Jun 18, 2009

Kamardi Rais Datuk Panjang Simulie : Datuk Simulie, Mencatat Sejatah yang Tercecer

Datuk Simulie, Mencatat Sejarah yang Tercecer
Oleh : Yurnaldi

Lewat buku Mesin Ketik Tua, Haji Kamardi Rais Datuk Panjang Simulie mencatat kekayaan sejarah yang jarang ditemukan di buku-buku sejarah lain. Sejumlah catatan sejarah yang tercecer ia ungkap di buku tersebut.

Dalam acara peluncuran dan bedah buku yang digelar Komunitas Penggiat Sastra Padang (KPSP), 11 Maret lalu, para undangan tetap tinggal duduk ketika acara usai. Orang memang menaruh hormat kepada Datuk Simulie, Pemangku Adat Minang yang disegani ini.

Dalam bukunya ini ia, misalnya, menceritakan mengenai Bung Hatta. Ketika kita tidak melihat dalam buku-buku bacaan lain tentang hubungan Hatta dengan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), atau bagaimana peranan Bung Hatta dalam PDRI, Datuk Simulie memberikan jawabannya, yang didasarkan catatan lebih dari 30 tahun lalu.

Ketika itu ia aktif dalam dunia kewartawanan dan mewawancarai Mr Sjafruddin Prawiranegara, pemimpin PDRI (1948-1949) dan pemimpin Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia atau PRRI pada tahun 1958-1961.

"Ketika saya tanya, ia mengakui bahwa ia tidak pernah menerima mandat dari Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Yaitu mandat yang memberi kuasa kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara untuk membentuk pemerintah darurat di Sumatera (PDRI). Waktu itu Sjafruddin sebagai Menteri Kemakmuran RI sedang berada di Bukittinggi," papar Datuk Simulie.

Menurut Sjafruddin, seperti dikutip Simulie, strategi dan konsep PDRI sebenarnya adalah konsep Bung Hatta. Situasi Tanah Air ketika itu semakin gawat dan ada tanda-tanda bahwa perundingan RI-Belanda akan menghadapi jalan buntu.

Menurut konsep Bung Hatta, Presiden Soekarno akan memimpin pemerintahan Indonesia di luar negeri. Hatta akan memimpin pemerintah darurat di Sumatera. Sementara Dr Sukiman, Kiai Masykur, Susanto, Jenderal Sudirman, Simatupang, dan AH Nasution akan tetap memimpin gerilya di Pulau Jawa.

Sepulang dari Tapanuli, November 1948, Bung Hatta bilang, "Sjaf! Keadaan semakin gawat. Nada-nadanya Belanda mau mengangkangi Perjanjian Renville. Saya diminta Bung Karno kembali ke Yogya. Sjaf tinggal di sini dulu. Konsep kita kan sudah ada. Tinggal kita melaksanakan saja. Nanti saya datang lagi."

Menurut Datuk Simulie, apa yang dinamakan strategi Hatta ini bak kato urang Minang, "Bagi Sjafruddin Prawiranegara sudah dalam paruik penghulu."

Buku berjalan

Datuk Simulie genap 73 tahun pada 12 Maret lalu. Dalam usia seuzur itu, ayah 11 anak ini memiliki daya ingatan yang tajam, dan sampai sekarang masih terus menulis.

Datuk Simulie hanya mengenyam pendidikan hingga sekolah lanjutan tingkat atas. Dari ayahnya, H Rais Datuk Machudung yang dia sebut sebagai "politikus lokal", ia banyak mendapatkan dorongan untuk belajar tentang hidup, termasuk tentang masalah politik.

Ia kini sering disebut-sebut sebagai "buku berjalan". Kalau bercerita tentang sesuatu, kita mendengarkan penjelasannya bagai membaca buku. Akan tetapi, penjelasannya tetap lebih menarik dari buku karena hampir selalu ia bercerita sembari menirukan gaya, intonasi, dan vokal seseorang.

Lebih dari itu, sebagai Pemangku Adat Minang, Datuk Simulie adalah orang yang selalu gelisah dan prihatin akan kondisi adat dan budaya Minangkabau. Ia akan cepat tanggap setiap ada pembicaraan menyangkut adat dan ranah Minangkabau. Berkat mesin ketik tua miliknya, berbagai gagasan, paparan, ulasan, dan komentarnya masih sering dibaca di media cetak terbitan Sumbar.

Bicara soal adat Minang, pidato adat yang kaya dengan pantun-pantun, petitih-petatah, dan sebagainya, Datuk Simulie yang juga salah seorang penggagas dan pendiri Lembaga Kerapatan Adat dan Alam Minangkabau (LKAAM) 40 tahun lalu sangat menguasai. Karena itu, ia dipercaya untuk kedua kalinya menjadi Ketua Umum Pucuk Pimpinan Lembaga Kerapatan Adat dan Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat periode 2005-2010.

Sampai sekarang, satu keinginan Datuk Simulie yang terus disuarakan sejak puluhan tahun lalu adalah bagaimana merevisi pasal hak guna usaha (HGU) dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Alasannya, Minangkabau punya warisan budaya yang mengatur hukum adat soal tanah ulayat atau pusako tinggi di nagari-nagari (pemerintahan terendah di Sumbar).

"Tanah di Minangkabau adalah lebensraum (ruang untuk hidup) dan tempat ia berkubur. Tanah adalah milik komunal yang bukan saja untuk dimanfaatkan oleh orang yang hidup sekarang, tetapi juga diperuntukkan bagi generasi berikutnya. Karena itu, tanah ulayat harus diwariskan secara utuh kepada generasi pelanjutnya," papar Datuk Simulie pula.

Dalam usianya yang 73 tahun, Datuk Simulie masih kuat masuk kantor setiap hari, bahkan menghadiri dan memberikan sambutan pada berbagai acara.

Sebagai wartawan tiga zaman, mantan Pemimpin Redaksi Harian Semangat di Padang, mantan Ketua PWI Cabang Sumbar, dan pernah menjadi anggota DPRD Sumbar, Datuk Simulie masih sering diundang menyampaikan pemikiran dan gagasan dalam berbagai aspek kehidupan. Termasuk tampil menjadi narasumber dalam berbagai forum diskusi, seminar, serta workshop tingkat nasional dan internasional di berbagai kota di Indonesia dan luar negeri.

"Satu hal yang sangat berjasa dalam hal itu adalah mesin ketik tua saya, yang sejak tahun 1970-an sampai sekarang masih saya pakai. Bagi saya, bunyi gemerincing mesin ketik tua tersebut telah ikut memberikan inspirasi untuk menulis artikel by line di berbagai media cetak," ungkapnya.

Sumber : Kompas, Rabu, 19 April 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks