Syafii, Anak Panah Muhammadiyah
Oleh : Ari Susanto dan Agnes Rita Sulistyawaty
Pak tua itu hanya tertawa renyah, lalu berucap bahwa sebutan guru bangsa tidak pantas untuk dirinya. Ia merasa tak banyak yang dia lakukan untuk negeri ini kecuali mengajar sejarah dan menjadi "anak panah" Muhammadiyah.
Syafii Maarif (71) seolah ingin menanggalkan sebutan guru bangsa agar dirinya hanya dikenal sebagai seorang anak desa dari Sumpur Kudus, Sumatera Barat. Namun, pemikirannya yang cerdas, kritis, menembus batas-batas kepentingan agama, dan mengutamakan kepentingan bangsa telanjur membuat dirinya dianggap sebagai guru bangsa.
"Saya ingin bertutur apa adanya tentang diri saya dari kecil di kampung halaman hingga sekarang, sehingga orang-orang bisa mengenali siapa saya sebenarnya," ujar Syafii saat bedah buku otobiografinya yang berjudul Titik-titik Kisar di Perjalananku yang diterbitkan Penerbit Ombak, di Yogyakarta, awal pekan ini.
Dalam otobiografinya Syafii membentangkan secara jujur tentang dapur kehidupan rumah tangganya, mengungkap fakta yang baik maupun yang buruk. Semua kisah hidupnya dari Sumpur Kudus, dan perantauannya di Yogyakarta, Lombok, serta Solo yang penuh kepahitan hidup, mulai dari impitan ekonomi yang pas-pasan sampai dengan kehilangan dua anaknya, dia ceritakan detail.
Di situ bisa ditangkap, Syafii muda adalah seorang "fundamentalis". Titik kisar hidupnya diawali ketika bertemu seorang cendekiawan dan pembaru Islam dari Pakistan, Prof Fazlur Rahman, yang juga pengajar di kampus orientalis Universitas Chicago, Amerika Serikat.
"Berikan saya seperempat kemampuan intelektual Anda, saya akan mengubah Indonesia menjadi negara Islam. Profesor Fazlur hanya tertawa, dan berkata bahwa saya boleh mengambil semua pikiran beliau," ujar Syafii sambil tertawa seolah menertawakan sikapnya sendiri saat menjadi mahasiswa di AS.
Namun, semakin dekat dengan pemikiran Fazlur Rahman, Syafii justru semakin yakin bahwa negara Islam tidak mungkin dan tidak bisa diterapkan di Indonesia. Bahkan, dia menilai jalan untuk mencapai negara Islam hanya akan berakhir dengan kegagalan dan kesia-siaan. Pengaruh pemikiran Fazlur Rahman itu kemudian diakui Syafii sebagai pencerahan yang mengubah 180 derajat cara berpikirnya terhadap konsep negara, dari fundamentalis menjadi liberal.
Gerakan politik
Sampai sekarang ia selalu menjadi orang pertama yang menolak setiap gerakan politik yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Tak hanya soal bernegara, dalam hal jender dan martabat perempuan, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu termasuk tokoh Islam yang berpandangan bahwa perempuan boleh menjadi pemimpin, seperti halnya laki-laki.
Soal pandangan terhadap kesederajatan perempuan, Syafii juga tidak setuju terhadap konsep poligami yang mengambil pembenaran ajaran Islam. Ia bersungguh-sungguh menyatakan bahwa kitab suci tegas mengajarkan monogami, bukan poligami sebagaimana yang dipahami sebagian orang selama ini.
Buku otobiografi yang ditulis Syafii dalam rentang waktu 2 September 2003 hingga 27 Maret 2006 itu juga disebut sejarawan Anhar Gonggong sebagai cara Syafii mempertahankan kejujuran dalam diri. Ia mencontohkan, misalnya, Syafii tanpa malu-malu menceritakan bahwa pernikahannya dengan istrinya, Nurkalifah, berawal dari dijodohkan oleh keluarga kedua pihak, tahun 1953. Justru itu dianggap bagian dari sejarah hidup yang dia syukuri.
Kondisi ini bukan sekadar cermin kejujuran Syafii, tetapi juga sebuah kritik halus atas pernikahan saat ini yang dilakukan atas pilihan bebas, tetapi kerap kali kandas dalam usia tidak lebih dari sepuluh tahun.
Tentang masa depan Indonesia, Syafii melontarkan kritik bahwa masalah ini hanya menjadi pembicaraan menarik di kalangan para pensiunan seperti dirinya, kalangan mahasiswa, serta kelompok masyarakat lain yang tidak mempunyai relasi langsung dengan kekuasaan.
"Indonesia ini sangat ruwet," katanya. Keruwetan Indonesia salah satunya disebabkan masalah kepemimpinan yang sejak zaman Soekarno tidak bisa merumuskan watak kepemimpinan bangsa yang bisa menjadi panutan. Ia mencontohkan, pergantian antarpemimpin di negeri ini pun mengajarkan sentimen kebencian sejak zaman Soekarno: antara mantan presiden dan presiden yang berkuasa saling mengucilkan.
"Meskipun kini figur kepemimpinan dicapai dengan cara pemilihan langsung, bangsa Indonesia malah mendapat lumpur Lapindo. Bumi juga sudah beroposisi rupanya," tutur Syafii berkelakar.
Kedekatan Syafii dengan dua cendekiawan yang juga lulusan Chicago, yaitu Amien Rais dan Nurcholish Madjid (almarhum), menjadikan guru besar sejarah Universitas Negeri Yogyakarta itu ikut menjadi bagian dari pergulatan mendorong reformasi tahun 1998. Ia tahu benar bagaimana perubahan sosial-politik berlangsung pada masa-masa awal reformasi yang menciptakan banyak kesempatan bagi setiap orang untuk terjun ke ranah politik.
Namun, Syafii berketetapan menahan diri agar tidak masuk dalam pusaran politik karena dirinya merasa usianya sudah terlalu tua untuk berpolitik. Syafii juga berusaha agar Muhammadiyah tidak terseret dan menjelma menjadi partai politik. Itu semua karena kecintaannya terhadap organisasi sosial-keagamaan itu hingga ia berulang-ulang menyebut dirinya sebagai "anak panah" Muhammadiyah.
Sumber : Kompas, Jumat, 8 September 2006
Jun 12, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment