Junapiah Meramu Pupuk Organik
Oleh : Andy Riza Hidayat
Jun. Begitu panggilan akrab laki-laki berusia 41 tahun itu. Nama lengkapnya Junapiah. Sehari-hari, dia bekerja sebagai petugas penyuluh lapangan di Desa Baru, Kecamatan Batang Kuis, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.
Meski tak memiliki laboratorium modern, Jun bisa menerangkan kandungan bahan-bahan alami yang ada di belakang rumahnya. Bahan-bahan itulah yang sejak tahun 1998 dia uji untuk pembuatan pupuk organik. Jika dihitung, uang yang keluar dari kantong pribadinya sudah sekitar Rp 20 juta.
Setiap kali menguji kandungan zat hara, kami harus bayar, kata Jun. Entah berapa kali dia datang dan pergi ke Balai Pengkajian Tekonologi Pertanian Sumatera Utara. Semua itu hanya untuk mendapatkan formula yang cocok dalam pembuatan pupuk organik dari bahan-bahan alami, murah, dan mudah.
Setelah delapan tahun berjalan, dia meyakini formula yang dia ramu bersama 70 petani padi anggota Kelompok Tani Sido Mulyo adalah formula terbaik. Buktinya, sejumlah pupuk organik yang dia berikan cuma-cuma ke petani setempat menghasilkan hasil positif.
Salah satu bahan uji coba adalah lahan seluas 2.000 meter persegi milik Shahrani (36). Setiap tahun, biasanya rata-rata Shahrani paling banter mendapatkan gabah kering panen 1,3 ton. Setelah memakai pupuk organik ramuan Jun dan kawan-kawan, Shahrani bisa mendapatkan gabah kering panen sebanyak 1,4 ton. Meskipun kenaikan hasil hanya sedikit, Shahrani tak menemui persoalan dengan gangguan hama wereng dan tikus.
Tidak hanya kepada Shahrani. Uji coba itu juga dilakukan pada petani lain selama tiga kali masa tanam. Menurut Jun, ramuan itu juga mengendalikan gangguan hama tanaman. Selain itu, hasil biaya produksi lebih murah sebab tidak perlu membeli pupuk buatan yang justru menjadi langka saat dibutuhkan petani pada musim tanam.
Unsur hara
Siang itu, akhir Agustus, Jun hanya berkaus singlet putih. Di belakang rumahnya, bersama para tetangganya, dia berjibaku dengan kotoran dan air seni kambing.
Sebagian besar pasokan kotoran dan air kencing kambing dia ambil dari Bantu Suprayitno. Kebetulan Bantu yang juga Kepala Desa Sena, Kecamatan Batang Kuis, Kabupaten Deli Serdang, punya 274 kambing. Selain dari Bantu, Jun juga mengambil kotoran dan air kencing kambing dari para tetangganya.
Lama-kelamaan warga setempat tahu air kencing itu bisa dimanfaatkan. Karena itu, mereka menjualnya dengan harga Rp 7.500 per 30 liter air kencing kambing. Tentu saja, bahan-bahan pupuk organik ramuan Jun tak hanya terdiri dari air kencing dan kotoran kambing.
Jun memanfaatkan air ampas serat serabut kelapa, abu janjang kelapa sawit, dan batu gunung dolomit. Seluruh bahan itu difermentasi dengan bakteri Lactoba cillus dan L. rhizonium. Tujuan pemakaian bakteri itu, kata Jun, untuk melapukkan kotoran dan air kencing kambing.
Dengan proses fermentasi itu, tidak akan ada lagi bau tak sedap dari kotoran dan air kencing kambing, ujar Jun, sambil menyodorkan bahan cair yang telah difermentasi untuk dibaui. Bak seorang peneliti, Jun menjelaskan, proses pemeraman bahan-bahan tersebut memerlukan waktu selama tiga hari.
Bahan-bahan yang dia ramu menjadi satu itu banyak menguntungkan tanah. Sejumlah unsur hara yang terkandung di dalamnya, di antaranya, nitrogen, kalium, sulfur, fosfat, dan magnesium oksida. Dengan adanya unsur-unsur tersebut, tanaman bisa lebih baik pertumbuhannya, tutur suami dari Widi Suharti (36), serta ayah dari Bambang (18) dan Anisa (8).
Motivasi
Apa yang Jun dan kawan-kawannya lakukan tak lepas dari motivasi mereka. Jun ingin kerusakan tanah lantaran mengalami kejenuhan akibat pemakaian pupuk kimia harus dihentikan. Hal itu, kata dia, sangat merugikan petani.
Kalau memakai pupuk kimia terus-menerus, mikro-organisme dalam tanah akan mati. Padahal, mikro-organisme itu diperlukan untuk kesuburan tanah, tutur Jun.
Lulusan Fakultas Pertanian, Universitas Panca Budi, Medan, ini mengemukakan, jika unsur hara dalam tanah habis, produksi pertanian akan menurun. Akibat lebih fatal adalah ketergantungan petani terhadap pupuk kimia tak bisa dihindari. Karena itu, sedikit demi sedikit ketergantungan itu harus diputus, paparnya.
Menurut Jun, petani mesti kembali menggunakan pupuk organik karena pupuk kimia membahayakan lingkungan. Misi utamanya adalah mendayagunakan bahan-bahan alami yang jarang dimanfaatkan orang.
Formula baru telah dia dapatkan, namun upaya yang terus dia lakukan adalah menguji pupuk ramuannya. Meskipun merasa yakin, namun masih ada tantangan panjang bagi Jun dan para petani di Kelompok Tani Sido Mulyo untuk memasyarakatkan pupuk organik.
Jun sedang mengurus hak paten pupuk organiknya dengan difasilitasi Dinas Koperasi Pemprov Sumatera Utara. Namun, menurut dia, tak mudah melepas ketergantungan orang pada sesuatu yang sudah berjalan lama, yaitu ketergantungan pada pupuk kimia.
Jun mengaku tidak sabar bila harus menjelaskan panjang lebar apa yang dia lakukan di depan warga di sekitarnya. Ia merasa, lebih baik dia memberi contoh nyata, sampai akhirnya satu per satu tetangganya tertarik untuk menggunakan bahkan ikut memproduksi pupuk organik. Kini, mereka tak perlu khawatir terjadi kelangkaan pupuk sebab sumber pupuk organik melimpah di sekitar mereka.
Sumber : Kompas, Selasa, 12 September 2006
Jun 12, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment