Jun 18, 2009

Susiawan Memfasilitasi Pendidikan Lewat Seni

Susiawan Memfasilitasi Pendidikan Lewat Seni
Oleh : Yenti Aprianti

Profesinya unik. Ia bekerja sebagai artist facilitator yang mendampingi guru kelas di lebih dari 20 sekolah di Toronto, Kanada. Tugasnya mempermudah guru memberi pemahaman kepada murid tentang berbagai materi pelajaran melalui seni.

Susiawan (50) mengajak murid-muridnya belajar sambil memainkan wayang atau gamelan. Dalam pelajaran sosial, misalnya, guru kelas meminta Susiawan membantunya mencapai target agar para siswa mampu menerapkan nilai-nilai kerja sama.

Susiawan mengelompokkan murid di kelas dan ditugasi membuat wayang, menulis naskah, dan mempertunjukkannya. Tentu saja yang mereka buat bukan wayang tradisional, tetapi wayang berbentuk kupu-kupu, manusia boneka, dan lainnya.

Demi murid-muridnya, Susiawan juga pernah kembali ke Indonesia untuk berguru memainkan gamelan di Bali. Ia membeli seperangkat gamelan tidak terpakai di gudang tua dan membawanya ke Kanada.

Susiawan menceritakan bahwa di Bali, orang bermain gamelan dengan bunga-bunga bertaburan di sekitarnya. Murid-muridnya segera berlari ke taman, memetik bunga-bunga, lalu duduk kembali di depan gamelan. Sambil mencium wangi bunga, mereka memainkan gamelan.

Seperti itulah pendidikan bagi anak-anak yang diimpikan Susiawan. Anak-anak bisa belajar dengan gembira, dekat dengan alam, dan menggunakan seluruh inderanya saat belajar.

Di Kanada ia mengajar di sekolah tingkat dasar hingga menengah. Biasanya usia muridnya 4-15 tahun. Satu kelas berisi 20 murid.

Laris dipesan

Saat mengajar, Susiawan bercerita tentang seni tradisional Indonesia. Murid-muridnya antusias untuk mengenal Indonesia. Setiap kali Susiawan pulang mudik dari Indonesia, murid- muridnya berseru, "Ayo… ayo, ceritakan tentang kampungmu," tiru Susiawan, yang sudah menjalani profesinya di Kanada selama 10 tahun.

Awalnya sebagian besar muridnya mengira Indonesia adalah negara miskin yang menakutkan. Namun, Susiawan mengubah kengerian itu menjadi kekaguman. Ia memotret gemerlap kehidupan metropolitan sekaligus sisi-sisi kearifan lokal Indonesia.

Ia pernah mengikuti dan memotret pedagang anglo atau kompor tanah liat. Pedagang itu mengatakan, ia tetap menjual anglo yang murah untuk masyarakat yang tidak mampu. Ia juga bersyukur jadi pedagang anglo sehingga bisa berjalan berkeliling kota setiap hari dan menjadikan tubuhnya sehat.

Kesederhanaan dan spiritualisme pedagang anglo tidak pernah terlintas di benak murid- muridnya yang terbiasa hidup individualistis sebagai ciri masyarakat negara industri.

Kanada selalu mengingatkannya pada Indonesia. Di mata Susiawan, industri berkembang sangat pesat di negeri agrarisnya. "Akibatnya, ketidakadilan tumbuh, korupsi merajalela. Indonesia seperti benang kusut yang sulit diuraikan oleh kaum intelektual sekalipun," kata Susiawan, yang sering membayangkan kelak Indonesia menjadi negeri seperti Kanada.

Anak jalanan

Di masa kecil Susiawan, anak seorang tentara ini pernah menjadi "bapak" asuh burung-burung yang tinggal di pohon dekat rumahnya. Tiap hari ia memberi makan burung-burung kecilnya hingga mereka dewasa, lalu terbang meninggalkannya.

Ketika kuliah tingkat tiga di Jurusan Seni Grafis Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB sekitar tahun 1978, Susiawan kembali menjadi pengasuh, kali ini bukan pengasuh anak burung, tetapi anak-anak kampung dan anak jalanan.

Ia membangun lembaga swadaya masyarakat Yayasan Anak- Anak Merdeka (YAAM) di Cisitu Lama, Bandung. LSM tersebut memfasilitasi anak-anak untuk belajar melalui seni. YAAM merupakan LSM bidang pendidikan pertama di Indonesia.

Setiap kali mencari kontrakan, lelaki asal Magelang ini mencari lokasi rumah yang dekat dengan sungai dan taman agar anak-anak bisa belajar dengan gembira. Ia juga mendidik anak-anak menjadi fasilitator bagi teman-temannya.

Kegiatannya ini berlangsung hingga 1991. Ia tak hanya membina anak-anak di Bandung, tetapi juga di Solo, Yogyakarta, Irian, dan Sumatera Selatan.

Sekitar tahun 1992-1995, ia diajak sebuah lembaga yang didukung Swiss Development Corporation (SDC) untuk menginformasikan pendidikan lingkungan kepada anak-anak.

"Pemerintah Kota Cirebon meminta saya untuk membuat poster lingkungan untuk anak-anak, tapi saya tolak. Saya malah membuat workshop bagi anak-anak," kata Susiawan.

Dalam rangkaian workshop, anak-anak mengkritik Kota Cirebon yang selokannya kotor dan banyak nyamuk. Kegiatan ini menarik perhatian pihak SDC dan beberapa peneliti. Salah satunya peneliti asal Kanada, Susan Allen, yang datang jauh- jauh ke Cirebon.

"Pada Susan saya katakan, jika ingin meneliti, dia tidak bisa hanya mewawancarai saya, tetapi harus ikut kegiatan kami," tuturnya.

Susiawan berhasil menjadikan Susan sebagai sukarelawan selama dua tahun sekaligus menjadi kekasih. Tahun 1995, mereka menikah dan pindah ke Kanada.

"Semua di luar skenario hidup saya," kata Susiawan sambil tertawa. Di awalnya, lelaki yang masih tercatat sebagai warga negara Indonesia ini sempat ingin kembali ke Indonesia. Untung, kegiatannya sebagai artist facilitator sukarelawan di Toronto Community Center membantunya mengatasi kerinduan. Ia banyak mempelajari multibudaya masyarakat imigran yang banyak datang ke Kanada.

Dua tahun kemudian, lelaki yang masih menanti kehadiran anak kandung ini menjadikan artist facilitator sebagai profesi. Istrinya yang penari dan instruktur yoga sering membantunya dalam berbagai kegiatan seni.

Sumber : Kompas, Selasa, 18 April 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks