Suparno dan Komputer Imajinernya
Oleh : P Bambang Wisudo
Tanpa menyentuh komputer, seseorang bisa memiliki keahlian komputer. Tanpa memiliki komputer, tanpa biaya besar, sekolah bisa mendidik muridnya menjadi jago-jago komputer. Semua itu telah dibuktikan oleh Suparno Midi (46), seorang otodidak bidang komputer, yang memperoleh keahliannya dalam teknologi informasi hanya dengan komputer imajinernya.
Ketika pertama kali melamar menjadi seorang programmer, sekalipun Suparno belum pernah menyentuh komputer. Padahal, ia diuji di hadapan seorang dosen komputer bergelar doktor. Ia kebingungan ketika harus menyalakan komputer yang ada di hadapannya.
Dengan mendapat omelan, seseorang akhirnya menolong Suparno menyalakan komputer tersebut. Kesulitan belum selesai. Ternyata komputer yang ada di hadapannya berbeda dengan komputer yang dibayangkannya. Ia baru bisa bereaksi ketika permintaannya untuk melihat setumpuk buku petunjuk dikabulkan.
"Saya diminta kembali untuk tes besok paginya. Saya bilang, saya capai. Saya tidak sanggup lagi jalan kaki ke tempat tes sejauh 15 kilometer. Dengar cerita itu, saya malah diberi ongkos Rp 60.000," kata Suparno.
Dari situlah Suparno mengawali kariernya sebagai ahli dan guru komputer. Berawal dari fasilitas seadanya, Suparno membantu mendesain pendidikan dan pengembangan teknologi informasi di SMA Plus PGRI Cibinong.
Ia hanya berijazah SMA. Namun, berkat Suparno, SMA Plus PGRI Cibinong itu kelak akan menjadi perintis dalam pengembangan pendidikan teknologi informasi di sekolah. Dari sekolah swasta yang berada di tengah perkampungan di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, itu bakal muncul sebuah kampung ICT, kawasan yang memiliki akses teknologi informasi teknologi cepat dengan biaya murah, yang dibangun atas inisiatif dari bawah.
Selama bertahun-tahun, Suparno belajar dengan komputer imajinernya. Tidak seorang pun mengajarinya. Ia hanya belajar dari buku-buku yang ia temui. Sehari-hari ia mendekam dalam kamar.
Ia menggambarkan papan ketik komputer di atas selembar kertas, lengkap dengan tombol-tombolnya. Ia gambar pula layar komputer di papan tulis yang dia letakkan di depannya. Saat memencet tombol-tombol di "papan ketik", ia lalu menuliskan huruf-huruf itu di "layar komputer" di papan tulis. Begitu pula sebaliknya ketika ia menghapus.
Ditabrak mobil
Tidak ada jejak keahlian teknologi dalam keluarga Suparno. Ibunya seorang pedagang kecil di pasar. Ayahnya seorang petani di sebuah desa di Jawa Timur. Selepas SMA, ia sempat belajar di Institut Pertanian Bogor. Ia diterima tanpa tes di Jurusan Mekanisasi Pertanian dan bisa hidup mandiri dari beasiswa dan hasil memberikan les.
Takdir rupanya berkehendak lain. Pada akhir tahun ketiga, Suparno ditabrak mobil saat ia mengendarai vespa, sepulang dari kampus sehabis melihat pengumuman hasil ujian. Empat tahun ia mengalami lumpuh dan amnesia. Meski telah dinyatakan sembuh, ia kehilangan memorinya total selama hampir 20 tahun.
Lepas dari kelumpuhan, ia mulai belajar komputer. Ia mengenali komputer dari buku-buku. Seharian kegiatan Suparno hanya berada di dalam kamar, menggeluti komputer imajinernya. Keluarganya sempat resah, mengira Suparno mengalami sakit jiwa. Keluarganya baru bisa bernapas lega setelah Suparno diterima menjadi programmer di Universitas Juanda Bogor.
Mungkin karena memorinya belum pulih benar, Suparno merasa tidak betah pada pekerjaan barunya. Akan tetapi, setiap ia minta keluar, gajinya dinaikkan. Akhirnya ia keluar. Tawaran untuk bekerja di perusahaan Perancis ditolaknya. Ia justru memilih menjadi "gelandangan", pindah dari tempat satu ke tempat lain mencari anak-anak muda yang mau diajari komputer.
Ia kemudian ditampung mengajar di Madrasah Aliyah Al-Ridho di pinggiran Kota Depok pada awal 1990-an. Ia menjadi guru komputer meski sekolah itu tidak memiliki komputer. Baru setahun kemudian sekolah itu membeli sebuah komputer rongsokan.
Di luar kegiatan mengajar itu, Suparno menghimpun sejumlah anak muda dari kalangan bawah untuk belajar komputer secara mandiri yang dihimpunnya dalam kelompok Abu Data, akronim dari Amanat Bangun Umat Cerdas Bertakwa. Alumni kelompok itu belasan orang. Kebanyakan bekerja dalam bidang komputer, baik sebagai dosen, guru, atau tenaga terampil dalam bidang itu.
Menularkan pengetahuan
Suparno menikah pada tahun 1999 setelah didesak-desak dan dijodohkan oleh kiainya. Ia kawin dengan modal dengkul. Seluruh biaya hajatan ditanggung kiainya. Cincin kawin dibeli dari hasil saweran murid-muridnya. Perkawinan itu membawa berkah ganda bagi Suparno. Selain dikarunia dua anak, Hanif Wulandari (7) dan Hanif Handayani (2), ia sepenuhnya mendapatkan kembali ingatannya.
Mimpi Suparno untuk menularkan pengetahuannya kepada anak-anak muda mendapatkan wadah baru setelah ia diangkat menjadi konsultan dan deputi direktur Departemen Teknologi Informasi SMA Plus PGRI Cibinong. Ia membangun sistem pembelajaran yang akrab dengan teknologi informasi, menciptakan metode belajar komputer secara mandiri, dan merekrut murid-murid yang memiliki minat khusus untuk dilatih menjadi calon tenaga profesional komputer.
"Kita tidak perlu memanjakan anak dengan alat. Untuk belajar, alat hanyalah nomor dua. Nomor satu adalah semangat," ujar Suparno.
Sumber : Kompas, Sabtu, 9 September 2006
Jun 12, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment