Jun 20, 2009

Syafiq : Tidak Ada Manusia Cacat di Dunia

Dokter Syafiq: Tidak Ada Manusia Cacat di Dunia
Oleh : Ni Komang Arianti

Apabila saya masih hidup, bekerjalah seakan-akan saya sudah mati. Apabila saya sudah sudah mati, bekerjalah seakan-akan saya masih hidup.

Untaian kalimat ini selalu diingat dan disimpan dalam hati oleh dr Syafiq (62), Direktur Pusat Rehabilitasi Anak Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Solo, Jawa Tengah, saat pertama kali memutuskan bergabung dengan YPAC yang didirikan Prof Dr R Soeharso di Kota Solo.

Kala pertama membaca untaian kalimat yang terpampang di tembok depan Gedung YPAC itu pada tahun 1985, Syafiq dibuat penasaran dengan makna dari kalimat yang pernah diucapkan Prof Soeharso itu semasa hidupnya. Seiring dengan rasa penasarannya, Syafiq kemudian mendalami pemikiran dan konsep Soeharso tentang delabelisasi, peniadaan label kata cacat terhadap difabel (differently abled people, istilah pengganti penyandang cacat Red).

Setelah saya membaca dan memahami pemikiran Soeharso, saya akhirnya juga memahami untaian kalimat itu. Makna kalimat itu sederhana, yakni para pengabdi YPAC dan pemerhati masalah difabel jangan mengultuskan diri Soeharso, tetapi harus mengultuskan visi dan misi Soeharso, tutur Syafiq saat ditemui di Kampus Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), beberapa waktu lalu.

Pertama kali bergabung dengan YPAC, Syafiq mengaku kecewa dengan nasib YPAC dan Rehabilitation Centrum (RC) yang didirikan Soeharso pada tahun 1951. Ia menemukan sejumlah pergeseran visi dan misi Soeharso tentang kaum difabel dan konsep penyembuhan total dari RC.

Visi dan misi Soeharso yang menekankan pada pemberdayaan kaum difabel untuk hidup mandiri mulai terhapus dan lebih berorientasi bisnis serta tidak terintegrasi lagi sejak Soeharso meninggal pada tahun 1971. RC tidak lagi menjadi pusat penyembuhan total kaum difabel, tetapi terpecah dan terbagi-bagi di bawah naungan masing-masing departemen pemerintah yang mengurusinya.

Akhirnya, Syafiq menemukan kumpulan tulisan Soeharso yang memuat buah pemikirannya tentang delabelisasi dan rehabilitasi. Ironisnya, kumpulan tulisan ini ditemukan Syafiq di gudang YPAC Solo dan terbengkalai begitu saja.

Seusai membaca konsep Soeharso itu, saya baru menyadari bahwa Soeharso adalah orang pertama di dunia pada waktu itu yang sudah tidak menyebutkan kata cacat lagi bagi kaum difabel, papar pria lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta tahun 1980 ini.

Tidak digubris

Dengan penuh ketekunan, Syafiq mengompilasikan tulisan konsep delabelisasi dan rehabilitasi Soeharso menjadi teori Total Quality Concept of Soeharso pada tahun 1990. Sayangnya, saat teori ini disampaikan pada rekan kerjanya di YPAC, tulisan itu tidak terlalu digubris mereka.

Perhatian terhadap teori ini, khususnya konsep delabelisasi, justru diakui kalangan profesional kedokteran dan kemanusiaan internasional. Lewat berbagai forum seminar internasional, kompilasi pemikiran Soeharso yang dibacakan Syafiq, baik saat menjadi peserta maupun pemakalah, mendapat respons positif dari dunia internasional.

Dalam Total Quality Concept of Soeharso, ada tiga hal yang ditekankan, yaitu quality of life, quality of coverage, dan quality of service yang merujuk pada total welfare (kesejahteraan menyeluruh—Red). Selain kesejahteraan menyeluruh bagi kaum difabel, juga ditekankan konsep delabelisasi, jejaring, satu pusat pelayanan atau penyembuhan menyeluruh bagi kaum difabel.

Selain berhasil mengompilasikan pemikiran Soeharso, Syafiq giat mendorong muculnya ide dan gerakan kepedulian terhadap kaum difabel. Salah satu aktivitas yang dirintisnya lewat YPAC Jakarta adalah bekerja sama dengan Program Kesejahteraan Keluarga (PKK) Cempaka Putih Jakarta untuk melatih ibu-ibu anak difabel pada tahun 1999.

Pelatihan ini bertujuan agar para ibu dari anak difabel terbiasa mendidik dan memahami dunia anak mereka tanpa perlu menyerahkan tanggung jawab pembinaan itu pada lembaga rehabilitasi penyandang cacat.

Dalam usianya sekarang, Syafiq masih memiliki angan-angan untuk melihat keceriaan tawa anak difabel maupun nondifabel menggema di RC Anak Prof Soeharso di Solo, yang akan segera dilengkapi fasilitas bermain. Dengan demikian, tidak ada lagi jurang pemisah antara anak cacat dan anak normal di dunia ini.

Tidak ada manusia cacat, yang ada hanya manusia. Orang cenderung melihat kekurangan fisik pada diri seseorang, tetapi cacat nurani tidak pernah diperhatikan, tuturnya.

Pemikiran Soeharso yang dihidupkan Syafiq kembali mengingatkan kita untuk lebih memerhatikan kaum difabel di negeri ini, terlebih pada hari difabel internasional yang jatuh pada 3 Desember ini.

Sumber : Kompas, Sabtu, 3 Desember 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks