Tri Hatmadji, Candi, dan Wisata Ziarah
Oleh : Djoko Poernomo
Semasa duduk di bangku SMA, Tri Hatmadji terkesan atas pernyataan guru sejarah dan bahasa Kawi. Keduanya berkali-kali menyatakan bahwa ragam budaya sekaligus peninggalan purbakala di Indonesia sangat banyak, tetapi sangat sedikit orang yang tertarik untuk mendokumentasikan serta melestarikan.
Maka, begitu lulus SMA, Tri—demikian Tri Hatmadji biasa dipanggil—langsung mendaftar ke Jurusan Arkeologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. "Jarang lulusan SMA bersedia masuk ke Jurusan Arkeologi. Karena itu, teman seangkatan saya hanya 16 orang, kemudian yang lulus hingga sarjana hanya separuhnya," tutur Tri yang diwisuda tahun 1984 setelah menulis skripsi Tradisi Pande Logam Tembaga di Kotagede Suatu Studi Etno Arkeologi.
Empat tahun sebelum jadi sarjana, Tri—anak ketiga pasangan Hardosutrasno (kepala SD) dan Ny Murjilah (pembatik)— sudah diterima bekerja di Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP) Jawa Tengah dengan gaji Rp 15.000 per bulan. Padahal, dari mengaryakan lima mobil untuk angkutan pedesaan, satu hari saja ia bisa memasukkan uang dengan jumlah sama.
"Tetapi, karena saya bertekad menjadi pegawai negeri, penghasilan Rp 15.000 per hari saya tinggalkan," ungkap Tri yang kini menjabat Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BPPP) Jateng di Prambanan, Klaten. Ini merupakan jabatan yang kedua di tempat sama. Sebelumnya, ia mengepalai BPPP DIY dan Serang, Banten, masing-masing selama dua tahun.
Masygul
Ketika diajak berbincang tentang kerusakan candi di kawasan Prambanan, Klaten, akibat gempa 5,9 skala Richter pada 27 Mei 2006, Tri tampak masygul. Matanya menerawang. Padahal, biasanya ia royal mengumbar kata-kata, apalagi yang berkaitan dengan bidang tugas.
Sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Depdiknas tahun 2002, masygul artinya ’bersusah hati karena suatu sebab; sedih; murung’. Kemasygulan artinya ’kesusahan atau kesedihan’. Gambaran ini pas buat Tri, menyusul rusaknya lima candi di Jateng berturut-turut, yakni Sewu, Plaosan, Sojiwan, Lumbung, dan Bubrah, akibat gempa pada pagi hari tersebut. Jika ditambah candi-candi di DIY, angka lima terlalu kecil dibandingkan dengan jumlah kerusakan seluruhnya.
"Upaya restorasi dengan biaya jutaan rupiah mampu mengembalikan keelokan candi, tetapi musnah begitu saja akibat gempa kurang dari satu menit," ungkapnya sambil menghela napas.
Ia paham susahnya merenovasi candi berikut pembiayaan yang dikeluarkan, mengingat separuh dari usianya (kini 51 tahun) diabdikan di bidang kepurbakalaan. Mula-mula diawali dari staf, menapak menjadi kepala seksi, lalu kepala bagian, dan kini berstatus kepala.
Saat gempa terjadi, Tri tengah dalam perjalanan dari rumahnya di Desa Wijirejo, Pandak, Bantul, ke Kantor BPPP di Prambanan, Klaten. Pagi itu pula ia menerima laporan bahwa seorang karyawan dan tiga keluarga karyawan yang lain tewas terkena runtuhan tembok. "Kecuali ada korban meninggal, karyawan yang kehilangan rumah tercatat 293 orang, 104 di antaranya berstatus honorer," tutur Tri haru.
Kekhawatiran terhadap candi-candi menjadi kenyataan. Ia menemukan lima candi rusak, satu rata dengan tanah, yakni Candi Sojiwan di Kebon Dalem, Prambanan. Candi ini berbentuk bujur sangkar dengan luas 18,34 meter persegi. Diperkirakan Candi Sojiwan berasal dari abad ke-9 dihubungkan dengan prasasti Rukam (829 Saka atau 907 Masehi).
Wisata ziarah
Di tengah upaya membangun kembali rumah-rumah karyawan yang roboh serta mencari dana untuk merenovasi candi, Tri hari-hari ini disibukkan rencana pencanangan wisata ziarah oleh Presiden di Kabupaten Demak, Jateng, seusai Lebaran mendatang. Pada kesempatan itu akan diluncurkan pula buku Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual terbitan BPPP Jateng bersama Yayasan Cermin (Central Riset dan Manajemen Informasi) Kudus.
Penulisan buku Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual bertujuan untuk mendokumentasikan dalam bentuk cetakan mengenai peran para wali dalam usaha penyebaran agama Islam, khususnya di Jawa, terutama dari kajian atas benda-benda arkeologis dan tradisi yang ditinggalkan.
Para wali yang disajikan dalam buku itu adalah sembilan wali, yakni Sunan Maulana Malik Ibrahim, Ampel, Bonang, Giri, Drajad, Kalijaga, Kudus, Muria, dan Sunan Gunung Jati, ditambah beberapa wali lain.
"Alasan dipilihnya tokoh-tokoh tersebut karena mereka memiliki peran yang cukup penting dalam penyebaran agama Islam di Jawa. Selain itu, makam ataupun tinggalan para wali menjadi obyek wisata ziarah yang cukup terkenal dan banyak dikunjungi masyarakat," tuturnya.
Bersama istri, Suparyantini, serta dua anak, Debrian Prakasidhi SE dan Novita Dwi Hapsari Putri, Tri tetap tinggal di Bantul seperti kesetiaannya terhadap bidang arkeologi. Di kesunyian desa pula, Tri terus mengasah keterampilan menulis.
Semasa menjadi kepala seksi perlindungan awal tahun 1990-an, Tri berhasil menyelamatkan temuan emas peninggalan abad IX-X di situs Wonoboyo, Kecamatan Jogonalan, Klaten, hampir 40 kg, yang sebagiannya telanjur jatuh ke tangan pedagang. Penyelamatan dilakukan bersama Letkol (Pol) Da’i Bachtiar, kala itu Kepala Polres Klaten, yang kemudian menjadi Kepala Kepolisian Negara RI berpangkat jenderal.
Sumber : Kompas, Jumat, 22 September 2006
Jun 12, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment