Jun 18, 2009

Suryani, Kegigihan Perempuan Aceh

Suryani, Kegigihan Perempuan Aceh
Oleh : Ahmad Arif

Di kios kecil di persimpangan Desa Lampaseh Lhok, Kecamatan Montasik, Kabupaten Aceh Besar, Suryani (46) melayani pelanggan yang ingin menjahit baju. Tak ada tanda-tanda, beberapa hari sebelumnya, Suryani dinobatkan sebagai perempuan pengusaha Aceh terbaik versi Organisasi Buruh Internasional tahun 2006.

Keseharian Suryani kembali mengalir seperti biasa, hari-hari penuh kerja keras. Sebagai pemilik Usaha Mesin Jahit Rahmah dengan tiga karyawan, Suryani tetap memosisikan diri sebagai bagian dari pekerja, bukan juragan. Suryani selalu bekerja sendiri selama bisa dilakukannya sendiri.

Kegigihan dan semangat untuk mandiri itulah yang menjadikan Suryani memenangi penghargaan. Kaki kanannya yang cacat justru menjadi tambahan semangat untuk membuatnya tak menyerah pada nasib.

Dibandingkan dengan peserta lain, skala usaha Suryani sebenarnya kalah besar. Satu hari omzetnya dari menjahit, mengobras, dan menjual berbagai keperluan jahit-menjahit hanya sekitar Rp 200.000. Dia juga hanya memiliki tiga karyawan, semuanya perempuan.

Kelebihan Suryani adalah semangat sosialnya. Di sela kesibukannya, dia mengajar sesama orang cacat di Lembaga Pendidikan Anak Cacat Ulee Kareng, Kota Banda Aceh, dengan gaji relatif kecil, Rp 2.500 per jam.

”Ongkos naik angkot ke tempat sekolah lebih mahal dibandingkan bayaran saya,” katanya. Suryani sudah 10 tahun menjadi guru di sekolah itu. ”Saya ingin memotivasi teman-teman penyandang cacat yang lain agar mereka berani menghadapi hidup,” kata perempuan lajang yang memiliki satu anak angkat bernama Rahmania (9) ini.

Suryani juga aktif pada sejumlah organisasi yang membela nasib para penyandang cacat. Dia menjadi sekretaris di Himpunan Wanita Penyandang Cacat Indonesia (HWPCI) Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan menjadi bendahara di Persatuan Penyandang Cacat Indonesia (PPCI).

”Perlu organisasi untuk membela nasib penyandang cacat di Aceh karena selama ini masih terjadi diskriminasi terhadap kami. Apalagi, pascatsunami jumlah penyandang cacat di Aceh tambah banyak. Jika bukan kita sendiri yang bergerak, siapa lagi yang akan peduli?” katanya.

Pantang menyerah

Suryani memang tak pernah menyangka bisa memenangi penghargaan itu. Awalnya para relawan dari Handycap International menyodorinya brosur tentang adanya kompetisi pengusaha perempuan se-Aceh. Suryani kemudian mencoba membuat profil perjalanan usahanya.

Setelah menulis dan mengirim profil usahanya, Suryani ke Jakarta, mengikuti pelatihan manajemen yang diadakan PPCI. ”Saya pesimistis akan menang sehingga tak ambil pusing lagi setelah mendaftar dan memasukkan profil usaha,” ujarnya.

Tak disangka, ketika masih di Jakarta, Suryani ditelepon oleh panitia kompetisi dari Organisasi Buruh Internasional (ILO) yang menyebutkan bahwa mereka akan datang dan menyurvei usaha Suryani di kampungnya. Mereka pun menunggu Suryani pulang. ”Dan, ketika saya pulang Minggu pagi, siangnya orang- orang dari ILO datang dan melihat usaha saya,” katanya.

Dan sebuah pengumuman yang menyebutkan Suryani sebagai pemenang utama, menyisihkan peserta lain dari seluruh Aceh. ”Penghargaan ini hanya satu bukti, kecacatan bukan penghalang jika kita ingin mandiri,” ujarnya.

Suryani terlahir sehat dan badan lengkap. Hingga usia empat tahun, dia bebas bergerak selaiknya bocah yang lain. Namun, pada usia empat tahun, setelah seorang dokter menyuntiknya karena sakit diare, Suryani justru demam tinggi.

Setelah sembuh dari demamnya selama sebulan, kaki kanan anak ketiga dari delapan bersaudara ini menjadi lemah dan terus mengecil. Setahun kaki kanannya lumpuh. Baru setelah berumur lima tahun, Suryani kembali bisa berjalan walaupun pincang karena kaki kanannya ternyata cacat permanen.

Putri pasangan M Adan (80) dan Salmah (70) ini tumbuh sebagai gadis kecil yang rendah diri dan jadi bahan ejekan teman-temannya. Rasa rendah diri itu pula yang membuatnya tak mau meneruskan sekolah setelah lulus dari madrasah ibtidaiyah atau setingkat sekolah dasar.

Setelah empat tahun menganggur, berkat dorongan keluarganya, Suryani akhirnya memutuskan kembali ke sekolah. Ia kemudian bersekolah di madrasah tsanawiyah.

Setelah tamat dari madrasah tsnawiyah selama tiga tahun, Suryani memilih melanjutkan di sekolah menengah kejuruan dan keterampilan (SMKK) tahun 1983 sampai tamat tahun 1986. Saat itu dia tak berpikir untuk sekolah tinggi, tetapi berkeinginan untuk memiliki keahlian sehingga bisa mandiri. Dia pun memilih jurusan jahit-menjahit. ”Dengan sekolah SMKK, saya berpikir untuk bisa langsung bekerja sendiri setelah lulus. Penyandang cacat itu yang penting mandiri,” kenangnya.

Akan tetapi, masa sekolahnya di SMKK ternyata menumbuhkan semangat baru bagi Suryani. ”Di SMKK saya tak merasa minder lagi. Saya bisa bersaing dengan teman-teman lain secara bebas,” katanya.

Dorongan untuk menuntut ilmu lebih tinggi merasukinya. Lalu, Suryani memutuskan untuk meneruskan di Institut Agama Islam Negeri Ar Raniry Jurusan Syariah. Semasa kuliah inilah Suryani mulai menjahit.

Usaha jahit-menjahit dimulai dengan modal mesin jahit yang dibelikan orangtuanya seharga Rp 60.000. Dengan mesin jahitnya itu, dia membiayai hidupnya di Kota Banda Aceh.

Di tengah rasa percaya diri yang kian tebal, setamat kuliah Suryani mencoba melamar menjadi pegawai di instansi pemerintahan di Provinsi NAD. Namun, jangankan dites, lamaran Suryani diacuhkan. ”Mungkin mereka melihat kaki saya yang catat sehingga mereka tak melirik sedikit pun,” ujarnya.

Seluruh kepercayaan diri yang dibangunnya runtuh. Surat lamaran kerja itu adalah yang pertama sekaligus yang terakhir dibuat Suryani. Dia bertekad untuk tak bekerja kepada orang lain atau institusi lain.

Suryani kemudian pulang kampung. Dia mulai kembali menjahit. Awalnya menjahit baju saudara dan tetangganya. Keuntungannya dikumpulkan sedikit demi sedikit dan kemudian dibelikan mesin obras, yang ternyata membawa jalan bagi kesuksesan usahanya. Kini dia memiliki empat mesin jahit, mesin obras, dan pres kancing dengan pekerja tiga orang.

Perjalanan Suryani masih panjang. Namun, dengan modal kegigihan dan kemandirian, jalan itu terbuka lebar baginya.

Sumber : Kompas, Selasa, 21 Maret 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks