Jun 12, 2009

Tajam, dari dan untuk Talang Mamak

Tajam, dari dan untuk Talang Mamak
Oleh : Neli Triana

Saat ditemui di pengujung September lalu, Tajam (32) sedang merenung. Wajahnya terlihat dari jendela rumah panggung berdinding kulit kayu. Segera senyum terkembang saat kami mengucapkan salam.

Tajam adalah orang asli suku Talang Mamak penduduk Dusun Tiga Ulu Ekok, Desa Durian Cacar, Kecamatan Rakit Kulim, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, yang menjadi satu-satunya guru bagi anak-anak suku asli Riau ini di dusunnya.

"Jangan sebut saya guru. Saya cuma mengajari mereka mengeja huruf, membaca, serta mengenal angka saja. Hanya itu kemampuan yang dapat saya tularkan kepada masyarakat saya. Namun, sepertinya itu saja kini sulit dilakukan," ungkap Tajam.

Laki-laki yang masih melajang ini memang sedang gundah. Ia mengatakan, sekolah yang dirintisnya tahun 2004 terpaksa ditutup sementara sejak dua bulan lalu karena tidak ada sarana dan prasarana belajar mengajar.

Kini anak-anak Talang Mamak makin terancam terkubur dalam kebodohan. Padahal, dengan adanya sekolah swadaya itu, ia berharap mampu mengurangi angka 75 persen buta huruf masyarakat Talang Mamak.

Tekad tersebut sudah tertanam lama sejak ia masih kanak-kanak. Sebagai putra seorang manti (setingkat pengurus rukun tetangga), ia beruntung dapat mengenyam pendidikan hingga kelas II sekolah menengah pertama. Anak ketiga dari 14 bersaudara ini menyadari bahwa dengan kemampuan membaca dan menulis, ia bisa menyerap ilmu dari luar dan itu amat berguna bagi desanya.

Tajam terpaksa hengkang dari sekolah karena masalah klasik: tidak ada biaya. Sebagai anak laki-laki ia bertanggung jawab bekerja menghidupi keluarga besarnya. Maka, ia pun meninggalkan bangku sekolah di salah satu desa transmigrasi yang berdekatan dengan dusunnya.

Menakik

Sambil tetap menekuni pekerjaan sehari-hari layaknya orang Talang Mamak di Durian Cacar, yaitu menakik (mengambil getah) karet dan berladang, Tajam menyempatkan diri mengajari anak-anak suku Talang Mamak membaca dan menulis. Meski dilakukan sambil lalu, beberapa anak terbukti mampu cepat menyerap pelajaran dan mempraktikkannya.

Kenyataan itu amat membanggakan Tajam. Ia pun berharap suatu saat mampu mendirikan sekolah sendiri bagi anak-anak Talang Mamak sebagai landasan sebelum mereka meneruskan ke sekolah-sekolah umum.

Gayung bersambut. Sekitar tahun 2003-2004, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang berdedikasi terhadap lingkungan dan masyarakat terpencil, Yayasan Alam Sumatera (Yasa), menawarkan program pendidikan bagi anak-anak usia sekolah suku Talang Mamak. Tajam pun ditunjuk sebagai satu-satunya guru.

Didirikanlah bangunan sekolah sederhana yang hanya berdinding papan kayu dan beratap sirap berukuran tak lebih dari 3 meter x 6 meter. Bangunan itu berada tepat di samping rumah pemimpin adat tertinggi Durian Cacar Patih Gading, dengan harapan kelangsungan pendidikan bagi anak-anak Talang Mamak juga diawasi langsung oleh para tetuanya.

Sekolah berlangsung tiga kali dalam sepekan, yaitu Senin, Rabu, dan Jumat, pada pukul 08.00-12.00. Tajam harus berjalan sekitar satu jam dari rumahnya menuju tempatnya mengajar. Akan tetapi, segala kelelahan hilang karena dalam waktu delapan bulan saja segala pelajaran dapat dikuasai murid-muridnya.

Tepat satu tahun berjalan, program pendidikan Yasa pun berakhir. Sekolah dan anak-anak diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat Durian Cacar. Tajam dan para pemimpin adat kala itu merasa percaya diri karena merasa telah berhasil pada tahap pertama. Mereka kemudian memohon bantuan pemerintah daerah setempat agar membantu terwujudnya sekolah swadaya.

"Kami tidak meminta banyak, hanya bantuan kelengkapan buku dan peralatan sekolah anak-anak. Kami juga meminta ada kepastian bagi anak-anak kami agar dapat melanjutkan pendidikan di sekolah umum setelah tamat di sini," tutur Tajam.

Permohonan mereka diterima dan dijanjikan akan direalisasikan dalam waktu dekat. Namun, janji tinggal janji. Tajam dan perangkat adat dibiarkan mengelola sekolah itu sendiri tanpa ada tambahan peralatan. Tajam juga semakin susah karena bantuan biaya dari Yasa sudah tidak ada lagi dan pemerintah seakan lupa sehingga ia harus pontang-panting berladang, menakik, sekaligus mengajar.

Ajang penindasan

Di seluruh Desa Durian Cacar yang terbagi dalam beberapa dusun ini terdapat lebih kurang 1.500 warga Talang Mamak. Sebagian transmigran asal Jawa, Minang, dan beberapa daerah lain sudah mulai menyeruak masuk. Kesenjangan bidang pendidikan, ekonomi, apalagi budaya, amat terasa.

Kebodohan yang menghinggapi masyarakat Talang Mamak kerap dijadikan ajang penipuan dan penindasan oleh oknum masyarakat luar, bahkan oknum pemerintahan. Hutan adat Talang Mamak di Durian Cacar tinggal 2.000 hektar karena tergerus perizinan fiktif yang mengubahnya menjadi perkebunan bagi orang luar. Ladang-ladang dan kebun masyarakat Talang Mamak pun kian tergusur dan mengecil karena kecurangan yang sama.

"Tanpa pendidikan, masyarakat kami akan terus terbelakang dan menjadi bulan-bulanan orang luar. Padahal, dengan cara hidup kami, hutan tetap lestari dan berguna bagi semua orang. Saya akan terus berusaha untuk menjauhkan kebodohan dari Talang Mamak. Ada atau tidak sarananya, saya akan tetap mengajar semampu saya," ujar Tajam.

Sumber : Kompas, Selasa, 3 Oktober 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks