Jonathan, Dendam Sang Juara
Oleh : Nasrullah Nara
Sabtu siang, 29 April 2006, suara tepuk tangan bergemuruh di Gedung Opera Almaty, Kazakhstan. Decak kagum tertuju pada dereten lima pelajar China yang berjalan menuju panggung untuk menerima kalungan medali emas dari Presiden Olimpiade Fisika Internasional Waldemar M Gorskowski.
Itu terjadi dalam acara penutupan Olimpiade Fisika Asia 2006, di saat lima pelajar China yang ikut lagi-lagi semuanya meraih medali emas. Di tengah sorak-sorai hadirin atas dominasi Negeri Tirai Bambu yang selama ini punya tradisi juara pada ajang itu, ada dendam membuncah di hati Jonathan Pradana Mailoa (17).
Mata Jonathan menatap ke panggung. Siswa SMA Kristen Penabur 1 Jakarta itu bertekad dan berucap di dalam hati, "Tunggu tahun depan, akan kubuktikan bahwa Indonesia tak selamanya di bawah bayang-bayang China."
Jonathan saat itu hanya sempat meraih medali perak. Di antara sesama pelajar Indonesia yang dikirim ke ajang itu, Jonathan bahkan kalah bersaing dengan dua rekannya yang meraih emas, yakni Pangus Ho (SMA Kristen Penabur 3 Jakarta) dan Irwan Ade Putra (SMA Negeri 1 Pekanbaru).
Momentum "balas dendam" yang dinanti-nantikan Jonathan tak lain adalah Olimpiade Fisika Asia yang dijadwalkan berlangsung April 2007 di Shanghai, China. Bagi Jonathan, akan ada kebanggaan plus jika mampu merontokkan dominasi pelajar China dalam ajang adu nalar di negerinya sendiri.
Di telinganya terngiang-ngiang oleh tekad yang disuarakan pembina Tim Olimpiade Fisika Indonesia, Yohanes Surya, yang dilontarkan dengan nada guyon: "Agar lebih diakui oleh dunia, kita harus bisa menggulung naga di kandangnya sendiri." Naga yang dimaksud adalah China. Harap maklum, lima tahun terakhir, dalam sejarah penyelenggaraan olimpiade fisika—baik skala Asia maupun internasional—China selalu tak lepas dari posisi teratas.
Terbalas lebih dini
Rupanya rasa penasaran pada diri Jonathan tak perlu bersemayam sampai menunggu waktu setahun. Tanggal 8-16 Juli lalu, putra sulung pasangan Edhi Mailoa dan Sherlie Darmawan itu benar-benar berhasil membuktikan bahwa Indonesia bisa mengungguli China.
Dalam Olimpiade Fisika Internasional yang berlangsung di Nanyang Technological University, Singapura, Jonathan tak sekadar meraih medali emas, tetapi juga merebut gelar The Absolute Winner setelah mencatat nilai tertinggi dalam ujian teori dan eksperimen. Dalam ujian teori dan eksperimen, Jonathan meraih nilai 29,7 dan 17,10, lebih tinggi daripada nilai saingan utamanya dari China, Yang Suo Long, yang mencatat 29,6 (untuk teori) dan 16,45 (eksperimen).
Atas prestasinya mengalahkan 385 siswa dari 84 negara, remaja kelahiran 20 September 1989 itu sekaligus dinobatkan sebagai The Best ASEAN Student dan The Man of The Year dalam bidang fisika.
Bagi Indonesia sendiri, inilah kali pertama predikat juara dunia diraih sejak aktif mengirimkan tim ke Olimpiade Fisika Internasional tahun 2003. Catatan prestasi tim Indonesia kali ini juga terbilang makin bagus. Dari lima pelajar yang diikutkan, empat di antaranya meraih emas. Biasanya, paling tinggi cuma tiga emas.
Kali ini, selain Jonathan, tiga lainnya adalah Irwan Ade Putra (SMA Negeri 1 Pekanbaru), Andy Octavian Latief (SMA Negeri 1 Pamekasan), dan Pangus Ho (SMA Kristen 3 Penabur Jakarta). Adapun Muhammad Firmansyah Kasim (SMP Islam Athirah Makassar) meraih medali perak.
Dalam peta percaturan olimpiade sains dunia, prestasi spektakuler yang diraih anak-anak itu dengan sendirinya membuat Indonesia semakin disegani. Indonesia, Amerika Serikat, dan Korea sama-sama meraih empat medali emas. Taiwan kebagian tiga emas.
Dari sisi jumlah medali, China memang lebih unggul dari 85 negara peserta karena kelima pelajar mereka semuanya meraih emas. Namun, dari sisi nilai "karat" emas, Indonesia lebih unggul dari semua negara peserta.
Adalah wajar jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkenan menerima langsung mereka di Istana Merdeka, setelah disambut bagai pahlawan di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Orangtua para pelajar itu juga mendapat kehormatan untuk hadir di Istana.
Ibunda Jonathan, Sherlie Darmawan, yang ikut menyambut kedatangan tim di bandara, sempat terenyak ketika menerima informasi bahwa dirinya pun bersama suami, Edhi Mailoa, turut diundang ke Istana.
"Ini sebuah penghormatan bagi Jonathan dan keluarga kami yang tak mungkin terlupakan," ungkapnya. Untuk memenuhi aturan protokoler, ibu yang mengaku karyawati sebuah perusahaan swasta tersebut terpaksa meminjam jas blazer dari seorang guru.
Buah kerja keras
Seperti memahami ilmu padi, makin berisi makin merunduk, Jonathan sama sekali tidak membusungkan dada ketika diajak bercerita tentang keberhasilannya itu. Suaranya yang terkadang lirih—karena memang dia seorang pendiam—sangat seirama dengan dengan pribadinya yang rendah hati.
"Puji Tuhan, ini semua tak lepas dari gemblengan para pembina dan pendamping selama pemusatan latihan. Dan, saya kira tak kalah pentingnya adalah doa Mama dan Papa," ungkap Jonathan merendah.
Selain Yohanes Surya yang senantiasa menyuntikkan spirit, dia sebutkan sejumlah nama yang tak kalah perannya dalam menggodok mental dan nalar selama bergabung dalam pelatihan sejak September 2005. Nama-nama tersebut antara lain Edi Gunanto, Rahmat Adi Widodo, Widia Nusiyanto, dan Andika Putra.
Andika tak lain adalah peraih medali emas pada Olimpiade Fisika Internasional tahun 2005 di Salamanca, Spanyol. Andika sebetulnya masih tercatat sebagai siswa SMA Sutomo 1 Medan, tetapi ia memilih "pensiun" dini guna menumbuhkan motivasi dan menularkan pengalaman berlomba kepada adik-adiknya. Andika diminta bantuannya untuk mendampingi tim Indonesia ini.
Berbagai buku analisis soal fisika yang setara dengan program magister doktor Massachusetts Institute of Technology maupun dari universitas-universitas di Berkeley, Princeton, Moskwa, dan India menjadi "makanan" sehari-hari, kecuali Sabtu-Minggu. Jonathan hanya bisa menyalurkan hobinya main games dan play station di luar jadwal belajar pukul 08.00-17.00.
Motivasi yang kuat memang tercermin dari tekad Jonathan. Ketika mengerjakan tiga nomor soal teori dan tiga soal eksperimen, yang terpikir olehnya bukanlah meraih medali emas, tetapi bagaimana berbuat yang terbaik untuk mengaktualisasikan diri.
Alhasil, dendam itu membuahkan gelar juara dunia yang mengangkat harkat bangsa ini di tengah sulitnya bangkit dari krisis multidimensi. Prestasi itu juga bagai penyejuk dan penghibur di tengah maraknya bencana di Tanah Air.
Sumber : Kompas, Rabu, 19 Juli 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment