Tu Weiming, Panduan Hidup Konfusian Itu...
Oleh : Nasru Alam Aziz
MEMPELAJARI tradisi penganut Konfusian di Asia Timur bukan hanya merupakan sebuah komitmen akademis dalam posisi sebagai sejarawan intelektual profesional, tetapi juga merupakan penelusuran pribadi dari sebuah refleksi seorang manusia. Ungkapan itu terucap oleh Prof Tu Weiming, seorang ahli sejarah China dan filsafat Konfusianisme dari Harvard University, Amerika Serikat. Ia pengikut aliran politik sosialisme humanistik, dan tentu saja ia penganut tradisi spiritual Konfusian.
MENURUT Weiming, cara terbaik menggambarkan Konfusianisme adalah sebagai cara pembelajaran menjadi manusia. "Tidak seperti hewan, manusia terus-menerus membentuk dirinya melalui pembelajaran, melalui interaksi dengan sesama manusia," ujarnya.
Ia menyebutkan, proses menjadi manusia mengandung empat dimensi pertanyaan yang harus dijawab. Pertama, pertanyaan dalam diri kita sendiri, bagaimana mengintegrasikan hati dan pikiran dengan tubuh dan jiwa.
Kedua, bagaimana sebagai individu dapat berinteraksi secara bermanfaat di tengah komunitas, baik dengan keluarga, masyarakat, bangsa, hingga komunitas global. Ketiga, bagaimana menjalin hubungan berkelanjutan dan bermanfaat atau hubungan harmonis dengan alam dalam arti luas. Keempat, bagaimana membangun kebersamaan antara jiwa dan pikiran dengan alam surgawi.
"Keempat dimensi itu memberi pemahaman kepada pandangan humanistik Konfusian. Pandangan humanistik Konfusian ini bukan humanisme sekular, melainkan agama dalam pemahaman yang mendalam. Bisa dikatakan sebagai panduan hidup dan tentu saja sebagai etika sosial," tuturnya.
Ia mengemukakan bahwa Konfusian adalah sebuah tradisi panjang, bahkan sudah ada ribuan tahun sebelum Konfusius lahir pada 1551 sebelum masehi. "Tradisi Konfusian tetap relevan hingga hari ini dan terus membawa spirit bagaikan arus yang mengalir tanpa henti," ujar Weiming.
Ia mulai mendalami tradisi Konfusian sejak berusia 14 tahun. Ia begitu terkesan dengan cara gurunya menguraikan tentang ajaran Konfusius. Dari situ ia menyadari apa yang dipaparkan gurunya di kelas bukan semata sebuah mata pelajaran, melainkan suatu nilai-nilai kehidupan, suatu panduan kehidupan.
WEIMING lahir pada Februari 1940 di Kunming, sebuah kota di bagian barat daya China, tidak jauh dari perbatasan Vietnam. Kehidupan yang multi-etnik di kampung halamannya itu turut membentuk pribadinya menjadi orang yang sangat menghargai perbedaan.
Berbekal keinginan yang kuat untuk memperdalam ilmu kechinaannya, ia berangkat ke Taiwan dan berhasil meraih gelar sarjana muda (BA) pada Tunghai University pada tahun 1961. Sedangkan gelar magister dalam bidang kajian regional dan doktor dalam bidang sejarah dan bahasa Asia Timur, keduanya ia peroleh dari Harvard University masing-masing pada tahun 1963 dan 1968.
Sambil memperdalam ilmunya di Harvard University, Weiming memberi kuliah tentang humanitas di almamaternya, Tunghai University, Taiwan. Pada usia 38 tahun, ia mencapai gelar profesor penuh pada University of California di Berkeley.
Hingga akhirnya ia diundang menjadi profesor dalam bidang sejarah dan filsafat China di Harvard University pada tahun 1981. Berkaitan dengan bidang ilmu yang digelutinya, ia pernah dipercaya memimpin Komite Kajian Agama dan Departemen Bahasa dan Peradaban Asia Timur di Harvard University.
Sejak tahun 1996 ia menjabat sebagai Direktur Harvard-Yenching Institute. Pada tahun 1999, Harvard-Yenching menganugerahinya gelar profesor sejarah dan filsafat China sekaligus sebagai profesor dalam bidang kajian Konfusian.
Ini adalah kali pertama seseorang menyandang gelar profesor kajian Konfusian di belahan bumi penutur bahasa Inggris. Jabatan dan gelar profesornya pada Harvard-Yenching itulah yang hingga kini tertera dalam kartu namanya.
Di luar lingkungan Harvard University, ia pernah menjabat sebagai direktur pada Institut Komunikasi dan Budaya, East-West Center, Hawaii, (1990-1991), dan sebagai Group of Eminent Person pada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk memfasilitasi dialog antarperadaban (2001).
SEBAGAI seorang ilmuwan, tentu saja Weiming terbilang sangat produktif. Bahkan ketika masih menempuh jenjang S1 di Tunghai University, ia telah menghasilkan sejumlah karya tulis berupa artikel dalam jurnal dan beberapa buku.
Hingga kini 19 bukunya diterbitkan dalam bahasa Inggris dan sekitar 15 buku dalam bahasa China, serta ratusan artikel yang tersebar dalam berbagai penerbitan dengan fokus pada transformasi modern atas humanisme Konfusianisme.
Salah satu yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia adalah Etika Konfusianisme (Confucian Ethics Today, The Singapore Challenge). Buku itu merupakan bagian dari Seri Dialog Peradaban yang diterbitkan Teraju dan Center for Spirituality & Leadership.
Di samping kesibukannya di kampus Harvard, ia mengajar humanisme Konfusian dan ajaran neo-Konfusian di Peking University, Taiwan University, Chinese University (Hongkong), dan L’Ecole Pratique des Haute E’tudes (Paris). Ia juga juga memberi kuliah umum pada berbagai perguruan tinggi di Amerika Serikat, Asia Timur, dan Asia Tenggara.
Selama 10 hari, sejak Rabu (18/5/2005) hingga Sabtu (28/5/2005), Weiming berada di Indonesia atas undangan Komunitas Pemerhati Budaya dan Filsafat Timur guna serangkaian dialog di sejumlah perguruan tinggi di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya.
"Sebagai profesor saya harus bekerja pada empat wilayah, yaitu riset, pengajaran, administrasi, dan pelayanan akademik," jawabnya tentang apa yang ia lakukan sehari-hari.
Di luar itu, ia juga mendirikan dan aktif dalam sebuah organisasi nonpemerintah (NGO), Trigrav, dengan fokus kegiatan pada dimensi etik dan spiritual dalam pembangunan.
Sebelum berangkat bekerja ke kantornya, Weiming mengalokasikan waktunya empat jam untuk membaca dan menulis. "Selama empat jam itu saya juga membuka e-mail, tetapi biasanya tidak menjawab telepon," ungkapnya. Rutinitas itu ia jalani setiap hari, tak terkecuali Sabtu dan Minggu. (Nasru Alam Aziz)
Sumber : Kompas, Sabtu, 21 Mei 2005
Jun 28, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment