Agoes , "Pendekar Jamur" dari Blitar
Oleh : JA Noertjahyo
Awalnya, kegiatan budidaya jamur hanya sebagai pengisi waktu senggang. Ternyata, di balik kehidupan jamur banyak hal sangat menarik dan merupakan komoditas yang menjanjikan. Karena itu, Agoes Poernomo (56) minta pensiunnya sebagai pegawai negeri dipercepat untuk menggeluti budidaya jamur.
Agoes yang warga asli Blitar, Jawa Timur, ini merintis usaha jamurnya tahun 1976. Awalnya, Agoes hanya meletakkan beberapa bibit jamur sekenanya di emperan rumah, dan ruangan lain yang kosong, di sela-sela antara berbagai barang.
Maklum, rumahnya yang berlokasi di Bendogerit, sebelah selatan makam Bung Karno, tidak begitu besar. Dan, budidaya jamur dilakukan hanya untuk mengisi waktu senggang di samping tugasnya sebagai karyawan Pemerintah Kabupaten Blitar.
Selain keluarganya sendiri, ternyata para tetangga Agoes juga menyukai masakan jamur. Dari sinilah lelaki kelahiran 5 Maret 1950 itu terdorong untuk terus meningkatkan pembudidayaan jamur, lalu menjual hasilnya. Pelan tapi pasti, usahanya terus berkembang sehingga emperan rumah dan halamannya tidak bisa lagi menampung bibit-bibit jamur yang dia kemas dalam baglog.
Selain didasarkan pada otodidak, ia juga memanfaatkan pengetahuannya saat bekerja di Dinas Kesehatan dalam pembudidayaan jamur, lalu mengembangkan cara-cara pembudidayaan jamur dari pergaulannya dengan sesama pembudidaya jamur di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Ia juga bekerja sama dengan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang dan Universitas Airlangga Surabaya dalam penelitian dan pengembangan budidaya jamur, seperti pemilihan media tanam jamur.
Agoes kemudian membangun rumah di Desa Sumberdiren Garum, tujuh kilometer dari Kota Blitar ke arah Malang, yang dia jadikan sebagai pusat usaha, lengkap dengan papan nama "Toko Jamur". Mungkin ini merupakan satu-satunya toko yang khusus menjual produk jamur dalam bentuk segar maupun olahan.
Usaha Agoes yang dimulai dari emperan rumah itu, berkembang pesat sejak tahun 1985. Aset perusahaannya sekarang mencapai sekitar empat miliar rupiah, termasuk tiga pondok pesantren yang didirikannya. Di daerah Blitar saja perusahaan plasma dan mitra kerjanya tercatat 12 unit. Masih ditambah mitra kerja di Malang, Kediri, Nganjuk, Surabaya, Bogor, dan lain-lain.
Belum lagi mereka yang telah menerima pelatihan budidaya jamur dan mampu berdiri sendiri, baik di Jawa maupun luar Jawa. "Sudah lebih dari 30.000 orang yang mengikuti pelatihan," tutur Agoes, ayah dua anak dan kakek seorang cucu.
Gratis
Pelatihan budidaya jamur dilaksanakan Agoes di berbagai tempat dan forum, dari Aceh sampai Papua, baik kalangan militer maupun sipil. Kelompok masyarakat lain umumnya melaksanakan pelatihan melalui organisasi masing-masing, seperti organisasi pensiunan atau perkumpulan para ibu.
"Instruktur pelatihan hanya saya dan Agung Hidayanto, anak saya. Latihan diberikan gratis," ujar pria yang masih gesit mengendarai motor dan jip ini.
Agoes menambahkan, bagi mereka yang ingin menerima pelatihan di tempatnya, Desa Sumberdiren Garum, juga dilayani. "Mereka bisa menginap di balai desa dan makan seadanya di rumah ini. Semuanya gratis," ujar Agoes yang hanya tamat sekolah menengah atas dan oleh tetangga serta pelanggannya dijuluki sebagai "Pendekar Jamur".
Materi pelatihan meliputi cara pembibitan, pembuatan media jamur, cara budidaya dan perawatannya, teknik memanen, pemasaran, pengolahan (memasak jamur), sampai penanganan limbah menjadi pupuk organik. Seluruh pelatihan tentang teori dan praktik hingga peserta bisa memulai usahanya memerlukan waktu sekitar 10 hari.
Dua macam jamur
Dengan merek dagang "Payung Manfaat" yang telah dipatenkan dan terdaftar pada Departemen Kesehatan RI, Agoes Poernomo membudidayakan dua jenis jamur, yaitu jenis yang dapat dimakan (edible) dan tidak untuk dimakan (non-edible).
Jenis edible pemanfaatannya seperti sayur-mayur, dapat dimasak dengan menggunakan berbagai resep. Atau dijadikan keripik jamur untuk camilan. Jenis ini terdiri atas jamur tiram putih (Pleurotus florida), tiram coklat (Pleurotus cycstidiosus), tiram merah (Pleurotus flatellatus), jamur kuping (Auricularia polytrica), dan jamur shiitake (Lentinus edodes). Jamur-jamur jenis inilah yang banyak diminati konsumen, terutama jamur kuping yang lagi populer untuk sup di restoran-restoran besar.
"Berapa pun produksi kami selalu habis terjual. Bahkan, sering tidak bisa memenuhi permintaan," katanya. Harga jamur kuping kering di Jawa Timur saat ini berkisar Rp 30.000-Rp 40.000 per kilogram.
Jamur tiram di toko Agoes dijual dalam bentuk segar dengan harga Rp 10.000 per kg untuk partai. Harga eceran Rp 12.000 per kg atau Rp 3.000 per kantong seberat dua ons. Selain produksi dari budidayanya sendiri, jamur ini juga hasil dari beberapa plasma dan mitra usaha yang dibeli Agoes dengan harga Rp 9.000 per kg.
Biaya produksi jamur hanya berkisar Rp 3.500 per kg sehingga memberikan keuntungan yang cukup baik. "Ini cocok sebagai ekonomi rakyat karena mudah dibudidayakan, tidak perlu tempat luas, dan menguntungkan," papar Agoes.
Sedangkan jamur non-edible yang sering disebut sebagai "jamur kayu", digunakan sebagai suplemen dan bahan obat-obatan. Jenis ini juga sering disebut dengan nama jamur ling zhi (bahasa China, berarti "pohon kehidupan"), atau jamur rei shi (bahasa Jepang, berarti "jamur spiritual").
Bubuk ling zhi yang dimasukkan dalam kapsul harganya Rp 75.000 per botol (isi 100 biji). Sedangkan campuran ling zhi dengan kopi atau jahe, per botolnya (isi 50 gram) Rp 15.000- Rp 20.000, tergantung jenis bahan yang dicampurkan.
* JA Noertjahyo, Wartawan, Tinggal di Malang
Sumber : Kompas, Sabtu, 23 September 2006
Jun 12, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment