Jun 5, 2009

Gilles ED de Neve : Gilles, "dokter" Gitar dari Bandung

Gilles, "Dokter" Gitar dari Bandung
Oleh : Lis Dhaniati

Ketika kecil, Gilles ED de Neve sering mencuri kesempatan memainkan gitar milik sang kakak. Kini, kecintaan pada gitar membuat Gilles—baca Sils— terhitung sebagai pembuat gitar elektrik maupun akustik yang andal. Dia juga menjadi "dokter" tempat rujukan "periksa" sekaligus konsultasi berbagai hal tentang gitar.

Ini pasien-pasien saya, ujar Gilles menunjuk beberapa gitar yang menunggu untuk "diobati". Seperti manusia, "penyakit" gitar juga macam-macam. Mulai "sakit" fisik, seperti patah dan retak, hingga "sakit organ dalam" seperti karat dan kotor pada beberapa bagian.

"Banyak gitaris yang jorok. Gitarnya jarang dibersihkan sampai detail. Padahal, kotoran-kotoran yang menempel itu akan berpengaruh pada suara," kata Gilles yang berdarah Belanda.

Dengan keahliannya, Gilles merupakan satu dari sedikit luthier di Indonesia.

"Beberapa waktu lalu saya hitung, hanya ada 30-an luthier di Indonesia," kata Gilles. Luthier, kata Gilles, adalah orang yang ahli membuat dan menangani alat musik dawai.

"Saya tidak hanya menangani gitar, tetapi juga biola, cello, bahkan piano," ujar Gilles di Jalan Taman Cibeunying Selatan, Bandung, yang merupakan rumah sekaligus bengkel kerjanya.

Beda dengan gitar pabrikan yang standar, luthier memproduksi gitar pesanan, yakni sesuai dengan keinginan pemesan. Sebab, sebagai properti pribadi, banyak gitaris ingin alat musik itu juga mencerminkan pribadinya.

Untuk berkonsultasi dan reparasi, empunya gitar tak harus datang ke bengkel Gilles.

"Banyak juga pemesan yang hanya berkomunikasi lewat telepon atau e-mail. Nanti, gitar pesanan atau hasil reparasi diantar perusahaan jasa pengiriman," ujar Gilles.

Di sela kesibukannya, Gilles juga menjadi clinician di situs gitaris.com. Tugasnya adalah menjawab pertanyaan dari pengunjung situs itu seputar gitar.

Sebagai "dokter", Gilles benar-benar menguasai anatomi tubuh gitar. Padahal bisa dibilang, ilmu tentang gitar dipelajarinya secara otodidak. Pemegang sabuk hitam taekwondo ini memang tak malas belajar. Penguasaan bahasa Inggris dan Belanda membuat Gilles lebih leluasa mengakses informasi.

"Buku-buku tentang gitar dalam bahasa Indonesia sangatlah terbatas," kata Gilles.

Dengan pekerjaannya sekarang, Gilles bisa mewujudkan cita-cita masa kecil. Yakni, bermain gitar setiap waktu.

"Sekarang, nyaris setiap saat saya memegang gitar. Baik gitar milik saya sendiri maupun gitar orang lain," tutur Gilles yang menyukai musik blues, tetapi bisa menikmati beragam jenis musik itu.

Kebiasaan kidal

Jauh sebelum menjadi "dokter" gitar, Gilles sudah menghabiskan banyak waktu untuk memainkan alat musik. Seusai sekolah dan menyelesaikan pekerjaan rumah, waktunya sering dihabiskan untuk menggeluti gitar.

Hanya saja, kebiasaan kidal membuat Gilles tak bisa memakai sembarang gitar. Saat usia belasan tahun, Gilles memesan gitar elektrik khusus pada seorang perajin di daerah Kopo, Bandung.

"Perajinnya minta waktu sebulan. Namun, setiap pulang sekolah, saya selalu ke tempat si perajin untuk melihat proses pembuatannya," kenang Gilles.

Dari situlah, ketertarikannya pada gitar semakin tebal. Kali ini tidak hanya untuk memainkan, tetapi juga mencoba membuatnya. Ini juga didukung kesukaannya pada pelajaran kerajinan.

Gilles muda pun mencoba-coba membuat gitar elektrik. Saat itu, ia sedang menempuh kuliah pada jurusan arsitektur Institut Teknologi Nasional, Bandung. Gitar hasil kerajinan tangan pertamanya masih ada hingga sekarang.

"Namun, hasilnya belum bagus. Saat itu, pengetahuan tentang gitar saya masih terbatas, sehingga kayunya dapat yang berat-berat," tutur Gilles yang juga melayani kursus gitar elektrik ini.

Hobi pada musik tak membuat kuliahnya terbengkalai. Sebelum akhirnya menjadikan kecintaan pada gitar sebagai profesi, Gilles sempat "taat" pada disiplin ilmunya. Bahkan, bersama temannya, ia menjalankan usaha jasa arsitektur.

Tahun 1999 menjadi titik balik profesinya. Selain krisis ekonomi, perusahaan jasa arsitekturnya memang keropos akibat cara pengelolaan yang dinilai tidak benar.

Presisi

Bersama adiknya, dia lalu memilih menekuni pembuatan gitar. Dibantu beberapa pekerja, Gilles mengusung nama Asian Guitar Labs yang sering disingkat agl—dengan huruf kecil.

"Sengaja saya pilih kata Asia untuk menunjukkan tujuan pekerjaan saya yang tidak hanya nasional, tetapi mengglobal," ucap Gilles.

Tujuan itu juga tercermin dari logo agl yang menggunakan huruf "l" menembus ke atas hingga tampak seperti desain yang masih mentah.

"Ini karena tujuan kami jauh tinggi ke atas, dan itu belum selesai, belum dicapai," ujar Gilles beralasan.

Gilles juga memilih menggunakan kata Labs yang merupakan kependekan dari laboratorium.

"Bagi saya, laboratorium tidak selalu berkaitan dengan zat-zat kimia," ucapnya.

Dua tahun lalu, usaha pembuatan gitarnya dikuatkan sebagai badan hukum, dengan nama PT Abadi Senigitar Indonesia Asia. Nama itu merupakan kepanjangan dari Asia.

Sekitar tujuh tahun sepenuhnya menekuni gitar, memantapkan eksistensi Gilles sebagai luthier. Gitarnya yang dikerjakan dengan presisi tinggi banyak diingini pehobi gitar. Namanya tak lagi asing di kalangan pergitaran Indonesia. Gitaris "/rif" Jikun, dan Dewa Budjana "Gigi" hanya dua dari banyak gitaris yang memakai gitar buatan Gilles.

Di tangannya, gitar serupa adibusana yang dibuat khusus sesuai dengan keinginan pemiliknya. Gilles juga sering "mengobati" gitar-gitar grup musik top Indonesia. Di antaranya, Gilles menyebut nama Peterpan dan Cokelat.

Kini, bersama beberapa luthier lain, Gilles sedang merintis pembentukan asosiasi perajin gitar Indonesia atau Apegi. Salah satu tujuannya adalah menyusun standardisasi produk gitar, menuju efisiensi dan peningkatan usaha.

"Saat ini belum ada standarnya. Dengan apresiasi produk yang masih rendah, orang sering menilai produk saya mahal. Padahal, harga itu muncul berdasar perhitungan berbagai komponen produksi," ujar Gilles yang mematok harga minimal Rp 8,5 juta per gitar.

Melalui asosiasi, Gilles juga berharap bisa mendapatkan kemudahan akses kredit modal.

"Selama ini, usaha seperti saya ini sulit mendapatkan modal, karena cashflow-nya rendah. Padahal, dengan perkembangan industri musik seperti sekarang, pembuatan gitar adalah salah satu usaha yang prospektif," tuturnya.

Sumber : Kompas, Selasa, 10 April 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks