Jun 5, 2009

Susiani Purbaningsih : Susiani, Sinergisme Tanaman Obat

Susiani, Sinergisme Tanaman Obat
Oleh : Amir Sodikin

"Pengetahuan obat tradisional landasannya tradisi. Selama tradisi dipegang, tak akan ada efek buruk. Saya meneliti, bukan karena ilmu saya melebihi nenek moyang. Saya justru belajar dari mereka. Yang saya lakukan adalah mencari pembenaran."

Hal itu disampaikan Dr Susiani Purbaningsih DEA, peneliti tanaman obat, yang juga Sekretaris Program Studi Biologi Pascasarjana Universitas Indonesia.

"Senyawa kimia apa saja yang berkhasiat sehingga dapat memberi alasan ilmiah mengapa nenek moyang menggunakan tanaman itu sebagai obat," paparnya lagi.

Perjalanan para peneliti sampai kini belum mendapatkan kebenaran mutlak pada kadar berapa senyawa-senyawa itu bersinergi, dan bisa menjadi obat. Sinergi itu masih misteri dan terus diteliti. Susiani, salah satu biolog yang berusaha belajar memahami sinergisme itu.

Merasa tak cukup dengan laboratorium di kampus, dia membangun laboratorium di rumah dengan biaya sendiri. Laboratorium ini bahkan lebih memadai dibandingkan dengan laboratorium di kampus. Karena itu, banyak mahasiswa memanfaatkan laboratorium pribadinya.

"Labnya kecil, tetapi cukup untuk menjalankan penelitian, terutama kultur jaring," kata Susiani yang sedang meneliti tanaman obat dan kloning anggrek.

Pekarangan rumahnya di daerah Cimanggis, Depok, Jawa Barat, dipenuhi anggrek dan tanaman obat yang diberi label nama agar bisa menjadi tempat belajar masyarakat. Selain mendalami tanaman obat, Susiani yang hobi anggrek juga ahli dalam bidang kloning anggrek.

Walaupun mengenyam pendidikan S-2 dan S-3 di Universitas Montpellier II Perancis, ahli fisiologi tumbuhan dan kultur jaring ini justru kembali menggali ide-ide penelitian dari pengetahuan tradisional nenek moyang. Sesuatu yang masih misteri bagi dunia ilmiah.

Bersama para mahasiswa, ia larut dalam penelitian pegagan (Centella asiatica) dan kemuning (Murraya paniculata). Pegagan mengandung asiaticoside, thankunside, madecassmoside, madasiatic acid, brahmocide, centellose, dan brahmic acid.

Salah satunya berkhasiat antikeloid dan dipercaya sebagai gingko biloba-nya Indonesia karena bisa menghambat kerusakan memori akibat penuaan dan memperbaiki sistem saraf. Autis juga dipercaya bisa disembuhkan dengan pegagan.

Kemuning biasa digunakan sebagai penghalus kulit, mengobati keputihan, dan peluruh lemak. Kemuning mengandung berbagai senyawa, di antaranya cadinene, methyl-anthranilate, bisabolene, geraniol, carene-3, eugenol, citronellol, paniculatin, coumurrayin, tanin, dan methyl-salicylate.

Meneliti sinergisme

Masyarakat banyak yang tidak tahu beda antara penggunaan tanaman obat racikan sendiri (simplicia) dan ekstraksi. Dulu, nenek moyang hanya meracik selembar daun pegagan atau kemuning, tetapi bisa menyembuhkan. Mengapa bisa berkhasiat padahal jumlahnya sedikit?

Ternyata, khasiat tumbuhan tak ditentukan satu senyawa saja. "Ada sinergisme dan antagonisme, tak hanya satu dan tidak harus dalam jumlah banyak. Itulah konsep keseimbangan dalam tanaman obat," ungkap Susiani.

Masing-masing zat bersinergi positif, walaupun sedikit tetapi kuat. Ini yang seharusnya menjadi perhatian peneliti agar jangan hanya terpaku pada peran satu senyawa. Berbeda dengan hasil ekstrak, yang terbawa hanya sebagian senyawa sehingga bisa kehilangan sinergisme.

"Pembuatan ekstrak harus dilakukan secara cermat, dan masyarakat harus diberi tahu sampai berapa dosisnya untuk digunakan sebagai obat. Kalau senyawa yang digunakan berlebih, bisa merugikan," papar Susiani.

Ia menambahkan, zat pengekstraknya jenis apa, juga harus disampaikan kepada masyarakat. Begitu pula tentang cara penggunaannya, apakah harus dengan resep dokter atau tidak. Ini mengingat setiap senyawa punya peran dan tak perlu banyak jumlahnya.

Kepercayaan masyarakat terhadap obat tradisional kini turun, dan lebih memercayai obat kimia. Padahal, keanekaragaman hayati Indonesia kaya, dan bisa jadi tindakan preventif untuk mencegah sakit.

Menurut Susiani, di tingkat pengambil kebijakan, tak ada upaya serius mengangkat pamor tanaman obat. Fenomena ini bisa dipahami karena industri farmasi modern telah menjadi kekuatan luar biasa. Negara sedang berkembang dibuat tak berdaya terhadap ketergantungan obat kimia.

Kepercayaan justru tumbuh di negara maju. Mereka yang tak memiliki sumber hayati melimpah justru agresif meneliti, seperti Jerman, Jepang, dan Italia. Dengan berbagai cara, mereka mendapatkan sumber hayati dari negara tropis.

Pengetahuan tradisional dan sumber hayati banyak dibajak negara lain. Meniran, misalnya, salah satu senyawanya sudah dipatenkan Jepang.

Buah kapulogo sudah lama diteliti Perancis. "Tahun 1987 saya kuliah di sana, dan mereka sudah meneliti kapulogo yang bijinya didatangkan dari Indonesia," tutur Susiani.

Edukasi kembali

Generasi sekarang sudah tak memiliki pengetahuan tanaman obat karena miskinnya edukasi soal itu. "Di pasar, saya sering melihat jamu-jamu dijual dalam bentuk yang salah. Sedih saya melihatnya," kata Susiani.

Masyarakat harus mendapatkan informasi cara mengeringkan yang benar, jangan sampai bahan aktifnya rusak. "Tumbuhan itu ada yang tahan terhadap panas, ada yang tidak. Pengeringan bisa menggunakan suhu 38 derajat Celsius, tetapi waktunya sebentar," tutur Susiani.

Di dalam bagian tumbuhan ada zat-zat yang tak boleh masuk menjadi obat. Biji buah mahkota dewa, misalnya, tak boleh diikutsertakan kecuali oleh orang yang tahu. Bijinya bersifat toksik dan mematikan jika digunakan berlebihan.

Harus juga dimengerti, ada tumbuhan tertentu yang tidak dianjurkan untuk orang tertentu, misalnya sedang hamil dan tekanan darah rendah. "Hal seperti ini harus disosialisasikan pemerintah kepada masyarakat," kata Susiani.

Dibandingkan dengan China dan India, dukungan pemerintah untuk memfasilitasi masyarakat agar sehat dengan tanaman yang dimiliki sangat kurang. Dulu, ada penggalakan apotek hidup dan tanaman obat keluarga atau toga.

Jika masyarakat memiliki pengetahuan cukup, pascabanjir misalnya, seharusnya warga korban banjir tak terlalu bergantung pada datangnya bantuan obat. "Mereka cukup memanfaatkan tanaman yang ada, misalnya jika terkena gatal bisa menggerus daun sambiloto dan brotowali," kata Susiani.

Penyakit TBC pun bisa sembuh dengan sambiloto yang dikenal bagus antibiotiknya. Batuk bisa sembuh dengan daun saga, daun karuk, dan kencur. Flu bisa hilang dengan adas, jahe merah, dan temulawak. Rematik bisa diobati dengan tanaman meniran, sidaguri, dan sambiloto. Asam urat juga bisa diatasi dengan sidaguri, anting-anting, dan meniran. "Resepnya sederhana, dan jika dicoba untuk pengobatan preventif, maka masa produktif warga akan lebih tinggi. Bangkitkan kembali sehat sebelum sakit," ujar Susiani.

Diperlukan sinergisme antara peneliti, pemerintah, dan media massa guna membangkitkan pamor tanaman obat. Satu pihak tak bisa mendominasi peran, dan pihak lain tak boleh absen, itulah sinergisme seperti yang diajarkan tanaman.

Sumber : Kompas, Senin, 9 April 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks