Hanafi, Sungai, dan Pejalan Kemalaman
Oleh : Dahono Fitrianto dan Putu Fajar Arcana
DULU, tahun 1996, ketika perupa Hanafi (45) membangun studionya di Desa Maruyung, Kelurahan Rangkapan Jaya Baru, Kota Depok, Jawa Barat, di atas hamparan alang-alang dan bebatuan, ia bercita-cita menyepi. Lokasi ini sampai kini pun rada sulit dijangkau. Lalu ia bayangkan menggambar di tepian Sungai Sanggrahan, pastilah mendatangkan bergulung-gulung inspirasi. Apalagi dilengkapi kolam dengan angsa- angsa yang tampak bersahabat karib dengan puluhan ekor ikan mas. Pokoknya itu bayangan ketenangan dan romantisme berkesenian yang mirip-mirip laku para empu.
KENYATAAN dan cita-cita bisa saja dua hal yang tidak harus saling menyetujui. Dan keluarga Hanafi, istrinya bernama Adinda Lufvianti (41) dan anaknya, Rizki Asasi (9), belakangan menyadari bahwa menyepi adalah pilihan egois di tengah begitu banyak para "pejalan" yang kemalaman. Mereka berjalan dengan berbagai motivasi, terutama dengan alasan "menimba" ilmu dari Hanafi, sehingga menjadi perupa yang dianggap "sukses".
Di luar itu ada pula yang datang sekadar mencari tempuh berteduh dari hujan dan terik, dari haus dan kelaparan. Lainnya datang hanya ingin ngobrol semalaman....
PARA pengamen dari Stasiun Kereta Api Depok pernah tinggal di rumahnya sampai jumlahnya mencapai 50 orang. "Semua mereka tinggal di sini dulu, di studio saya...," tutur Hanafi suatu siang, yang tentu saja berkesan karena obrolan berlangsung di sebuah gazebo, yang terletak di tepi kolam dengan ikan dan angsa yang berenang hilir mudik. Sedikit ke utara, ada suara gemericik air di sungai.
Adinda sebagai ibu rumah tangga mendapatkan pekerjaan tambahan. "Saya setiap saat mengontrol karung beras dan persediaan mi untuk mereka," tuturnya.
Memang kemudian cerita mengurusi anak-anak jalanan ini berakhir dengan ending yang kurang menyenangkan. Hanafi harus berurusan dengan polisi gara-gara di antara pengamen itu terlibat dalam kasus kriminal pemalsuan uang. "Padahal uang itu minta dari saya karena ia bilang neneknya sakit keras," tutur perupa bertubuh kecil ini.
Namun, rupanya penerimaan Hanafi yang begitu terbuka terhadap para tetamunya itu dengan cepat tersiar. Ketika seluruh gugusan rumahnya, selain rumah juga ada perpustakaan, studio, guest house, dan mushala, yang berdiri di atas tanah seluas 3.400 meter persegi, selesai dibangun, para tamu datang dan pergi tanpa henti.
"Bahkan ada yang tinggal di sini sampai tahunan untuk belajar melukis," kata perupa lulusan SSRI Yogyakarta ini. Pernah pula rumah Hanafi-Adinda harus menampung seniman asal Kanada yang jumlahnya lebih dari 10 orang atau para seniman bawaan Inisisri sampai 20 orang.
"Praktis seluruh keperluan mereka kami siapkan.... Dan itu sudah kami budget...," timpal Adinda. Ia menambahkan, saat ini rumahnya sedang kedatangan koreografer asal Kanada, Maxine Heppner. "Sudah dua minggu ini di rumah," kata Adinda yang menikah dengan Hanafi tahun 1994.
Gilanya lagi, para tamu itu datang seperti tak kenal waktu. "Ada yang selalu datang subuh-subuh dengan menggedor pintu... ya kami harus terima," kata Hanafi.
TERPAKSA pada saat-saat kehadiran tamu, Hanafi merelakan studionya dimanfaatkan para tamunya. "Tapi kadang kita berbagi. Prinsipnya saya senang kedatangan mereka. Saya bisa dialog, tangkap inspirasi, dan filosofi dari mereka," kata putra ketiga dari pasangan almarhum Muchtarom dan Umi Hani itu.
Sebagai orang yang dilahirkan di tepi sebuah sungai di Purworejo, Jawa Tengah, Hanafi memang tak bisa lepas dari kultur pedesaan. Oleh karena itulah ia memilih membangun studionya di tengah-tengah perkampungan, tetapi dengan semangat yang berbeda. "Saya sengaja menjadikan rumah ini sebagai ruang terbuka dan siapa saja boleh datang. Itu makanya ada perpustakaan, di mana penduduk sekitar bisa membaca sepuasnya," ujar Hanafi.
Keterbukaan itu, lanjutnya, tidak hanya pergaulan, tetapi lebih-lebih energi untuk bekerja. "Kasarnya sih saya dapatkan sesuatu dari kesenian, saya harus kembalikan lagi untuk kesenian," kata Hanafi.
Barangkali itu pula yang membuat karya-karya Hanafi seperti mengalir, seperti air di Sungai Sanggrahan. Lukisan-lukisan abstraknya seperti menyimpan kedalaman, di mana mata air kultur desanya membayang.
Sudah pasti pencapaian ini tidak mudah. Semasa SSRI dulu, untuk meneruskan sekolah Hanafi mesti pasrah menjadi pelukis potret dan bahkan perajin mebel. Dan ketika mencoba mengadu untung ke Jakarta, ia malah terlempar menjadi pencuci piring di sebuah hotel.
"Sampai-sampai ia dicari temannya agar mau ikut ujian," tutur Adinda. Hanafi hanya senyum kecil. Barangkali ia membayangkan, jika bukan karena "jasa" teman, perjalanannya sebagai perupa belum tentu sampai seperti saat ini.
Berbagai pengalaman pahit itulah yang mewarnai sikap terbuka Hanafi terhadap kesulitan orang lain. Karena itu, (ini bukan undangan) bagi siapa saja yang kemalaman di Jakarta, pintu rumah keluarga Hanafi senantiasa terbuka. Dan para pejalan itu tak hanya akan mendapatkan tempat berteduh, tetapi juga ilmu dari hasil berdiskusi, bila perlu semalaman, dengan Hanafi.
"Dulu ada mahasiswa dari Bandung tinggal di sini tahunan, mau belajar melukis dari Hanafi, kami terima...," kata Adinda.
MUNGKIN pada satu sisi Hanafi adalah seseorang romantis. Ia ingin mendapatkan energi penciptaan dari berbagai kenyataan alam desa, seperti sungai yang asri sebagaimana dahulu juga ada di Purworejo. Namun, pada sisi lain ia tak bisa lari dari kenyataan seni rupa sekarang, yang mesti terus-menerus digeluti dengan pembaruan pemikiran. Di situ bisa dimengerti mengapa ia membuka lebar-lebar rumahnya untuk dikunjungi, bahkan oleh mereka yang bukan seniman.
"Setiap sore warga sekitar datang untuk membaca majalah, koran, atau buku- buku di perpustakaan kami," kata Hanafi. Keterbukaan itu tidak semata bentuk-bentuk sosialisasi, tetapi lebih-lebih sebuah dobrakan terhadap kesan seniman yang "angker dan tidak gaul" itu.
"Semua yang kita dapat dari alam, kita kembalikan kepada alam, apa yang saya nikmati dari kesenian, harus saya kembalikan untuk kesenian...," tegas Hanafi. Itu prinsip keseimbangan untuk tetap eksis di dunia seni rupa yang makin riuh rendah ini.... (DAHONO FITRIANTO/ PUTU FAJAR ARCANA)
Sumber : Kompas, Kamis, 26 Mei 2005
Jun 28, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment