Harry Aveling dan Sastra Indonesia
Oleh : Susi Ivvaty
Harry George Aveling (64) masih berusia delapan tahun ketika bibinya menunjukkan peta Borneo (Kalimantan) kepadanya. Bibi berharap ia menjadi pendakwah agama di pulau itu. "Saya akhirnya malah menjadi pendakwah budaya Indonesia untuk orang Australia, he-he-he."
Di Indonesia, Harry dikenal sebagai pemerhati dan peneliti kesusastraan Indonesia sejak tahun 1970-an. Belakangan, lelaki kelahiran Sydney, Australia, 30 Maret 1942, itu juga dikenal sebagai pakar dalam penerjemahan sastra. Tak mengherankan jika kalimat-kalimat dalam bahasa Indonesia yang meluncur dari mulutnya terstruktur sangat rapi.
Harry melihat Indonesia sebagai negara tetangga yang menarik. Begitu dekat namun sangat berbeda. "Saya tidak tahu apa-apa tentang Indonesia dan begitu pula kebanyakan orang Australia. Itulah mengapa saya tertarik ingin memperkenalkan Indonesia kepada Australia," ujarnya ketika ditemui menjelang acara diskusi di Bentara Budaya Jakarta pekan pertama Mei lalu.
Terhadap sastra Indonesia, Harry mengaku langsung jatuh cinta pada perkenalan pertama. Itu pula alasan yang membuat ia selalu kembali dan kembali ke Indonesia. Jika banyak orang mempelajari Indonesia lewat catatan sejarah atau politik, Harry memilih sastra.
"Cita-cita dan harapan orang Indonesia lebih tertangkap lewat sastra. Saya lebih intim bergumul dengan sastra. Lewat sastra, saya bisa merasakan Indonesia," ujar bapak tiga anak dan kakek dua cucu ini.
Sesudah Gestapu
Seusai lulus kuliah Indonesian and Malayan Studies di University of Sydney hingga gelar master pada tahun 1966, Harry memutuskan "turun gunung". Ia bersama sembilan kawan peminat studi Indonesia mengunjungi Indonesia dan Malaysia.
"Waktu itu sesudah Gestapu, dan keadaan masih kacau," kata Harry yang waktu itu berstatus dosen di Monash University, Melbourne.
Tahun 1970, Harry untuk pertama kali mengajar sastra bandingan di Universitas Indonesia, meski hanya enam bulan. Ia juga mengajar di Universiti Sains Malaysia, Penang, tahun 1972-1975.
Persentuhannya dengan sastra Indonesia menuntun Harry ke Taman Ismail Marzuki, tempat para sastrawan biasa berkumpul waktu itu. Di sana ia banyak berdiskusi dengan Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi, Goenawan Mohammad, juga Toeti Heraty.
Harry menyatakan kekagumannya terhadap karya-karya sastrawan yang ketika itu masih muda-muda. Ia menilai, perasaan kesenimanan mereka sangat menonjol. "Perasaan yang ingin serba bebas, namun tanpa saling menyakiti sesama. Perasaan kesenimanan itu membuat mereka mampu mempertanyakan segala hal," katanya.
Harry kemudian mulai membicarakan keunikan masing-masing sastrawan. Rendra, misalnya, dinilainya mempunyai cara yang istimewa untuk mengusung emosi atas segala hal, termasuk komitmennya terhadap perubahan sosial. "Ini masalah sensitivitas," ujarnya.
Terhadap Sutardji, Harry menilai, kekuatannya ada pada kejutan-kejutan yang dicipta. "Sutardji itu gila. Dia selalu dinamis dan berubah, tidak dapat ditebak. Puisinya dianggap aneh. Padahal, bunyi-bunyi puisi itu menarik di tengah-tengah puisi yang merdu dan indah".
Pada tahun 1996, Harry sempat dicekal masuk ke Indonesia. Ia berada di Bandara Ngurah Rai sekitar 15 menit sebelum dideportasi kembali ke Australia. Banyak orang menduga, Harry dicekal karena berkawan akrab dengan Pramoedya Ananta Toer dan menerjemahkan karya-karyanya pula ke dalam bahasa Inggris. "Padahal, sebagai perantara sastra budaya, saya semestinya netral. Saya tidak terlibat politik praktis," ujarnya.
Pergulatan Harry dengan sastra Indonesia telah menghasilkan banyak sekali karya, semisal buku-buku dan karya penerjemahan. A Thematic History of Indonesian Poetry adalah buku pertama Harry tentang puisi Indonesia yang diterbitkan Northern Illinois University tahun 1974. Setelah itu, sejumlah buku pun dia tulis, seperti Sastra Indonesia, Terlibat atau Tidak (1986), Secrets Need Words: Indonesian Poetry 1966-1998 (2001) yang versi Indonesianya menjadi Rahasia Membutuhkan Kata (2003), juga Rumah Sastra Indonesia (2002).
Ia juga telah menerjemahkan sejumlah karya sastra Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Tersebutlah karya-karya Pramoedya Ananta Toer seperti Gadis Pantai (novel), Perburuan (novel), dan Cerita dari Blora (cerpen). Juga karya Dorothea Rosa Herliany, seperti Santa Rosa; karya Danarto, seperti Abrakadabra; karya Dewi Lestari, seperti Supernova (dalam proses).
Berbeda dan berubah
Harry menilai, sastra Indonesia saat ini mengalami perkembangan, terutama setelah masa reformasi. "Dulu, dunia kreatif itu ada di atas gunung, merasakan angin, daun yang jatuh. Sekarang ini, budaya urban yang menonjol. Sama ketika membandingkan Jakarta dulu dan sekarang, sangat berbeda. Sekarang ini zaman >small 2small 0<, MTV, dan membentuk budaya global ala Indonesia."
Sastra terjemahan juga mengalami pergeseran. Saat ini, banyak sekali bermunculan penerjemah sastra, tidak peduli siapa mereka dan seberapa besar kemampuannya. Dan karena terlalu dikejar-kejar target, mereka tidak mempunyai waktu untuk merevisi. Masalah budaya, ideologi, dan poetika yang ada di balik bahasa menjadi kerap terabaikan.
"Gaji seorang penerjemah itu kecil, makanya mereka mau saja disuruh terus menerjemahkan," ujar Harry.
Maka, Harry pun makin ingin terus membagi pengetahuannya. "Saya ingin selalu kembali ke Indonesia, sharing mengenai translation studies dengan penerjemah Indonesia," ujarnya.
Sumber : Kompas, Jumat, 12 Mei 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment