Kyoko Funada: Bahasa Indonesia Lebih Maju
Oleh : TD Asmadi*
SUDAH empat kali ini dia mengikuti Pertemuan Majelis Bahasa Brunei, Indonesia, dan Malaysia. Pertama di Makassar tahun 2002, lalu di Brunei Darussalam tahun 2003, kemudian di Kuala Lumpur tahun 2004, dan terakhir bulan Maret lalu di Mataram, Lombok. Tidak jarang dia mengikuti pertemuan lain, yang berkaitan dengan bahasa di kawasan Asia Tenggara ini.
KYOKO Funada, perempuan separuh baya itu, aktif mencatat apa saja yang dilontarkan pembicara. Katanya, "Saya sedang menyusun disertasi tentang bahasa Melayu dan bahasa Indonesia."
Dia sedang berusaha memperoleh gelar doktor dari Universitas Waseda di Jepang. Topiknya berkaitan dengan hubungan Indonesia dan Malaysia dalam bidang bahasa, dengan kajian utamanya sosiolinguistik.
Yang akan ia bahas dalam disertasi itu antara lain tentang peralihan ejaan bahasa Indonesia dan Malaysia yang terjadi tahun 1972. Juga tentang Kongres Bahasa Indonesia I, II, dan III, yang ia nilai telah memberi sumbangan yang besar terhadap perkembangan bahasa Indonesia. Dia juga akan membahas pekerjaan lembaga bahasa resmi yang ada di kedua negara, serta peran Majelis Bahasa Brunei, Indonesia, dan Malaysia atau Mabbim.
Untuk tujuan itu, dia kadang-kadang berada di Malaysia, menimba ilmu di University of Malaya, universitas tertua di negeri jiran ini. Di sana dia memperoleh gelar masternya. Tentang mengapa sosiolinguistik, Kyoko menerangkan dia tertarik dengan bidang itu karena ketika di Universitas Indonesia dia belajar di bawah Prof Dr Harimurti Kridalaksana. "Pengaruh beliau sangat besar pada saya," katanya menambahkan.
PERGAULANNYA dengan bahasa Indonesia sudah lebih dari seperempat abad. Atas saran sang ayah, Zuichi Kitano-seorang bekas tentara Jepang yang pernah bertugas di Indonesia-selepas sekolah menengah tahun 1972 ia memilih Jurusan Bahasa Indonesia. Ia menjalaninya di Universitas Bahasa Asing Tokyo atau Tokyo Gaikokugo Daigaku.
Lulus tahun 1976 ia ke Jakarta menjadi mahasiswa pendengar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, sampai tahun 1977. Tahun 1980 dia kembali ke Jakarta dan menjadi mahasiswa penuh.
Dia tinggal di Jalan Ophir, Mayestik, Kebayoran Baru. Dia pun mulai menyukai makanan Indonesia meski yang paling disukainya tetap saja yang ada "hubungannya" dengan makanan di Jepang: bakso. "Ya, itulah makanan kesukaan saya waktu mahasiswa," ujarnya.
Sampai kini ia masih menjalin hubungan baik dengan sejumlah teman karib semasa mahasiswa, seperti Emma Madjid (wartawan Nirwana), Mujizah (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional), Alma Mandjusuri (copy writer), Sri Yuniasih Rahayu (ibu rumah tangga), atau Cucu (Balai Pustaka).
Kembali ke Jepang dia mulai mengajar bahasa Indonesia. Tahun 1984 dia mengajar di Nihon University (Nihon Daigaku) dan setahun kemudian di Asia University (Asia Daigaku). Beberapa tahun kemudian dia mengajar di Keio University (Keio Daigaku). Kini dia menjadi dosen tetap di Kanda University of International Studies (Kanda Gaigo Daigaku), Asia University, dan Waseda University (Waseda Daigaku).
Dia juga mengarang buku-buku bahasa Indonesia. Lima judul telah dihasilkannya, yaitu Yasashii Shoho no Indonesia-go (Bahasa Indonesia yang Mudah Dipelajari untuk Pemula), Yasashii Indonesia-go no Kimarimonku (Idiom Bahasa Indonesia yang Mudah Dipelajari), Hajimete Manabu Indonesia-go (Bahasa Indonesia yang Baru Pertama Kali Dipelajari), Asean no Gengo to Bunka (Bahasa dan Kebudayaan di Negara ASEAN), Indonesia-go Jooyoo Kaiwa Jiten (Kamus Percakapan Bahasa Indonesia yang Sering Digunakan). Menurut Kyoko, kecuali Asean no Gengo to Bunka, semua buku masih laku di pasar. Buku Yasashii Shoho no Indonesia-go bahkan sudah dicetak 16 kali.
MENURUT Kyoko, bahasa Indonesia sekarang sudah maju dan modern. "Bahasa Indonesia lebih modern dibandingkan dengan bahasa Malaysia atau bahasa Brunei," ujar ibu dari dua anak yang berusia 20 tahun (Yuichi Funada) dan 12 tahun (Koji Funada) ini.
Kata dia, kemajuan ini tidak terlepas dari kerja keras ahli-ahli bahasa Indonesia sejak merdeka untuk menjadikan bahasa Indonesia bahasa yang modern. Mereka bekerja tanpa imbalan yang besar karena rasa nasionalisme yang tinggi.
Tidak heran jika bahasa Indonesia lebih cepat berkembang dan lebih maju daripada bahasa Malaysia maupun Brunei. Dia mengibaratkan bahasa Indonesia sudah pada tingkat perguruan tinggi, dua bahasa lainnya masih di bawah itu. Dia juga mencatat, Indonesia berusaha mengembangkan bahasanya sendiri, sedangkan Malaysia dan Brunei lari ke bahasa Inggris.
Dia pun mengenang semasa pendidikannya di UI dulu. Para dosen rajin memberi pelajaran. "Semua rajin mengajar, kecuali satu orang," katanya.
Di Malaysia dia mendapatkan ada dosen yang rajin maupun malas. "Saya pikir kalau gaji dosennya besar, mereka tidak mau bekerja di tempat lain dan rajin mengajar di universitas sendiri. Gaji dosen di Malaysia cukup untuk hidup dan mereka takut kehilangan tempat pekerjaan," tuturnya. Mungkin ini untuk menyindir keadaan di Indonesia yang gaji dosennya tak mencukupi untuk hidup dan karena itu banyak mencari tambahan di luar.
Kyoko menikah pada usia 26 tahun dengan Kenichi Funada, rekannya sesama mahasiswa Jurusan Bahasa Indonesia. Ada manfaat langsung dari perkawinan dengan suami yang sama-sama mengerti bahasa Indonesia. "Kalau mau membicarakan anak-anak, kami memakai bahasa Indonesia," katanya. Mereka berdua leluasa membicarakan apa pun tanpa anak-anak memahaminya.
Sang suami kini bertugas di sebuah perusahaan yang bekerja sama dengan Pertamina menangani gas alam cair (LNG). Mereka bertemu ketika keduanya sama-sama mengambil Jurusan Bahasa Indonesia.
Meski pandai berbahasa Indonesia, dia kini mengalami kesulitan membaca media massa berbahasa Indonesia.
"Banyak yang sekarang tidak saya mengerti," katanya terus terang. Salah satunya adalah banyaknya singkatan, yang kadang-kadang banyak sekali dalam satu berita. "Saya membaca Jakarta Post saja agar lebih mudah," katanya.
*TD ASMADI Wartawan, Tinggal di Jakarta
Sumber : Kompas, Jumat, 20 Mei 2005
Jun 28, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment