Seda, "A Man for All Seasons"
Oleh : Julius Pour
"Panglima, jangan hanya karena muncul kerusuhan seusai Tibo dieksekusi, wilayah Maumere dan sekitarnya lantas akan kalian jadikan daerah darurat militer...."
Dari ujung telepon terdengar jawaban, dengan nada sangat serius, "Tidak ada, Pak. Sama sekali, dari kami tidak pernah muncul pikiran ke arah kebijakan seperti itu, ... percayalah."
Terdengar ucapan kesal sambil menukas, "Ah, kalian tentara, selalu berkilah macam itu. Tetapi, kenyataan di lapangan bisa berbeda dan sering lain dari instruksi resmi di Jakarta. Marsekal tahu, saya dulu sudah jadi letnan, jauh sebelum kalian lahir.…"
Begitu antara lain isi percakapan lewat telepon antara Frans Seda dan Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto akhir pekan lalu.
Situasi kemudian memang menunjukkan kerusuhan massal di Maumere segera reda, dan berita bahwa wilayah tersebut akan dijadikan daerah darurat militer tidak pernah menjadi kenyataan. Apakah karena Panglima TNI memang tidak punya rencana ataukah karena Seda menolak daerah kelahirannya ditangani militer?
"Tidak relevan mengkaji ada tidaknya rencana tersebut. Yang pasti, diminta atau tidak, kalau memang ada sesuatu yang menurut saya sudah mulai enggak bener, pasti akan langsung saya sampaikan kepada mereka yang berwenang. Senang atau tidak mereka menerima saran tersebut, mau tidak mereka mengubah kebijakan, bukan urusan saya. Kewajiban saya mengingatkan dengan perasaan tulus dari lubuk hati saya, diminta atau tidak," katanya dengan datar, nyaris tanpa ekspresi.
Selain mengingatkan lewat telepon sebagaimana contoh di atas, Seda ternyata selalu rajin menulis surat, berisi saran dan ungkapan hati plus pendapatnya, tentang segala sesuatu persoalan. Hal ini dia lakukan kepada mereka yang secara kebetulan sedang menjabat Presiden Republik Indonesia, baik kepada Pak Harto, Habibie, Gus Dur, Megawati, maupun SBY.
"Surat kepada Pak Harto, tentu saja saya mulai lakukan sesudah saya tidak lagi menjabat menteri," kata Seda sambil tersenyum.
Kumpulan surat-surat kepada Presiden Indonesia ini sedang dibukukan dan bakal diterbitkan sebagai buku, "Ikut menandai peringatan ulang tahun saya ke-80. Bahwa saya, bagaimanapun juga, sudah pernah ikut mengingatkan tentang penyelenggaraan negara. Bukan karena saya merasa paling pandai, tetapi justru ingin berperan serta, toh keputusannya terpulang kepada beliau-beliau tersebut".
Suami dari Johanna Maria Pattinaya, ayah dua anak serta anak sulung dari delapan bersaudara ini, dilahirkan tanggal 4 Oktober 1926 di Flores, Nusa Tenggara Timur.
Belajar keberanian
Sulit menempatkan sosok dan peran Frans Seda dalam posisi semacam itu. Semakin sulit oleh karena dia selalu berada—atau lebih tepat: menempatkan diri—di tengah putaran peristiwa dalam beragam kesempatan. Ia memang a man for all seasons, ada di segala zaman. Ia pernah hidup menggelandang di emper toko sepanjang Jalan Malioboro, Yogyakarta, semasa datang pertama kali ke Jawa pada zaman sebelum pendudukan Jepang.
Akan tetapi, kemudian, panggilan perang kemerdekaan menjadikan dirinya perwira militer dengan pangkat letnan. Pada masa pemerintahan Bung Karno, Seda ditunjuk menjadi menteri perkebunan dan oleh karena itu dia langsung harus berani melawan PKI, yang selalu mengklaim, buruh dan petani sebagai saka guru massa komunis.
Dan begitu Pak Harto naik, Seda diangkat menjadi menteri keuangan pertama di awal pemerintahan Orde Baru dengan tugas memulihkan perekonomian Indonesia yang baru saja dibangkrutkan rezim Orde Lama.
Pada sisi lain, melihat Seda selalu ngotot dalam berbicara kalau sedang memperjuangkan sesuatu, menunjukkan bahwa dirinya termasuk segelintir sosok yang tetap mengandalkan keberhasilan dialog dalam menyelesaikan permasalahan kehidupan menyangkut kepentingan umum. Tersirat lewat kalimat bersayap yang dia gemari, salus populi suprema lex (kesejahteraan rakyat merupakan hukum tertinggi).
Mgr Francesco Canalili selalu ingat, hanya nama Frans Seda yang diberikan dalam briefing kepada dirinya sewaktu akan berangkat dari Roma untuk memulai tugas sebagai Duta Besar Vatikan di Jakarta. Sesudah sekian lama bergaul dengan Seda, dia kemudian memberikan komentar, "Efficiency, serenity, sound optimism, are some characteristic that can easily detected in dealing with him...."
Akan tetapi, dari mana sikap tersebut terbentuk?
"Ayah saya kepala sekolah (desa), paman saya kapitan, kepala desa. Dari mereka berdua saya belajar keberanian serta mendapat pendidikan untuk selalu harus membaktikan diri kepada kepentingan umum," kata Frans Seda terus terang.
Keberanian itu pula yang membawa dirinya merantau sendirian ke Yogyakarta (tahun 1940) selepas sekolah dasar di Desa Lekebai, Paga, Kabupaten Sikka, Flores, tempat lahirnya. Cita-cita awalnya menjadi guru adalah untuk meniru jejak ayahnya. Oleh karena itu, ia sengaja belajar di HIK Muntilan, tetapi dibuyarkan oleh perang kemerdekaan. Sebelum nantinya, sesudah melewati jalan berliku dan aneka macam pekerjaan, dia dikirim ke negeri Belanda dan berhasil menamatkan pendidikan di Katholieke Economische Hogeschool di Tilburg (tahun 1956).
Pernah jadi ketua umum parpol (Partai Katolik 1961-1968), duta besar, anggota Dewan Pertimbangan Agung, pengusaha, dekan (Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Jakarta), penulis, pengamat politik, dan beragam posisi lain, apa tugas paling mengesankan yang pernah dia tangani?
Frans Seda menjawab, "Mengantar Ratu Fabiola dari Belgia ke Keraton Yogya agar beliau segera punya putra. Baru kemudian saya tahu, jamu jawa itu rumit dan tak sekali minum beres, perlu ramuan untuk beberapa kali. Maka, sewaktu saya kembali ke Brussel, Sultan Yogya titip ramuan tersebut, mungkin hanya saya dubes yang membawa titipan jamu di kantong diplomatik.…"
*Julius Pour Wartawan, Tinggal di Jakarta
Sumber : Kompas, Rabu, 4 Oktober 2006
Jun 12, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment