Jun 21, 2009

Tengku Bulqaini Tanjong : Menyatukan Dua Dendam Anak Aceh

Menyatukan Dua Dendam Anak Aceh
Oleh : Ahmad Arif

Menyatukan dua hati yang berseberangan karena diliputi dendam, barangkali seperti menyatukan minyak dengan air. Tetapi, Tengku Bulqaini Tanjong (36) melakukannya.

Lelaki kelahiran Samalanga, Bireuen, itu menyatukan anak-anak yatim yang orangtuanya dibunuh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) maupun dibunuh TNI/Polri dalam satu atap, jauh sebelum penandatanganan Nota Kesepahaman (MOU) RI-GAM di Helsinki.

Di Dayah (pesantren) Markaz Al Ishlah Al Aziziyah yang dia bangun di atas tanah rawa di Lueng Bata, Kota Banda Aceh, sejak tahun 2002, 36 anak korban konflik yang semula saling mendendam itu kini berbaur. Tengku Bulqaini yang hidup di tengah anak-anak itu menjadi jembatan yang menautkan dua dendam.

Setiap hari dia mengajarkan anak-anak itu pengetahuan agama serta praktik hidup penuh kasih dan menghormati. Bulqaini juga membiayai anak-anak untuk belajar di sekolah formal. Anak-anak dari etnis Aceh, Gayo, Jawa, dan campuran berbagai etnis lain berbaur di pesantrennya. Perasaan senasib yang dibangun Tengku Bulqaini adalah titik temu yang mempermudah pertautan dua dendam itu menjadi rasa persaudaraan.

”Di mata saya tak ada perbedaan antara anak-anak korban GAM maupun korban TNI/Polri. Semua anak yatim, butuh perlindungan dan bimbingan, terutama bimbingan untuk tidak lagi saling bermusuhan sehingga bisa menata hidup lebih baik,” kata cucu Tengku Haji Hanafiah, pemimpin Dayah Mudi Mesra, Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen.

Memutus dendam

Bulqaini dibesarkan di Dayah Mudi Mesra. Kakeknya adalah salah seorang pemimpin dayah terbesar dan tertua di Aceh. Tahun 1987, Bulqaini belajar ke Dayah Malikussaleh di Panton Labu, Aceh Utara. Karena suasana politik di Aceh Utara memanas, Bulqaini pindah ke Dayah Ulee Titi, Lambaro, Aceh Besar.

Pada awal pencabutan Daerah Operasi Militer (DOM) tahun 1998, dalam perjalanan pulang ke Samalanga, Bulqaini beristirahat di dayah kecil di pinggir jalan arah Tiro, Pidie. Sebagian santri di dayah itu orangtuanya korban perang. Bulqaini kemudian menunjukkan sampul majalah yang dibelinya di Banda Aceh.

”Di sampul ada potret perwira tinggi TNI. Begitu saya tunjukkan sampul majalah itu, anak-anak kecil itu berkata dengan marah, ’Pai (kafir) itu yang membunuh ayah kami,’” tutur Bulqaini, tamatan sekolah menengah pertama ini.

Bulqaini terenyak melihat anak-anak yang kebanyakan belum berusia 10 tahun itu dirasuki dendam. ”Oh, Aceh akan hancur. Apa jadinya Aceh jika dendam ini disemaikan kepada anak kecil. Bagaimana sepuluh tahun lagi? Perang tak akan berakhir dan korban akan terus berjatuhan,” kenang Bulqaini.

Bulqaini bertanya kepada ulama-ulama dayah tua tentang konflik di Aceh. ”Kebanyakan mereka berpendapat, perang harus segera dihentikan karena menyebabkan penderitaan sangat mengerikan bagi rakyat. Siapa musuh, siapa kawan juga kabur. Perang memecah belah saudara dan agama,” kata suami Rosmida Umr (26) serta ayah dari Zakiya (3,5) dan Izzudin (2,5).

Bulqaini pun menetapkan hati untuk memutus dendam itu. ”Satu-satunya jalan dengan membimbing anak-anak korban konflik,” katanya. ”Jika anak-anak itu saling bertemu dan berbagi duka, saya yakin mereka akan berdamai.”

Bulqaini bercita-cita mendirikan lembaga pendidikan yang mempertemukan anak korban konflik. Namun, saat itu cita-citanya terhambat pendanaan. Tahun 1999 Bulqaini mendirikan ikatan santri Taliban yang merupakan pemersatu santri Aceh.

Setahun kemudian dia mendapat undangan dari Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) untuk melihat perkembangan Islam, budaya, dan pendidikan di sana dalam kapasitasnya sebagai ketua ikatan santri Aceh. Sisa uang saku sebesar Rp 33 juta dia belikan 1.200 meter persegi tanah rawa di Lueng Bata, Banda Aceh. Pada tahun 2001 dia mulai membangun dayah untuk anak korban konflik.

”Seorang kawan kontraktor membantu pembangunan dayah. Dua kamar di dayah ini kayunya berasal dari bekas sekolah Metodis Banda Aceh yang disumbangkan kepada saya,” katanya.

Pada tahun 2002, kawan-kawannya di Aceh mendatangkan anak-anak korban konflik ke dayahnya. ”Anak-anak korban konflik yang kehilangan orangtua karena dibunuh TNI/Polri maupun korban GAM semuanya menyimpan dendam,” kata Bulqaini.

Menurut Bulqaini, mereka rentan menyebabkan gesekan horizontal di masyarakat jika tak ditangani serius. ”Mereka sesungguhnya korban utama konflik dan butuh bantuan,” katanya.

Bulqaini membiayai pendidikan dan kehidupan anak-anak dari sumbangan orang-orang yang bersimpati. ”Banyak yang sebatang kara tanpa jaminan pendidikan dan hidup karena seluruh keluarganya meninggal. Secara sosial mereka pun kesulitan dan butuh bimbingan. Seharusnya, dana reintegrasi juga diberikan kepada anak yatim korban konflik, bukan hanya kepada anggota GAM yang masih aktif,” katanya.

Sumber : Kompas, Selasa, 25 Oktober 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks