Jun 2, 2009

Suryo Agung Wibowo : Suryo, Setitik Terang di Kegelapan

Suryo, Setitik Terang di Kegelapan
Oleh : Prasetyo Eko P

Barangkali, Suryo Agung Wibowo bakal menyesal jika ia masih meneruskan cita-citanya menjadi seorang pemain sepak bola. Lihatlah prestasi olahraga terpopuler di Nusantara itu, jeblok kalau tidak ingin disebut hancur.

Ha-ha-ha.... Kalau masih bermain sepak bola, mungkin saya tak bisa seperti sekarang. Tapi memang sudah jalan saya menjadi sprinter," kata Suryo, manusia tercepat di kawasan Asia Tenggara, saat ditanya mengenai cita-citanya menjadi pemain sepak bola sebelum "banting setir" menjadi sprinter.

Namun, warna sepak bola tetap terbawa saat Suryo berlaga di trek. Selebrasi mengisap ibu jari tangan, yang biasa dilakukan para pemain bola saat mencetak gol, menjadi ciri khas Suryo saat dia merajai trek pendek SEA Games 2007 di Stadion Peringatan HUT Ke-80 Raja Bhumibol Adulyadej, Nakhon Ratchasima, Thailand.

Dua kali Suryo melakukannya. Pertama, saat ia menobatkan diri sebagai manusia tercepat di kawasan Asia Tenggara dengan memenangi nomor lari 100 meter putra dengan catatan waktu 10,25 detik, menaklukkan sprinter tuan rumah, Sondee Wachara (10,33 detik).

Catatan waktu Suryo juga memecahkan rekor SEA Games sebelumnya (10,26 detik) yang dipegang Keeharwong Reanchai (Thailand). Sprinter asal Solo ini juga mengakhiri penantian panjang Indonesia meraih emas 100 meter sejak terakhir Mardi Lestari memenanginya pada SEA Games 1989.

Selebrasi mengisap ibu jari tangan kedua ia lakukan saat mengukuhkan diri sebagai yang tercepat pada nomor 200 meter. Selebrasi itu dia lakukan sebagai tanda bahwa ia mendedikasikan kemenangannya untuk putrinya yang baru berusia delapan bulan, Zalwa Zahra Wibowo, yang menjadi sumber inspirasinya.

Catatan waktu Suryo kali ini memecahkan rekor nasional yang telah bertahan selama 23 tahun atas nama seniornya, sprinter legendaris Purnomo. Suryo hanya membutuhkan waktu 20,76 detik untuk menempuh lintasan sejauh 200 meter, sementara Purnomo mencatatkan waktu 20,93 detik yang diukir pada tahun 1984.

Pencapaian sprinter kelahiran 8 Oktober 1983 ini menyelamatkan muka Indonesia dengan mengumandangkan lagu Indonesia Raya untuk pertama kalinya di Nakhon Ratchasima.

Kerinduan 20 tahun

Sudah sejak hampir 20 tahun, Indonesia merindukan kehadiran seorang sprinter tangguh setelah era Mardi Lestari berakhir.

Mengomentari penampilannya di Nakhon Ratchasima, Suryo menyatakan, pencapaiannya tersebut bukan hasil kerja instan. Latihan keras dijalani suami dari Astati Anjarwani ini, termasuk menahan beban kerinduan saat harus meninggalkan putri kecilnya yang baru lahir delapan bulan lalu.

Selain latihan fisik berat dan teknik selama bertahun-tahun, salah satu kunci penampilannya di Nakhon Ratchasima adalah latihan konsentrasi dan fokus. Latihan itu berupa latihan konsentrasi aikido, seni bela diri asal Jepang. "Latihan tersebut sangat berguna karena kami jadi lebih fokus, konsentrasi, dan rileks. Nyatanya, hasil latihan tersebut memang luar biasa," ungkap Suryo.

Putra bungsu dari lima bersaudara pasangan H Ngadiman dan Hj Ngatiah ini termasuk atlet yang selalu peduli dengan perkembangan rekornya. Coba tanyakan kepadanya catatan waktu sejak ia baru menekuni dunia atletik. Suryo bisa dengan rinci menyebutkan perkembangannya sejak masih atlet pemula hingga sekarang.

Mimpi jadi striker

Saat kecil, Suryo bercita-cita menjadi seorang striker atau penyerang dalam tim sepak bola. Karena waktu itu belum ada sekolah sepak bola di lingkungannya, ia memutuskan masuk sebuah klub sepak bola sejak kelas III di SD Banyuanyar 2.

Waktu bersekolah di SMP, Suryo sudah bisa mencari uang sendiri dari hasil bermain tarikan kampung (tarkam) di sekitar eks-Karisedenan Solo. Ia bermain bola hingga ke Wonogiri, Sukaharjo, Boyolali, Kartusuro, dan sekitarnya.

Sekitar tahun 1999/2000, Suryo mengikuti seleksi pemain Persis Solo senior untuk mengejar cita-citanya. Klubnya, Sper, sebagai anggota Persis, mengirim sejumlah pemain termasuk dirinya. "Yang ikut seleksi waktu itu sekitar 100 orang. Diperas- peras tinggal 24 orang, dan saya masih bisa lolos," kata atlet yang mengidolakan striker Andriy Shevchenko ini. Namun, sewaktu dilakukan seleksi lagi, ia termasuk empat pemain yang dicoret karena Persis hanya membutuhkan 20 pemain.

Dari kegagalan masuk Persis itulah, jalan hidup Suryo berubah. Pintu seakan terbuka baginya setelah pada waktu hampir bersamaan dengan kegagalannya masuk Persis senior, ada lomba atletik di sekolahnya, SMA 6 Solo.

Ia pun mengikuti nomor loncat tinggi dan menjadi yang terbaik di sekolahnya dengan lompatan 170 sentimeter. Selang dua pekan kemudian, ada lomba atletik antarpelajar se- Solo.

Suryo menunjukkan bakatnya sebagai seorang atlet dengan memenangi nomor loncat tinggi. Pihak dinas olahraga setempat kemudian mengumpulkan para juara dan membentuk Tim Atletik Pelajar Solo. Para juara itu, termasuk Suryo, berlatih atletik setiap Senin, Rabu, dan Jumat.

"Jadwal itu bentrokan dengan latihan saya di klub sepak bola. Saat saya jenuh dengan sepak bola, saya mencoba tantangan baru di atletik. Tapi sewaktu bosan latihan atletik, saya kembali bermain bola," katanya.

Suryo kemudian mengikuti seleksi untuk Pekan Olahraga Pelajar Daerah (Popda). Suryo masih belum fokus, dia mengikuti seleksi baik di atletik maupun sepak bola. Namun, ia kemudian mantap memutuskan untuk fokus pada atletik, terutama loncat tinggi.

Dari seorang peloncat menjadi seorang sprinter juga kebetulan bagi Suryo. "Waktu sebelum latihan, kan, ada pemanasan yang biasanya para atlet juga melakukan sprint. Saat sprint saya yang tercepat, terus sama Pak Kembar (Sunaryanto), saya disarankan untuk berlomba saja pada nomor sprint 100 meter," ujar Suryo.

Saat terjun pada Popda di Semarang, Oktober 2000, Suryo memenangi nomor sprint dengan catatan waktu 11,54 detik. "Tapi saya juga menang di loncat tinggi. Loncatan saya 170 sentimeter," katanya.

Saat berlaga di Popda itulah, seorang pelatih di Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) Salatiga, Jojon Siswanto, mendekati Suryo. "Pak Jojon meminta data dan nomor telepon saya yang bisa dihubungi. Selang seminggu saya ditelepon, katanya ada kejuaraan atletik yunior nasional, November 2000. Tapi saya harus sediakan biaya sendiri. Saya diberi target bisa berlari di bawah 11,20 detik jika ingin masuk PPLP," ujar Suryo.

Beruntung, Suryo mendapat dukungan orang-orang terdekatnya. "Ibu dan bulik saya memberikan uang saku, sekolah saya juga. Meski hanya finis nomor lima, saya bisa berlari 11,09 detik hingga akhirnya masuk PPLP," katanya.

Pada Januari 2001, Suryo pindah sekolah ke SMA 3 Salatiga. Sekitar tujuh bulan di PPLP, Suryo kemudian dikirim mengikuti Pekan Olahraga Pelajar Nasional (Popnas) di Palembang dan berhasil meraih medali emas nomor 100 meter. Catatan waktunya terus membaik. Ia menorehkan waktu di bawah 11 detik, tepatnya 10,95 detik.

Tetap cinta sepak bola

Setelah lulus PPLP, Suryo meneruskan kuliah ke Universitas Negeri Semarang (Unes) mengambil jurusan Kepelatihan Olahraga dan lulus Januari 2007. Meskipun sudah mulai berprestasi di atletik, kecintaanya pada sepak bola tetap tak luntur. "Saya tetap bermain bola. Tapi, April 2002 saya dipanggil untuk masuk pelatnas yunior di Purwakarta," tuturnya.

Hanya tiga bulan di Purwakarta, pada Juli 2002, Suryo berhasil menjuarai kejurnas senior nomor 100 meter dengan catatan waktu 10,67 detik. Bakatnya sebagai sprinter terus berkembang setelah dia mempertajam catatan waktunya menjadi 10,64 detik pada kejurnas yunior.

Pada kejuaraan atletik yunior Asia, Oktober 2002, Suryo semakin cepat dan finis di urutan kedua. Ia mempertajam catatan waktunya menjadi 10,63 detik saat meraih perak pada kejuaraan tersebut.

Selanjutnya, dia mulai mengikuti pelatnas senior untuk mengikuti SEA Games 2003 Hanoi. Di Hanor, pada 100 meter putra dia finis di urutan keenam, namun berhasil memperbaiki catatan waktunya menjadi 10,62 detik.

Pada SEA Games berikutnya di Manila, Filipina, Suryo meraih medali perunggu. Catatan waktunya semakin baik, 10,54 detik. Meskipun terus berkembang, Suryo juga merasakan masa-masa sulit meniti karier sebagai seorang sprinter. "Saya jeblok di PON Palembang. Cedera hamstring yang membuat saya menurun," katanya.

Namun, hal itu tak membuat dia berputus asa. Latihan berat ia jalani dengan dedikasi tinggi hingga sukses di Nakhon Ratchasima. Meskipun demikian, Suryo tak mau berhenti di level ASEAN. Kini dia membidik olimpiade sebagai target berikutnya. Sesuai namanya yang berarti matahari, Suryo menjadi secercah terang di tengah gelapnya prestasi olahraga Indonesia.

***
BIODATA

Lahir: Solo 8 Oktober 1983
Orangtua: H Ngadiman dan Hj Ngatiah
Istri: Astati Anjarwani
Anak: Zalwa Zahra Wibowo
Pendidikan: SD Banyuanyar 2, SMP 2 Solo, SMA 6 Solo, dan SMA 3 Salatiga
Kuliah: Universitas Negeri Semarang Jurusan Kepelatihan Olahraga, lulus Januari 2007
Prestasi terakhir: Juara lari 100 meter putra SEA Games Juara lari 200 meter putra SEA Games.


Sumber : Kompas, Sabtu, 15 Desember 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks