Jun 18, 2009

Indi Sahindi : Indi, Bangga Jadi Guru Tunarungu

Indi, Bangga Jadi Guru Tunarungu
Oleh : Yenti Aprianti

Menjadi guru sekolah luar biasa adalah anugerah, ujar Indi Sahindi (52). Ketika mengatakan anugerah, intonasinya amat tegas dan matanya berbinar-binar.

Lelaki asal Ciamis, Jawa Barat, ini sudah menghabiskan hampir separuh usianya untuk menjadi guru dan ahli terapi bicara bagi anak-anak tunarungu. Saya bangga bisa mengajar mereka, lanjut Indi yang amat senang jika murid-muridnya dari Sekolah Luar Biasa (SLB) B II Yayasan Penyelenggara Pendidikan Pengajaran Anak Tunarungu (YP3ATR), Jalan Cicendo, Kota Bandung, berhasil kuliah di perguruan tinggi atau mendapat pekerjaan. Meskipun, jumlahnya tidak banyak.

Perkenalan Indi dengan dunia orang-orang berkemampuan berbeda terjadi pada tahun 1970-an. Waktu itu, selepas dari sekolah menengah atas di Ciamis, ia menetap di rumah saudaranya di Jalan Buahbatu, Bandung, dekat Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa (SGPLB). Karena lowongan pekerjaan bagi guru masih sangat terbuka, Indi meneruskan pendidikan di SGPLB itu.

Awalnya ia mengambil jurusan tunadaksa, tetapi lulus dari SGPLB ia justru mendapatkan pekerjaan di SLB B II YP3ATR Bandung tahun 1976. Sejak menginjakkan kaki di SLB tersebut, Indi sudah yakin akan mampu memotivasi muridnya agar berhasil. Apalagi, para guru senior banyak membimbingnya.

Pelajaran berharga yang didapatnya adalah mengajar dengan sabar. Adakalanya saya ingin marah karena anak-anak tidak dapat cepat mengerti pelajaran yang saya sampaikan. Padahal sudah diulang berkali-kali, kata Indi.

Namun, karena sering mengalami hal tersebut, Indi jadi berpikir, Apakah justru saya yang salah hingga murid-murid tidak juga paham pelajaran yang diberikan?

Agar murid-muridnya cepat memahami pelajaran yang diberikan, hampir setiap malam Indi menggambar berbagai benda untuk menjelaskan pada murid semua konsep kata yang terkait dalam pelajarannya. Selama ini anak-anak tidak bisa memahami pelajaran karena asing dengan kata-katanya.

Misalnya saat menjelaskan soal energi, muridnya tidak tahu konsep tentang gas. Indi pun menggambarkan sebuah panci berisi air yang dididihkan di atas kompor menyala. Lalu menghasilkan kabut putih yang tipis. Seperti itulah kira-kira yang disebut gas.

Usaha kanvas

Banyak konsep kata yang mereka tahu bendanya tetapi tidak tahu namanya, ujar Indi yang sebetulnya lebih berharap metode pengajaran bagi tunarungu dilakukan di luar sekolah agar siswa bisa kaya pengetahuannya tentang kata dan benda.

Selama ini, orang tidak tahu bagaimana berbicara dengan tunarungu. Kadang saat berbicara temponya terlalu cepat atau berbicara sambil memalingkan kepala sehingga penyandang tunarungu jadi bingung dan tidak bisa membaca gerak mulut, ujar Indi, pegawai negeri sipil golongan III dengan gaji kotor Rp 1,5 juta per bulan ini.

Ayah dari Rina Gustina (23) dan Lia Yulianti (18) pernah mencoba menambah penghasilan selama empat tahun dengan cara mengajar di sekolah umum, tetapi akhirnya ditinggalkan karena telah mengganggu konsentrasinya.

Tugas utama saya mengajar murid tunarungu. Jadi konsentrasi harus penuh. Kalau saya capek, kasihan anak-anak karena mungkin saya jadi tidak sabar mengajar mereka, kata Indi yang pernah membuka klinik audiologi di Jalan Balong Gede pada tahun 2001.

Pada saat itu, dalam sehari ia menangani dua pasien. Tidak semua pasiennya tunarungu. Ada juga yang tidak mampu mengatakan huruf r atau orang yang berbicara sengau.

Klinik tersebut ditutup dua tahun lalu karena ia tengah berkonsentrasi untuk menjalankan usahanya membuat kanvas. Usaha kanvas ini pun juga dia manfaatkan untuk memberikan pekerjaan pada anak didiknya.

Yayasan sudah mengizinkan sekolah dipakai untuk bengkel kerja siswa dan alumni. Sekarang saya sedang berusaha mencari sponsor untuk permodalan. Modal awal berkisar Rp 5 juta-Rp 10 juta, kata Indi.

Ide ini didapatnya akibat terenyuh melihat nasib teman- teman istrinya yang sudah setengah baya tetapi belum juga mendapatkan pekerjaan. Kebetulan istri Indi, Tini Rostini (42), adalah tunarungu alumni dari SLB tempat Indi bekerja.

Indi amat mendukung perkembangan pengetahuan bahasa istrinya. Setiap bulan ia selalu menyisihkan uang untuk membayar tabloid dan majalah langganan istrinya. Media cetak dan buku menjadi media belajar yang baik agar istrinya bisa menyusun kalimat dengan tepat.

Layanan pesan pendek (SMS) dari telepon seluler juga amat membantu istrinya belajar menyusun kalimat. Sebelum mengirim SMS, istrinya sering bertanya kepada Indi, apakah kalimat yang dibuatnya sudah benar. Makin hari struktur kalimat yang dibuat istrinya makin baik.

Tiba-tiba, saat bercerita tentang istrinya, telepon seluler Indi berbunyi. Sebuah SMS masuk, dari istrinya. Isinya, Pak, kalau punya uang tolong belikan obat dan roti tawar.

Nah, struktur kalimatnya sudah benar, kan. Sebelum ada SMS, dia suka menulis kalimat terbalik-balik, ujar Indi menunjukkan pesan dari istrinya sambil tersenyum.

Sumber : Kompas, Kamis, 9 Maret 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks