Jun 18, 2009

Tpegiran, Bangun Kemandirian Petani

Toegiran, Bangun Kemandirian Petani
Oleh : Andy Riza Hidayat

Menghilangkan ketergantungan dan berusaha mandiri, apalagi di perantauan, itulah pegangan hidup Toegiran (49), petani asal Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Berasal dari keluarga petani, sejak tahun 1979 ia hidup bertani di Desa Sidodadi, Kecamatan Beringin, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Pada awalnya ia melakukan kegiatan bertaninya sama seperti petani lain. Menggantungkan pertaniannya pada penggunaan pupuk kimia, di mana pada awalnya kedatangan masa panen bisa lebih cepat dan hasilnya berlipat.

Namun, lambat laun hasil panen tidak lagi surplus. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan warga Sidodadi mereka kerap mengambil dari daerah lain. Toegiran dan petani Sidodadi pun gelisah.

Ia dan petani Sidodadi mulai berpikir bagaimana kembali meningkatkan hasil produksi dan kalau mungkin mengurangi ketergantungan pada pupuk dan air secara berlebihan. Toegiran makin berpikir keras ketika makin banyak pupuk yang digunakan, tetapi produksinya tetap tak meningkat.

Sepertinya, tanah kami sudah jenuh karena terlalu sering memakai pupuk kimia. Mungkin saatnya dicari cara untuk menggantikan pupuk, tutur Toegiran.

Uji coba

Suatu hari, Toegiran pergi ke lahan cabai yang ia tanam di ladangnya. Ia menemukan banyak siput di antara pematang ladang. Ia lantas membuka rumah siput dan menaruh di pangkal batang cabai. Pertumbuhan cabai menjadi lebih cepat dari sebelumnya. Temuan itu disebarluaskan ke Wadah Belajar Petani (WBP) Desa Sidodadi tempat petani lain menjalin komunikasi.

Toegiran penasaran ingin mengetahui apa yang terkandung dalam siput. Toegiran mengambil bahan uji siput. Langkah pertama adalah mengecek kandungan energi listrik di dalam siput. Kami menemukan unsur anion dan kation tinggi. Artinya, ketersediaan unsur hara besar, yang cocok untuk pertumbuhan tanaman, tutur Toegiran.

Selain siput, ia mulai melirik penggunaan bahan-bahan alami di sekitar rumahnya, seperti gedebok, jerami padi, dan kulit padi. Bahan-bahan itu diolah dengan teknologi sederhana yang kemudian digunakan sebagai pupuk. Intensifikasi ini jauh menghemat biaya produksi, kata Toegiran.

Semua eksperimen itu dilakukan dengan cara yang sederhana. Tidak ada peralatan canggih yang digunakan dalam bereksperimen. Hasil uji coba memicu semangat petani melirik jalan alternatif, yaitu menghilangkan ketergantungan pada pupuk kimia.

Bapak dari Pandansari (23), Endan Primasari (18), dan Tri Hartati Liasari (13) ini memulai perjuangan panjang melawan ketergantungan alam, pupuk kimia, dan ketersediaan air.

Pada tahun 2005, Toegiran bersama WBP melakukan uji coba pertama kali. Uji coba dilakukan di dua lahan berbeda. Petani menerapkan pola tanam lama di satu lahan uji. Sementara di lahan uji lain, petani menerapkan pola pertanian organik. Di lahan uji coba organik, umur bibit hanya mencapai tujuh hari setelah disemai, satu bibit dalam satu rumpun, hanya menggunakan pupuk kompos, dan pemberian air dikurangi.

Hasilnya, di lahan petani seluas 552 meter persegi mampu menghasilkan 400 kilogram padi. Jika dikonversikan, hasil itu sama dengan 7,24 ton per hektar. Sementara lahan uji pertanian anorganik dengan luas yang sama, petani hanya mampu menghasilkan 5,8 ton per hektar. Dilihat dari masa panen, petani organik lebih cepat bisa memanen padinya 13 hari (103 hari masa tanam) lebih cepat daripada dengan pola tanam sebelumnya, yakni 116 hari.

Setahun uji coba, Toegiran merasa perlu menularkan ke petani lain. Bersama petani yang tergabung dalam WBP Deli Serdang, ia mengenalkan pola pertanian organik saat temu lapangan petani Deli Serdang pada akhir Februari lalu di halaman rumahnya. Silang pendapat mengalir seperti sebuah diskusi mahasiswa pertanian. Selain sebagai moderator, Toegiran sesekali menjawab pertanyaan dari petani.

Sejumlah petani baru tahu bahwa dengan sistem pertanian organik, pemakaian benih padi jauh lebih hemat, pemakaian air lebih sedikit 35-45 persen, tanpa menggunakan pestisida sehingga produk yang dihasilkan aman dan sehat. Satu hal yang lebih penting, petani dapat mengembangkan kemandirian. Saya tidak ingin terus tergantung, tutur Toegiran.

Puluhan petani dari Kecamatan Beringin, Tanjung Morawa, Pagar Merbau, dan Lubuk Pakam menganggut-anggut mendengar penjelasan Toegiran. Bagi mereka, pertanian organik adalah hal baru. Di Sidodadi, baru 38 petani yang tergabung dalam WBP yang telah mempraktikkan pola itu. Sedangkan jumlah petani organik di seluruh Deli Serdang sebanyak 4.428 orang. Sementara total jumlah petani Deli Serdang sebanyak 927.205 orang.

Mengubah kebiasaan memang sulit. Sama halnya mengubah kebiasaan orang merokok untuk tidak merokok. Toegiran percaya alam telah banyak memberi ia pelajaran sejak hidup di Desa Sidodadi sebagai transmigran 26 tahun lalu. Meski Toegiran harus berjalan di jalan sepi. Ia tak akan berhenti memberi contoh tanpa harus menjelaskan dengan kata-kata.

Sumber : Kompas, Rabu, 8 Maret 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks