Thimotius Samin Lestarikan Budaya Kamoro
Oleh : Agnes Suharsiningsih
Kamoro. Tidak setiap orang akrab akan kosa kata ini. Kamoro merujuk pada suatu suku di pedalaman Papua, tepatnya di Papua bagian selatan.
Suku Kamoro memiliki seni ukir yang mengagumkan. Seorang perajin, Thimotius Samin (56), menjadi ujung tombak untuk melestarikan seni ukir itu. Suami dari Modesta Etewe (55) itu merasa perlu untuk menghidupkan kembali kecintaan generasi muda kepada seni ukir, yang notabene menjadi salah satu unsur kuat penunjang kehidupan spiritual mereka. Seni ukir bagi masyarakat Papua, begitu pula kaum Kamoro, sangat erat kaitannya dengan penghormatan kepada leluhur.
Setiap warga Suku Kamoro membuat patung berukir yang menyimbolkan leluhur mereka. Masing-masing patung memang sengaja dibuat untuk menyemayamkan roh leluhur sehingga leluhur yang dimaksud akan melindungi baik rumah, pekerjaan, anggota keluarga, ataupun perjalanan mereka selama mencari makanan di hutan. Kepercayaan seperti ini oleh Suku Kamoro disebut mapurupiyu.
Seperti diceritakan Thimotius saat ditemui di Ubud, Bali, di tengah forum Global Healing awal Mei lalu, pada saat dia muda tidak ada tetua yang mencoba memberikan pembelajaran tentang seni ukir kepada generasi muda. Ketika itu, generasi muda sepantaran dia juga enggan mempelajari seni ukir.
"Saat itu tidak ada orang- orang tua yang berusaha mengajarkan kemahiran mereka mengukir kepada anak-anak muda. Kami pun kaum muda tidak memerhatikan itu. Setelah saya berumur 40 tahun, baru saya menyadari bahwa kondisi ini harus diubah. Saya khawatir jika semua anak muda nanti melupakan budaya mereka dan tidak dapat melestarikannya," ujar Thimotius mengenang awal kepedulian dia untuk mengembangkan kembali budaya ukir Suku Kamoro.
Meninggalkan jabatan
Bertolak dari pengalaman inilah, ayah tujuh orang anak dan kakek dari sembilan cucu itu, pada tahun 1992 mulai menekuni seni ukir. Bahkan, agar konsentrasinya pada seni ukir bisa berjalan total, laki-laki yang saat ditemui di Ubud sedang mengukir sebuah wemawe (patung leluhur yang biasa diletakkan di rumah adat) itu meninggalkan jabatannya sebagai kepala desa di kampung asalnya.
Untuk menjadi seorang pengukir di Suku Kamoro, dan di Papua pada umumnya, hanya dapat diraih oleh seorang keturunan pengukir juga. Jadi, pengukir sifatnya turun-temurun. Bahkan, untuk menjadi pengukir yang "sah", juga harus mendapat pengakuan dari masyarakat adat. Pengukir pada posisi seperti ini biasa disebut sebagai maramowe. Hasil karya merekalah yang nantinya akan dipercaya masyarakat dapat memberikan tempat yang "layak" bagi roh leluhur.
Mereka yang berasal dari luar garis keturunan pengukir tidak diizinkan mengukir sebuah patung secara penuh. Mereka biasanya diizinkan mengukir patung bagian badan saja, sedangkan bagian kepala tetap dikerjakan oleh pengukir dari garis keturunan. Bahkan, orang yang dapat mengukir pun tidak punya kewenangan untuk menuangkan ornamen lain selain yang telah ditentukan maramowe.
"Ornamen yang dipahatkan pada kayu jenis besi ini tidak dibuat secara sembarangan. Semua memiliki makna, yakni keselarasan kehidupan manusia dengan alam lingkungannya. Ornamen-ornamen ini hanya dibuat oleh pengukir dari garis keturunan, sedangkan mereka yang berasal dari luar garis keturunan hanya memahatnya sesuai dengan ornamen yang sudah ditentukan," ujar Thimotius.
Patung yang dibuat Suku Kamoro, selain berupa patung manusia, juga berupa satwa yang dijumpai di sekitar lingkungan mereka. Pada setiap patung selalu terdapat ornamen, kebanyakan berupa stilisasi bentuk binatang, bagian-bagian tubuh binatang, serta tumbuhan.
Seperti wemawe yang sedang dibuat Thimotius sore itu juga terlihat ukiran berupa gigi ikan pada kepala patung berbentuk manusia. Pada bagian kepala juga terdapat ukiran tulang kelelawar. Di bagian badan ada ukiran sisik ikan, badan kelelawar, dan sulur-suluran. Semua itu melambangkan keselarasan hidup manusia dengan alam semesta.
"Saya tidak ingin budaya ini nantinya hilang. Karena itulah, selain menekuni seni ini saya juga ingin membantu generasi muda Kamoro sekarang untuk peduli dan mampu melestarikan budaya ini," ungkap Thimotius yang datang ke Ubud berkat dukungan Kal Muller, seorang konsultan Freeport Indonesia asal Hongaria yang telah 10 tahun menjadi pendamping Suku Kamoro.
Thimotius yang pernah mengenyam pendidikan guru dan pendeta ini, pada tahun 1993 membuka kelompok kerja. Ia mengumpulkan generasi muda Suku Kamoro dan mengajari mereka mengukir. Selain memberikan pembelajaran tentang seni ukir, dia juga berusaha menanamkan pemahaman kepada kaum muda tentang pentingnya menjaga serta melestarikan budaya lokal mereka.
Hasil karya Thimotius Samin sekarang dapat dijumpai di sejumlah daerah di Papua, luar Papua, dan bahkan luar negeri. Salah satu contohnya, karya Thimotius dipajang di hotel berbintang di Papua. Karya-karya Thimotius, bila dihargai dengan uang, berharga antara Rp 100.000 hingga jutaan rupiah.
Namun, lebih dari nilai rupiah, karya-karya seni kesukuan yang berorientasi pada spiritualisme, seperti Suku Kamoro ini, memuat harga yang tak ternilai.
Sumber : Kompas, Kamis, 11 Mei 2006
Jun 18, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment