Jun 12, 2009

Unang & Eng Yanto : Merintis Relawan Gunung Gede

Merintis Relawan Gunung Gede
Oleh : Agustinus Handoko

Bencana alam bisa terjadi karena ulah manusia. Banjir bandang, misalnya, sering terjadi karena aksi pembabatan hutan yang tak terkendali. Keprihatinan atas masa depan hutan di Gunung Gede-Pangrango, Jawa Barat, pulalah yang membawa kakak-beradik Unang (46) dan Eng Yanto (39), sejak tahun 1984, menggerakkan warga sekitar dua gunung itu untuk peduli.

Eeng—panggilan Eng Yanto, dan Unang sejak tahun 1984 itu masuk-keluar desa di sekitar Gunung Gede-Pangrango untuk meyakinkan masyarakat bahwa hutan sangat penting untuk tetap dijaga kelestariannya.

Waktu itu, menurut Eeng, mulai terlihat gejala adanya pemanfaatan kayu-kayu hutan oleh masyarakat secara berlebihan dan mengarah kepada komersialisasi. Parahnya, hutan yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGP) itu tak dijaga kelangsungannya.

"Saya hanya berusaha meyakinkan masyarakat bahwa hutan itu bukan milik generasi sekarang saja, tetapi sampai generasi selanjutnya," ujar Eeng.

Berangkat dari upaya konservasi hutan di Gunung Gede- Pangrango ini, Eeng, yang mendapat dukungan penuh dari Unang, mengumpulkan beberapa teman pencinta alam dari organisasi yang berbeda untuk membuat wadah gerakan konservasi.

Pada tahun 1986, terbentuklah organisasi relawan pertama di Gunung Gede-Pangrango dengan nama Panthera. Pada tahun-tahun awal, Panthera memang memfokuskan kegiatan pada penyadaran masyarakat sekitar mengenai pentingnya hutan bagi kelangsungan hidup manusia.

Berbekal pengetahuan tentang konservasi dan pendampingan dari polisi kehutanan TNGP, Unang dan Eeng bersama anggota perintis Panthera melakukan penyuluhan kepada masyarakat sekitar hutan TNGP. Sambil melakukan pekerjaan rutin untuk memberikan penyuluhan kepada masyarakat sekitar hutan, Unang dan Eeng menggagas bagaimana caranya merekrut anggota-anggota baru Pangthera untuk meneruskan tugas-tugas penyuluhan dan konservasi.

Merekrut

Namun, akhirnya mereka mengambil keputusan bahwa anggota Panthera tak perlu direkrut. "Waktu itu saya yakin bahwa kalau kegiatan kita bermanfaat, pasti akan ada yang tertarik untuk ikut bergabung. Orang-orang seperti inilah yang pasti akan militan," ungkap Eeng.

Menjaga kelangsungan kegiatan kesukarelawanan yang tak memiliki dana yang bisa diandalkan, memang tak mudah. Apalagi, kegiatan Panthera kemudian meningkat setelah diperoleh kata sepakat dengan Pengelola Balai TNGP pada tahun 1990 mengenai peresmian Panthera menjadi bagian dari konservasi di dalam taman nasional.

Setelah terjadi kata sepakat, Panthera diikutsertakan dalam upaya konservasi di dalam TNGP, dan menempati markas di dekat gerbang pendakian resmi melalui Pondok Halimun, Salabintana, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.

Peningkatan kegiatan dari luar ke dalam hutan TNGP itu membawa konsekuensi pada pola penyuluhan. Semula, Eeng dan Unang hanya melakukan penyuluhan kepada masyarakat yang merasakan langsung dari keberadaan dan pentingnya hutan bagi masyarakat. "Kalau kita berbicara kepada orang yang merasakan manfaat hutan, itu lebih mudah dilakukan," kata Unang.

Namun, setelah menjadi bagian dari lembaga konservasi di dalam hutan, mereka kini harus berhadapan dengan para pendaki yang kebanyakan bukan masyarakat setempat dan tidak merasakan langsung manfaat hutan. Para pendaki yang sebagian pelancong, dan bukan pencinta alam itu, menjadi tantangan berat bagi upaya konservasi yang dilakukan oleh pengelola TNGP bersama Panthera.

Unang dan Eeng pun akhirnya kenyang merasakan pahit-getirnya bertemu dengan para pendaki yang senang bikin ulah. "Tak jarang, kami harus berkelahi dengan para pendaki yang tak bisa dikasih tahu aturan main naik ke Gunung Gede-Pangrango," tutur Unang.

Karena jalur pendakian lain yang diawasi oleh pengelola TNGP, yakni jalur Cibodas dan Gunung Putri di Kabupaten Cianjur juga menunjukkan peningkatan jumlah pendaki, Eeng berinisiatif mengajak relawan dari dua daerah itu untuk membentuk organisasi serupa. Montana terbentuk untuk berpartisipasi melalui jalur pendakian Cibodas, dan Gunung Putri Operation (GPO) melalui jalur pendakian Gunung Putri.

Beberapa tahun setelah dilibatkan dalam upaya konservasi, tiga organisasi itu diberi tanggung jawab baru untuk terlibat dalam search and rescue (SAR) saat terjadi musibah pada kecelakaan atau hilangnya warga di dalam TNGP.

Kepala Balai TNGP, Novianto Bambang Wawandono, pun mengakui bahwa kehadiran para relawan tersebut sangat membantu tugas para polisi kehutanan yang hanya berjumlah 68 orang, sedangkan wilayah TNGP yang harus diawasi mencapai 22.000 hektar.

Apa yang dipikirkan Unang dan Eeng pun benar. Banyak orang yang kemudian ingin menjadi anggota Panthera setelah menilai kehadiran organisasi itu positif untuk menjaga kondisi hutan TNGP. Tak sedikit anggota Panthera yang semula adalah "musuh" organisasi tersebut, yakni para pendaki nakal yang akhirnya sadar akan kesalahan mereka. Menurut Eeng, anggota yang berasal dari kalangan inilah yang kini justru menjadi motor Panthera setelah era kepemimpinan generasi pendiri mulai digantikan oleh generasi berikutnya.

Kini, upaya penyadaran atas pentingnya upaya konservasi kepada masyarakat sekitar hutan di Gunung Gede-Pangrango sudah membuahkan hasil. Masyarakat mulai terlibat aktif menjaga hutan dari perusakan. Hanya saja, banyak pekerjaan rumah yang masih menunggu organisasi sukarelawan di Gunung Gede-Pangrango ini.

Misalnya, mereka harus selalu mengingatkan pendaki yang suka memetik bunga edelweis atau menebang pohon untuk perapian di dalam kawasan TNGP. Selain itu, lahan masyarakat di luar taman nasional yang sedianya menjadi penyangga taman nasional, kini ada yang sudah beralih fungsi menjadi lahan sayuran oleh pemiliknya.

Eeng mengaku terus berupaya melobi sejumlah pihak yang terkait dengan tata ruang lahan. Upaya pendekatan pun sudah dilakukannya kepada Pemerintah Kabupaten Sukabumi dan masyarakat pemilik lahan agar menyisakan sedikit dari lahan yang kini menjadi ladang sayuran untuk ditanami dengan tanaman keras sehingga ketersediaan air bagi masyarakat tetap terjaga.

Unang, yang telah berkeluarga dan memiliki empat anak, sekarang hanya bisa berkumpul dengan para relawan TNGP saat libur dari bekerja di Singapura. Adapun Eeng yang berputra dua, hingga kini masih terlibat dalam kegiatan-kegiatan Panthera walaupun organisasi sukarelawan itu telah dipegang oleh anggota-anggota baru.

Sumber : Kompas, Senin, 11 September 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks