut menggalang dan menyalurkan bantuan logistik, obat, bantuan finansial, dan pembuatan sumur untuk sekitar 24.000 buruh migran korban deportasi yang tinggal berbulan- bulan di Nunukan, pengiriman ambulans dan tenaga medis.
Riset lainnya tentang sistem transit untuk pemulangan tenaga kerja Indonesia di Terminal III Bandara Soekarno-Hatta. Hasilnya disosialisasikan kepada para pengambil kebijakan terkait. Ia memandang tragedi kemanusiaan bukan dalam satuan waktu, tetapi sepanjang waktu, termasuk seluruh akibat kemiskinan dalam arti luas.
Ia menyebut "riset"-nya sebagai gabungan investigasi, riset dengan metode ilmiah, kegiatan pendampingan, dan penyaluran bantuan. Sekarang ditambah lobi dan negosiasi dengan pengambil kebijakan.
Dalam tragedi Mei 1998, ia mengorganisasi investigasi, pendataan, analisis, dan penulisannya bersama Tim Relawan untuk Kemanusiaan. Pendataan bukan sekadar angka kuantitatif. "Manusia bukan angka-angka mati," tegasnya.
Hal yang sama dilakukan di Ambon. Ia membantu menyalurkan bantuan dan mendukung gerakan advokasi jaringan NGO untuk membela korban dan melawan rekayasa untuk melanggengkan konflik.
Ia menjadi fasilitator pelatihan investigasi, pendataan, pemetaan, dan analisis data kasus dukun santet. Ia memprakarsai dan mengorganisasi Konferensi Nasional Petani untuk Penegakan dan Perlindungan Hak Asasi, yang salah satu rekomendasinya mendesak Komnas HAM membentuk desk khusus kasus petani.
Ia melakukan advokasi kasus-kasus petani yang mengadu ke Institut Sosial Jakarta (ISJ) dan menulis position paper sebagai bahan lobi dan dialog ke pemerintah. Ia juga mendata dan memantau kasus-kasus perburuhan dan kaum miskin kota.
SEBENARNYA tak mudah mengajak ia bicara. Ibu satu anak yang "dimatangkan" oleh ISJ ini terkesan tak suka memapar-mapar yang ia kerjakan. Ia bahkan menjawab beberapa pertanyaan dengan jawaban yang sifatnya mengunci.
"Seperti profesi biasa saja yang dilakukan orang lain di bidang lain," kata alumnus Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor tahun 1989 ini. Katanya, kerja yang ia tekuni adalah kewajibannya sebagai warga negara. Itu saja.
Meski begitu ada yang harus digarisbawahi: ia bekerja sekaligus pada beberapa "front" dengan kedalaman. Ia punya stamina dan komitmen. Tetapi ia tak mau terobsesi pada hasil. "Bagi saya hasil adalah bonus," katanya.
Palupi lebih mengutamakan proses, tampaknya. "Pekerjaan saya tidak istimewa," katanya. "Hanya barangkali proses kegiatan ini membuat pembedaan dari suatu situasi, dibandingkan kalau tidak dilakukan sesuatu."
Seluruh gerak itu membuat Panitia Lustrum IX Universitas Atma Jaya Jakarta memilih Palupi untuk menerima penghargaan sebagai "tokoh pembela kemanusiaan dan keadilan", istilah yang membuatnya jengah. Ia tak suka.
Bagi dia, semua orang adalah tokoh dan pejuang di bidang masing-masing. Yang satu tak melebihi yang lain. Yang satu tak bisa bekerja tanpa yang lain. Semua pekerjaan menyangkut persoalan besar dalam hidup, bersifat komplimenter.
Pengagum feminis dan sastrawan Mesir Nawal el Saadawi ini tak mau bekerja setengah-setengah. Meski tahu kerja kerasnya akan seperti Sysyphus, tetapi ia tak mau "batu gunung" yang digendongnya menjadi beban. Jalan itu sudah dipilihnya secara sadar. Ia tahu konsekuensinya.
Oleh karena itu, penghargaan hanyalah momen untuk berhenti sejenak. Ia akan melanjutkan perjalanannya, dengan strategi dan kewaspadaan. Dengan hati ringan. Seperti biasanya…. (maria hartiningsih)
Sumber : Kompas, Kamis, 2 Juni 2005
Jun 28, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment