Sutejo, Penghibur di Reruntuhan
Oleh : Agnes Rita Sulistyawaty
Ketika banyak wajah muram di tengah reruntuhan rumah, senyum Tedjo Badut tetap mengembang di tengah anak-anak. Senyum itu seperti hendak menggantikan tangis dengan tawa, kendati di balik senyum itu pun ada setumpuk masalah.
Bersama rekan-rekan di kelompok Tedjo Badut, Sutejo (46), si penggagas, berkeliling ke dusun-dusun yang menjadi korban gempa di DI Yogyakarta dan Jawa Tengah. Rombongan yang beranggotakan setidaknya empat orang ini berusaha membagi keceriaan dengan anak-anak yang kehilangan rumah, pakaian seragam, mainan, sekolah mereka, atau bahkan orangtua mereka.
"Kami tidak hendak menyembuhkan trauma anak, karena penampilan tim kami hanya 1-2 jam di satu tempat. Kami hanya menghibur dan berusaha membuat anak tertawa," ucap Tejo, penghibur dengan spesialisasi badut itu.
Aksi konkret untuk anak korban gempa ini sudah direncanakan Tejo tiga hari pascagempa. Namun, karena masih harus menemani keluarga yang mengalami ketakutan akan terjadinya gempa susulan yang besar, pria kelahiran Purworejo, 18 Agustus 1960, itu tidak segera menjalankan rencananya. Di samping itu, pebadut yang populer di Kota Gudeg tersebut juga tersandung pendanaan kegiatan.
Baru setelah bergabung dengan gerakan Jogja Bangkit, Tejo dan kelompok Tedjo Badut mulai termotivasi lagi untuk melakukan aksi konkret bagi korban gempa.
Ia juga mengerahkan semua personel Tedjo Badut, lengkap dengan seluruh perlengkapan badut dan tak ketinggalan "gerobak tempur" kesayangannya. "Gerobak tempur" ini tak lain adalah motor beroda tiga dengan kabin untuk menaruh barang atau penumpang.
Untuk menyemarakkan suasana, Tejo juga memainkan harmonika mengiringi lagu-lagu anak masa kini, seperti Anak Gembala (Tasya). Keseriusan menghibur anak korban gempa ini dilakukan Tejo seperti halnya ia serius pula menekuni profesi sebagai badut sejak 1999.
Dalam setiap kesempatan, Tejo juga mempertontonkan kebolehannya bermain sulap di depan anak-anak. Sulap dipelajarinya setiap hari dengan mengamati cara seorang penjual obat yang mempraktikkan sulap untuk menarik pembeli.
Korban gempa
Secara fisik, rumah milik teman yang ditempatinya saat ini tidak ikut menjadi korban gempa. Meskipun tidak menjadi korban fisik, Tejo menjadi korban emosi, apalagi ketika menghadapi isu tsunami yang sempat membuat panik masyarakat Yogyakarta, tidak terkecuali warga di Jalan Gamelan Kidul, tempat tinggal Tejo.
"Ketika itu, saya marah betul kepada orang yang mengembuskan isu itu. Segera saja saya ambil pengeras suara dan berlari-lari sepanjang jalan ini untuk menenangkan warga yang mulai panik," kenang Tejo yang mengenal badut sebagai profesi pada 1982-1988 di Jakarta.
Meski secara fisik selamat, ternyata dia menjadi korban ekonomi akibat gempa. Setidaknya 10 tawaran pentas batal setelah gempa. Hingga akhir Juni lalu ia belum juga menerima tawaran pentas komersial. Hanya sesekali orang memberi bayaran tanpa patokan harga.
Untuk mempertahankan asap dapur, Tejo harus membobol tabungan, bahkan sampai menggadaikan sejumlah barang miliknya. "Nanti kalau ada rezeki, barang yang digadaikan itu bisa ditebus," tuturnya.
Sepanjang partisipasi memulihkan trauma anak yang dimulai sejak 2 Juni lalu, Tejo mencopot seluruh properti "papan iklan" yang melekat di kendaraannya. Ketika sebagian besar donatur bencana ingin nama mereka dikenal, Tejo enggan mengambil keuntungan dari bencana.
Kesediaan Tejo menghibur anak-anak tanpa menarik bayaran didasari rasa syukurnya atas keterampilan sebagai badut. "Menghibur korban gempa inilah yang bisa saya lakukan karena saya tidak hanya diberi kemampuan menghibur, tetapi juga diberi keselamatan dari gempa," tutur ayah dua anak ini.
Perjalanan menghibur dilalui Tejo tidak hanya di hampir 17 kecamatan di Bantul, tetapi juga di Kabupaten Sleman hingga Kecamatan Cawas di Jawa Tengah, selain pengungsi dari bahaya awan panas dari Gunung Merapi.
Ekonomi seret
Ekonomi yang seret pascagempa hanyalah satu masalah yang dihadapi Tejo. Ia dan Darsih, istrinya, harus menelan pil pahit bersama ribuan orangtua siswa yang tidak lulus ujian nasional. Anak sulung Tejo tersandung batas nilai 4,5 dalam ujian skala nasional itu.
"Saya tidak memaksa anak saya untuk lulus. Tidak lulus SMA pun tidak apa. Toh, saya yang lulusan SMP ini tetap bisa menghidupi keluarga," ucap Tejo datar.
Keterampilan sebagai badut didapatkan Tejo dari teman-temannya di luar sekolah. Pengalamannya mengikuti orangtua yang bekerja sebagai penari di panggung seni membuat Tejo sering bertemu banyak orang dengan berbagai keterampilan. Di sinilah ia mengasah talentanya hingga menjadi pebadut paling sohor di Yogyakarta.
Ia tidak hanya menghidupi keluarganya, tetapi juga memberi pekerjaan bagi empat temannya dan yang lain bila pekerjaan menuntut, sejak tahun 2001.
Hingga kini Tejo merasa teman-temannya, mulai dari seniman, rohaniwan, hingga anak jalanan, sebagai guru paling berharga karena dari mereka ia mempelajari banyak hal seperti teknik hiburan, pelayanan terhadap konsumen, hingga pemasaran.
Sumber : Kompas, Selasa, 18 Juli 2006
Jun 16, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment