Eko, ID-SIRTII, dan Pengamanan Internet
Oleh : Ninok Leksono
Membaca profil Richardus Eko Indrajit, yang segera terbayang adalah sosok dengan aktivitas seabrek. Ketika bertemu di satu petang akhir pekan silam, Eko baru saja selesai mengajar komunikasi di sebuah universitas di BSD, dan begitu wawancara usai, ia kembali akan mengajar lagi.
Selain tugas akademik, Eko juga jadi pengurus berbagai organisasi profesi dan bisnis. Di luar pembawaannya yang memang suka sibuk, Eko adalah pemilik keahlian—di bidang teknologi informasi—yang membuatnya seperti duta bagi zamannya.
Terakhir, sejak Oktober silam, ia terpilih sebagai Ketua ID-SIRTII (Indonesia–Security Incident Response Team on Information Infrastructure atau Tim Penanggulangan Insiden Keamanan pada Infrastruktur Informasi Indonesia).
Meski di sana-sini masih terkendala oleh infrastruktur, pemanfaatan internet di Indonesia terus maju. Penggunanya kini diperkirakan telah mencapai 25 juta. Dengan terus meluasnya penggunaan ponsel yang punya kemampuan akses internet berkecepatan tinggi, penggunaan internet pun akan bertambah banyak lagi.
Seiring dengan meluasnya penggunaan, kata Eko, membesar pula potensi terjadinya tindak kriminal. Malah Indonesia dalam beberapa tahun terakhir sering menjadi sorotan komunitas internasional terkait dengan adanya laporan terjadinya fraud (penipuan), aktivitas ilegal (termasuk spamming, virus, spyware, dan sejenisnya), serangan cyber, dan aktivitas lain yang mengancam masyarakat, seperti perjudian, narkoba, terorisme, pornografi, kejahatan terhadap anak, perdagangan manusia, penggelapan dan pencucian uang.
Eko prihatin, karena maraknya aktivitas semacam itu telah menimbulkan kerugian ekonomi, sosial, dan teknis pada berbagai pihak di luar dan di dalam negeri. Dengan frekuensi kejadian dan kualitas kasus yang terus meningkat, Indonesia ditempatkan pada urutan tertinggi dalam soal kejahatan di internet, dan karena itu mendapat sanksi teknis dari otoritas internet internasional dan dimasukkan dalam daftar hitam, serta dikucilkan dari transaksi bisnis di internet.
Dengan itu, tambah Eko, citra bangsa dan negara Indonesia dalam pergaulan internasional pun ikut dirugikan. Pemerintah dalam hal ini lalu menghadapi tuntutan dari banyak negara untuk menanggulangi permasalahan ini. Kalau tidak ada upaya konkret, bukan tidak mungkin Indonesia akan menerima tekanan asing secara formal.
Mandat
Eko bersedia menerima mandat yang diberikan oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen Komunikasi dan Informatika, untuk mengelola pengamanan infrastruktur informasi karena ia tidak ingin Indonesia kehilangan potensi dan peluang yang muncul dari kemajuan internet. Sekarang ini, karena sering terjadinya pemalsuan, transaksi bisnis di internet dari dan ke Indonesia telah ditolak sehingga potensi ekonomi dalam negeri tidak dapat dipromosikan. Indonesia telah kehilangan kesempatan untuk mendapatkan manfaat dari perputaran bisnis di internet yang kini ditaksir sedikitnya 50 miliar dollar AS per tahun.
Kini, sebagai pimpinan ID-SIRTII, Eko bertugas mengamankan dan melindungi kepentingan publik, birokrasi/pemerintah, pendidikan, dan bisnis, yang terus meningkat.
Meski menyebut akan pindah, sementara ini Ketua ID-SIRTII yang memimpin tim beranggotakan 20-an orang masih berkantor di Kantor Pos Besar di Pasar Baru. Timnya—yang terdiri dari aparat pemerintah, termasuk penegak hukum, pakar di bidang-bidang terkait, akademisi, praktisi, dan profesional—bersama staf berjaga terus-menerus dalam beberapa giliran 24 jam untuk mengawasi pola-pola lalu lintas internet dan mencatat aktivitas yang ada pada sejumlah simpul utama jaringan Internet Nasional. Saat memperlihatkan aktivitas internet melalui layar laptopnya, semua tampak normal. Tetapi bisa saja satu saat terjadi lonjakan tajam dari satu simpul yang menandakan adanya satu serangan virus melalui satu penyedia layanan internet.
Eko mengenang, jalan bagi terpilihnya dirinya sebagai pimpinan ID-SIRTII adalah karena dari awal ia telah mengajukan konsep mengenai langkah-langkah yang perlu diambil untuk upaya pengamanan internet. Ia menyadari, pelaksanaan upaya tersebut membutuhkan kerja sama yang baik dari penyedia layanan internet (ISP) dan penyedia akses jaringan (NAP).
"Yang membantu, upaya nasional ini juga bagian dari upaya internasional. Kami sering mendapat info dari komunitas pengamanan di luar negeri melalui e-mail dan milis," tutur Eko.
Kini, apa yang dicatat staf ID-SIRTII disimpan dan bisa dijadikan sebagai alat bukti bagi penyidikan dan penindakan bila terjadi tindak pidana atau pelanggaran hukum. Tetapi, bagi Eko, yang lebih penting lagi adalah bahwa pemantauan yang dilakukan badan yang ia pimpin bisa memberi peringatan dini untuk mencegah terjadinya serangan maupun aktivitas tidak sah.
"Tolong jangan sampai salah paham, bahwa tugas ID-SIRTII bukanlah untuk menghambat, tetapi sebaliknya justru untuk memajukan pemanfaatan Internet," kata Eko. Poin di atas ia tekankan, karena ID-SIRTII memang tidak punya hak untuk memantau atau mencatat isi (content) dan atau kandungan data transaksi internet. Ringkasnya, ID-SIRTII tidak akan melakukan penyadapan apa pun atas aktivitas internet. Sosialisasi tentang peran dan fungsi ID-SIRTII inilah yang hari-hari ini cukup gencar dilakukan Eko di berbagai kota.
Namun, karena internet merupakan layanan yang berkembang sangat dinamis, upaya pemantauan dan penanggulangan krisis yang terjadi mungkin bisa membuat pihak yang mengamankannya stres. Tetapi Eko Indrajit tampaknya sudah punya bekal untuk menghindarkan diri dari stres, yakni main sulap. Mempelajari sulap, selain untuk mengurangi stres, katanya juga bisa untuk membuat pergaulan makin hidup.
Suami Elisabeth Dhany Retno Putri atau yang lebih dikenal sebagai Lisa A Riyanto ini—dalam tingginya tekanan pekerjaan—masih tak berhenti mengejar ilmu. Tahun ini, setelah tiga gelar master dan satu gelar doktor, ia merampungkan gelar doktor kedua di bidang Manajemen Ilmu Pemerintahan dari Maastricht School of Management, Belanda.
Sumber : Kompas, Senin, 17 Desember 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment