Jun 18, 2009

Denda Katniwati : Katniwati Memandu Wisata Rinjani

Katniwati Memandu Wisata Rinjani
Oleh : Khaerul Anwar

Dari penampilan fisiknya, orang tidak mengira perempuan usia 26 tahun itu kerap mendaki salah satu gunung tertinggi di Indonesia. Tinggi tubuhnya sekitar 150 cm, badannya agak kurus namun padat. Denda Katniwati alias Katni, perempuan itu, memiliki profesi yang kurang lazim bagi perempuan di daerahnya, yakni menjadi pemandu Gunung Rinjani (3.726 meter).

Sudah dua bulan ini saya istirahat untuk memulihkan tenaga setelah melahirkan," tutur ibu tiga anak, warga Dusun Lokok Aur, Desa Karang Bajo, Kecamatan Bayan, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, ini.

Katanya, pada usia 12 tahun dia sudah empat kali mendaki Gunung Rinjani. Waktu tempuh pendakiannya sama dengan laki-laki pemandu, yaitu delapan jam dari pintu masuk ke Segara Anak, kaldera Rinjani.

Setelah putus sekolah kelas III Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 5 Mataram tahun 1998 karena menikah, dia lalu aktif jadi pemandu. Kebetulan pula ayahnya, Raden Gedarip, tetua adat tradisi wetu telu di Desa Bayan, yang memiliki penginapan di Desa Senaru sebagai pintu keluar-masuk pendakian Gunung Rinjani.

Karena tugasnya itu dia selalu siap menjawab permintaan tamu, perempuan khususnya, yang ingin ditemani mendaki entah sampai Segara Anak atau ke puncak Rinjani yang telah dicapainya puluhan kali. Tahun 2004 Katni mendaki Rinjani dua kali, dan tahun 2005 empat kali, dua kali di antaranya sampai puncak gunung itu. Sisanya, hingga di Danau Segara Anak.

Sejak tahun 2003 dia tergabung dalam Women Guide yang dibentuk Rinjani Trek Management Board (RTMB), lembaga yang mengoordinasi kegiatan pariwisata di Desa Senaru dan sekitarnya. Padahal, tugas perempuan pemandu umumnya hanya memandu wisatawan di seputar desa, seperti kompleks perkampungan penduduk, melihat kesibukan petani di sawah, air terjun, dan sejenisnya.

Katni punya tugas ganda. Selain keliling kampung, dia juga harus naik gunung jika ada tamu yang minta ditemani. Katni harus siap memenuhi permintaan itu, apalagi dialah perempuan pemandu yang jam terbang pendakiannya paling tinggi. Sampai sekarang tinggal empat perempuan pemandu dari semula 15 orang yang dilatih RTMB. Jumlah itu menyusut karena ada yang menikah atau jadi buruh migran ke Arab Saudi, Malaysia, dan Brunei Darussalam.

"Asalkan saya siap secara fisik, tidak ada alasan menolak," ucap Katni. Malahan, saat anak ketiganya masih dalam usia kandungan empat bulan, Katni aktif mengawal perempuan bule naik-turun gunung.

Membekali diri

Menjadi pemandu, menurut Katni, perlu banyak bicara, mengingat para pendaki ingin tahu banyak seputar obyek wisata yang dikunjungi. Untuk itu Katni membekali diri dengan pengetahuan adat dan tradisi, lingkungan hidup, potensi flora, fauna, cerita rakyat, vulkanologi, dan lainnya.

"Yang paling disukai wisatawan adalah adat dan tradisi penduduk," katanya. Misalnya, bangunan pelengkap tempat tinggal di halaman rumah seperti lumbung berfungsi sebagai wadah menyimpan logistik seperti beras dan berugak (sejenis bale-bale) yang dipakai tempat menerima tamu maupun ruang keluarga.

Terkadang, dalam perjalanan pergi-pulang mendaki, wisatawan melihat warga tengah menyadap air enau. Katni pun menjelaskan, air pohon enau itu bahan baku gula merah, lalu membawa tamunya melihat proses pembuatan gula aren.

"Mereka kian tertarik, banyak bertanya. Apalagi saya bilang bahwa fisik jadi lebih prima untuk mendaki kalau makan gula aren," tutur Katni.

Itu senangnya. Susahnya, ia pernah makan lumut karena kehabisan makanan, kewalahan mengimbangi tamu yang kemampuan berjalannya lebih cepat. Atau sakit perut karena tidak sempat makan sebelum mendaki.

Contohnya, tahun 1995 Katni mengawal grup turis lelaki dan perempuan dari Amerika Serikat dan Belanda. Dia bersama tamu perempuannya berjalan lebih dulu disusul kelompok porter di belakang.

Sesudah berjalan berjam-jam, Katni istirahat di pos yang tersedia. Di situ dia menangis kesakitan walau salah seorang tamu memberinya beberapa buah stroberi sebagai pengganjal perut. Tak lama kemudian seorang pendaki yang turun gunung memberinya sebungkus mi instan. Ketika sedang mengumpulkan kayu bakar dan mencari wadah untuk memasak, mi dibawa kabur kawanan monyet.

Jiwa petualang Katni mungkin bisa meluruskan pandangan sinis tentang perempuan pemandu yang di mata banyak pihak dianggap bisa melayani kebutuhan "luar-dalam" bagi tamunya. "Pengalaman saya, jika tamu (lelaki) memegang tangan saja, apalagi menggandeng, kalau saya menghindar, mereka berhati-hati untuk tidak mengulanginya," tuturnya.

Masa ramai pendakian pada Juli-Agustus. Meski di luar itu, bahkan saat musim cuaca buruk, tidak sedikit pula turis "bandel" yang mendaki Rinjani.

Walaupun kunjungan wisatawan lagi ramai, etika tetap dijaga oleh Katni, termasuk dalam hal upah. Katni yang mengaku mendapat penghasilan rata-rata Rp 1 juta sebulan saat masa ramai kunjungan, dengan senang hati akan menerima tip dari tamu. Tetapi, dia tak pernah minta uang tambahan kepada tamunya.

Baginya, minta tambahan upah pada tamu akan menimbulkan citra buruk buat pariwisata di sini. Ada cara yang lebih santun, yaitu "Jasa yang kita berikan dapat memberi kesan yang baik, biar tamu mau datang lagi ke sini," katanya.

Sumber : Kompas, Senin, 17 April 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks