Suwarni, Siap Tampil di Panggung maupun "Ngojek"
Oleh : Agnes Suharsiningsih
SUWARNI (42) boleh dibilang perempuan perkasa. Jebolan kelas V sekolah dasar itu kini menggeluti empat pekerjaan sekaligus: pelawak, tukang tambal ban, penjaga penitipan sepeda, dan tukang ojek.
TAHUN 1990 Suwarni tanpa sengaja mengikuti jejak suaminya, Piman Onting (51), manggung sebagai pelawak. Pada saat itu kelompok lawak tempat suaminya bergabung (Sidik cs) kesulitan mendapatkan pelawak perempuan.
Tanpa bekal apa pun, Suwarni diajak naik panggung. Mula-mula ia grogi. Namun, lama-kelamaan ia menikmati dan mampu mengimbangi lawan mainnya. Kelompok lawak Suwarni sempat manggung di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta, Gedung Cak Durasim di Surabaya, dan sebagainya.
Selain melawak, Suwarni juga membuka usaha tambal ban, penitipan sepeda, dan menjadi tukang ojek. Semula usaha itu dirintis bersama suaminya. Namun, tahun 1992 Onting terkena hepatitis dan tidak mampu bekerja berat sehingga Suwarni harus mengerjakan sendiri.
SEBAGAI wiraswastawati gurem di dalam bidang usaha jasa tambal ban, Suwarni melakukan langkah berani sekaligus unik. Ia memberi garansi bagi pengguna jasa tambal bannya. Dengan stempel bentuk segitiga dia menandai hasil pekerjaannya. Jika pekerjaannya tidak memuaskan, pelanggan dapat datang kembali dan ia akan memperbaiki tanpa membayar.
"Alhamdulillah, sampai sekarang tidak ada pelanggan yang mengeluh. Semua berjalan lancar. Pekerjaan istri saya menambal ban dapat diterima pelanggan dengan baik. Saya bangga pada istri saya," ujar Onting, yang kini lebih memusatkan perhatian pada pekerjaannya sebagai pelawak dan usaha jasa perantara alias makelar.
Suwarni nekat menjadi tukang ojek karena pekerjaan ini menjanjikan. Di daerahnya, Donokerto, Kecamatan Tarik, Kabupaten Sidoarjo, banyak orang membutuhkan ojek untuk pergi dari satu desa ke desa lainnya karena kendaraan angkutan masih terbatas.
Sebagai tukang ojek, Suwarni mengaku beruntung dengan situasi tempatnya mangkal. Teman-teman sesama tukang ojek bersikap sopan. Bahkan di antara mereka ada kesepakatan, apabila penumpangnya perempuan, Suwarni yang akan mengantar.
Apabila penumpangnya pria, maka tukang ojek laki-laki yang mengantar. Situasi ini mendukungnya untuk tetap bertahan sebagai tukang ojek perempuan satu-satunya di kawasan itu.
Dari hasil menambal ban, penitipan sepeda, dan ngojek, setiap hari Suwarni memperoleh pendapatan Rp 30.000 hingga Rp 50.000. Sedangkan dari melawak bersama suami dan kelompoknya, mereka mendapat sekitar Rp 600.000 hingga Rp 1 juta tiap kali manggung, yang dibagi untuk lima orang.
KEHIDUPAN penuh perjuangan itu membuahkan penghargaan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Suwarni terpilih dari 15 nominator untuk mendapat Kartini Award 2005, 21 April lalu di Surabaya.
"Bu Warni terpilih mendapatkan Kartini Award karena dedikasinya kepada keempat pekerjaannya tanpa meninggalkan perannya sebagai ibu dan istri. Dia mampu membagi waktu dengan baik dan tetap memerhatikan sisi keperempuanannya," ujar salah satu juri dari Pusat Studi Wanita Universitas Airlangga Surabaya, Sri Endah Nurhidayati.
Acara yang diselenggarakan oleh Surabaya Plaza Hotel ini sudah berlangsung untuk ke-11 kalinya. Nominasi dilakukan bekerja sama dengan pusat studi wanita yang ada di pelbagai universitas di Jawa Timur serta masyarakat luas karena diumumkan juga lewat radio.
Kebolehan Suwarni melawak ditampilkan sesaat setelah menerima Kartini Award. Bersama suami dan kelompok lawak mereka, Suwarni berperan sebagai perempuan yang pada awalnya diisengi oleh sekelompok laki-laki.
Akhir cerita ditutup dengan kata-kata Suwarni bahwa laki-laki saat ini harus menghormati kaum perempuan. Kedudukan perempuan dan laki-laki, baik di pekerjaan maupun di kehidupan, bukan lagi sebagai atasan-bawahan, tetapi mitra yang saling mendukung.
Kata-kata ibu dari tiga anak itu bukan hanya sebatas kata-kata, kehidupan seperti itulah yang saat ini dijalaninya. Dia bersama sang suami bahu-membahu menghidupi keluarga yang dibangunnya. Mereka berjuang dan bekerja didasari rasa tanggung jawab untuk mempertahankan kualitas pekerjaan.
SUWARNI merasakan kerja keras sejak masih kecil. Dia kehilangan ayahnya saat masih kanak-kanak, kemudian tinggal dengan ibu tirinya. Tahun 1980 Suwarni menikah dengan Onting yang lulusan sekolah menengah pertama (SMP).
Dengan menjalani empat pekerjaan sekaligus, Suwarni ingin mengantar anak-anaknya ke jenjang kehidupan yang lebih baik. "Saya ingin mereka sekolah setinggi-tingginya, dan berhasil meraih cita-cita," harap Suwarni tentang anak-anaknya.
Anak sulung Suwarni, Sri Irawati Ningsih (20), lulus sekolah menengah atas (SMA) dan langsung bekerja. Ia memilih bekerja dan memberi jalan bagi adik-adiknya untuk melanjutkan pendidikan, mengingat kesulitan ekonomi orangtuanya.
Sedangkan anak kedua, Joko Basuki (19), duduk di kelas II SMA dan bercita-cita menjadi tentara. Anak ketiga, Ria Agustin (18), masih duduk di kelas I sekolah menengah ekonomi atas (SMEA) dan ingin melanjutkan ke perguruan tinggi.
Uang tunai hadiah Kartini Award senilai Rp 1,5 juta rencananya akan dibelikan kompresor. Selama ini Suwarni menggunakan pompa tangan untuk menunjang pekerjaannya menambal ban. Karena itu, Onting berinisiatif membeli kompresor untuk mempermudah pekerjaan istrinya.
Suwarni, perempuan tegar itu, masih menyimpan satu keinginan yang hendak diwujudkannya, yaitu memiliki warung jamu di dekat tempat penitipan sepeda miliknya. Peluang-peluang kecil namun pasti seperti inilah yang ingin ditangkapnya. (AGNES SUHARSININGSIH)
Sumber : Kompas, Rabu, 25 Mei 2005
Jun 28, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment